Hari yang seharusnya melelahkan untuk Madan, kini rasa lelah itu justru hilang begitu saja. Anehnya Madan tidur lebih awal daripada biasanya. Cukup lama dirinya merebahkan tubuhnya di kasur hingga tidak sadar bahwa dirinya mulai terlelap tidur.
Seakan rasa lelah yang sebenarnya ada pada tubuhnya disembunyikan oleh rasa senang yang datang mengejutkan hatinya.
Ngoorkk. Fiuhh.
Suara dengkurannya terdengar begitu keras. Menandakan dirinya yang telah tertidur dengan lelap.
Di keesokan harinya, Madan pun terbangun dengan wajah yang tersenyum lebar secara sendirinya. Perasaan senang yang dirasakannya tadi malam masih tersisa. Madan tidak sabar ingin menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya kepada teman temannya.
Madan merasa bersemangat di hari yang akan melelahkan. Ia tahu bahwa dirinya akan melakukan banyak aktivitas yang akan membuat tubuhnya sangat lelah di sekolahnya. Namun, semua itu tidak pedulikannya meski Kamis adalah hari yang selalu membuat badan merasa khawatir.
Di pagi hari, matahari menunjukkan setengah wujudnya. Membuat bumi perlahan menerang. Madan telah siap dengan seragamnya dan segera pergi berangkat menuju sekolahnya.
Madan berpikir, 'Sial! Yang tadi malam itu sulit dilupakan begitu saja. Mereka semua harus tahu!' Ia tidak sabar untuk bertemu dengan kawan kawannya.
Seperti biasanya, Madan berangkat ke sekolah bersama dengan ayahnya dan juga adiknya.
Tidak ada kekhawatiran bagi badan pada saat ini. Pikirannya terfokus pada kesenangan yang dirasakannya kemarin. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa dirinya melupakan suatu hal.
Sayangnya, Madan baru mengingat kesalahannya pada saat dirinya telah sampai di sekolahnya. Berjalan ke arah gedung sekolahnya dengan penuh rasa gelisah.
'Bodoh! Bagaimana bisa gua melupakan seragam olahraga itu? Akh, kenapa selalu ada saja?' ujar Madan dalam hatinya menyesali kesalahannya sendiri.
Madan tidak membawa masalah itu dengan serius. Hanya saja, ia mencari berbagai cara agar dapat terhindar dari hukuman gurunya.
Ketika Madan sampai di depan kelasnya, Madan berusaha memastikan bahwa teman temannya juga memiliki nasib yang sama dengannya. Ia tidak ingin dihukum sendirian. Meskipun Madan juga tidak bisa memaksa mereka untuk bersama dengan dirinya.
Seharusnya Madan mengawali pertemuan dengan teman temannya dengan senyuman yang tersisa di wajahnya karena kejadian cerita menyenangkan tadi malam. Namun semua kesenangannya hancur hanya dengan keteledoran dirinya yang diakibatkan rasa senang berlebihan. Sehingga, itu membuat dirinya tidak fokus dalam melakukan apapun.
"Apa ada dari kalian yang tidak membawa seragam olahraga?" Madan lupa bahwa ia datang terlalu awal. Madan terlanjur berteriak dengan suaranya yang keras ketika dirinya baru memasuki kelasnya.
Seketika, Madan terdiam ketika melihat kawan kawannya yang masih belum datang. Di dalam kelas tersebut hanya berisikan beberapa tas dengan kehadiran beberapa orang perempuan. Madan tidak terlalu dekat dengan beberaa dari mereka. Namun Madan masih bisa mengontrol dirinya agar suasana tidak terasa nyaman.
"Eh? Mar? Belum ada yang datang ya?" tanya Madan kepada Margaretha. Dengan perasaan yang canggung, Madan terpaksa harus berkomunikasi dengan orang yang jarang berinteraksi dengannya demi menutupi rasa malunya karena terlanjur berbicara dengan keras di depan Margaretha.
"Belum!" Margaretha tampak malas menjawab pertanyaan madan.
Margaretha sendiri adalah anak yang cukup pintar. Kepintarannya diakui banyak kawan kawan Madan. Meski bukan menjadi sang nomor satu. Sifatnya yang cukup ambis membuat Margareta bergaul hanya dengan orang orang tertentu.
Margaretha sendiri disegani oleh orang orang disekitarnya. Karena, ketika mereka berusaha berkomunikasi dengan Margaretha mereka sering mendapat respon dari Margaretha dengan perasaan emosi. Sehingga, berbicara dengan Margaretha sama dengan mencari keributan.
Untungnya, Margaretha memiliki teman yang cukup asik di sekitarnya. Kebanyakan dari mereka yang berada di sekitar Margaretha penganut agama yang sama dengan Margaretha.
'Sialan! Dia benar benar tak berubah. Responnya selalu dingin.' Madan menggerutu sendiri di dalam hatinya.
Madan tidak mempedulikannya dan tidak ingin membuat masalah baru. Ia langsung berjalan ke arah tempat duduknya dan meletakkan tasnya di atas kursinya.
Madan berusaha untuk mencari solusi terlebih dahulu untuk menghadapi permasalahannya saat ini sebelum akhirnya dirinya menyerah mencari jalan aman yang curang.
Madan mulai membuka ponselnya. Sempat terbesit di kepalanya untuk menghubungi orang tuanya agar kembali ke sekolahnya dan membawakan seragam olahraganya. Namun Madan merasa enggan karena tidak ingin merepotkan mereka dan menganggap dirinya sebagai anak yang tidak peduli dengan sekolahnya.
'Tapi, tidak mungkin gua meminta orang tua gua untuk membawakan seragam olahraga gua ke sekolah.' Madan sempat membuka ponselnya untuk menghubungi orang tuanya. Namun rasa ragu menahannya agar tidak menyentuh layar ponselnya.
Sampai pada akhirnya Madan pun memutuskan untuk tidak menghubungi orang tuanya saat ini. Madan juga takut jika nantinya ia hanya akan mendapat marah dan masalah baru dari orang tuanya.
'Tidak! Gua tidak bisa melakukan ini! Ini lebih berisiko daripada cara lain!' Madan menutup kembali ponselnya.
Madan merasa bosan berada di dalam kelasnya. Madan berniat mencari udara segar dan melihat keadaan di luar berharap mendapatkan ide untuk solusi dari permasalahannya.
'Lebih baik gua keluar dulu. Tidak nyaman juga. Di sini sepi sekali, rasanya canggung!' ujar Madan dalam hatinya mulai bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar kelasnya.
Madan berdiri di dekat balkon melihat lapangan yang tidak ada apa apa di sana. Banyak murid melakukan hal yang sama seperti Madan. Balkon menjadi tempat favorit mereka untuk menyendiri.
'Kira kira, hukuman apa yang gua dapatkan ya? Pastinya gua tidak bisa bersembunyi di kelas. Karena itu hanya akan memperburuk suasana!' pikir Madan dalam hatinya.
Madan menunggu teman temannya. Madan membutuhkan solusi dari mereka.
Hingga tidak lama setelah dirinya melamun memikirkan banyak hal di balkon, Bima mengejutkan Madan dengan kehadirannya yang langsung menepuk bahu Madan dari belakang.
"Woi! Ngapain lu? Hahaha." Bima mengejutkan Madan dan langsung berjalan menuju ke dalam kelasnya begitu saja.
"Bima. Cepat dan bantu gua menyelesaikan masalah ini!" Madan merespon candaan Bima dengan raut wajah yang serius.
"Iya iya, tunggu sebentar!" Bima mulai sadar bahwa dirinya sedang tidak bisa mengajak Madan bercanda.
Bima pun masuk kedalam kelasnya dan meletakkan tasnya di atas bangkunya. Bima berlari keluar dari kelasnya dan langsung menghampiri Madan. Mengira bahwa ada masalah yang besar yang terjadi dengan Madan.
"Dan! Kenapa? Sepertinya lo terlihat begitu panik. Apa ada sesuatu yang mengganggu lo?" tanya Bima juga ikut terlihat mencemaskan situasi Madan.
"Ini adalah masalah yang serius. Baju olahraga gua tertinggal di rumah. Sekarang, apa yang perlu gua lakukan?" tanya Madan langsung menjelaskan permasalahan kepada Bima.
Sebelumnya, Bima mengira bahwa masalah Madan adalah masalah yang sangat serius.
'Anak sialan! Dia benar benar tidak bisa mengontrol ekspresinya. Apa dia tidak sadar bahwa dirinya terlihat begitu panik?' Bima menahan rasa kesalnya kepada Madan dan hanya bisa berteriak di dalam batinnya.
"Huh. Gua kira ada masalah besar. Kalau begitu, coba hubungi orang tua lo! Apalagi? Hanya mereka yang bisa membantu lo!" ujar Bima.
Perkataan Bima terdengar tidak salah. Niat Madan untuk menghubungi orang tuanya pun mulai kembali perlahan. Namun Madan juga menegaskan kembali kepada Bima bahwa dirinya tidak bisa menghubungi orang tuanya hanya untuk membawakan seragamnya ke sekolah.
"Tidak bisa Bim. Itu hanya akan membuat masalah gua semakin membesar!" Madan menolak saran Bima dengan wajah yang memelas.
"Ya sudah kalau begitu. Apalagi? Terima saja hukuman itu. Lagipula gua yakin bahwa pak Heru tidak akan memberikan hukuman yang besar untuk pelanggaran seperti ini!" Bima tidak memiliki cara lain selain menenangkan suasana hati Madan.
Mendengar penjelasan dari Bima, Madan pun mulai yakin bahwa dirinya tidak memiliki cara lain selain menerima hukumannya. Madan tidak memiliki kesempatan untuk berbuat curang seperti sebelumnya.
'Bima benar! Menerima hukuman adalah keputusan terbaik. Menghindari hukuman justru hanya akan memperburuk masalah!' ujar Madan dalam hatinya menyetujui saran dari Bima.
Madan melaksanakan kegiatan disekolahnya dengan perasaan gelisah. Meski berkali kali terus terbersit ide lain yang berasal dari dirinya sendiri. Meski Madan tetap kembali kepada saran dari Bima untuk menerima hukuman dari pak Heru.
Jam yang berusaha dihindarinya justru terasa lebih cepat menghampirinya. Ketika bel pergantian jam pelajaran berbunyi, rasa ragu yang sebenarnya mulai muncul di dalam hati Madan.
'Apa gua sungguh akan berhadapan dengan pak Heru dan mengatakan semuanya? Tentu saja ini tidak akan baik baik saja. Maka dari itu yang perlu gua lakukan sekarang hanyalah menyiapkan mental!' Madan menyemangati dirinya sendiri.
Ketika dirinya berulang kali diingatkan dengan masalah yang membuatnya cukup takut, Madan justru mendapatkan bisikan yang lebih banyak di kepalanya untuk membangkitkan keberaniannya dan menghilangkan rasa takutnya.
Sampai pada suatu ketika di mana semua sebagian murid kelasnya tengah asik dengan sebuah bola yang mereka mainkan di tengah lapangan, Madan pun turun bersama dengan kawannya dengan seragam yang berbeda.
Madan berusaha agar bisa menjelaskan kepada teman temannya tentang apa yang dirasakannya tadi malam. Namun, Madan tidak bisa. Situasi saat ini tidak mendukung baiknya hati Madan. Sehingga Madan merasa berat untuk tetap tenang ataupun bercanda dengan mereka.
'Padahal, hari ini gua ingin bercerita banyak kepada mereka tentang tadi malam. Tapi, kenapa justru jadi seperti ini?' Madan hanya bisa menyesali ketidaktelitiannya.
Priitt!
Suara peluit yang ditiup pak Heru mulai terdengar sangat keras. Hingga membuat mereka yang pada awalnya tersebar di lapangan dengan berbagai permainannya masing masing, kini berkumpul dan langsung membuat barisan yang rapi.
Madan berusaha agar terlihat memelas agar dapat dikasihani oleh pak Heru dan hinggs hukumannya akan berkurang.
Ketika teman temannya kini berbaris dihadapan pak Heru, Madan menyusul mereka berjalan perlahan dengan kepala yang tertunduk.
'Sial! Apa ini akan baik baik saja?' Meski rasa takutnya cukup besar, namun Madan terus melangkah mengikuti barisan teman-temannya.
"Hei! Kemana seragam olahragamu? Ganti dulu!" kata pak Heru masih mengingatkan Madan dengan tenang.
"Saya tidak membawa seragam pak. Saya lupa!" Madan berusaha tetap tenang agar bisa menjelaskan semuanya kepada pak Heru.
Setelah mendengar penjelasan dari Madan situasi tiba tiba saja menghening. Madan tidak tahu apa yang akan dilakukan pak Heru kepadanya. Situasi hening seperti ini justru lebih menakutkan baginya.
"Hahaha. Saya sudah biasa melihat anak seperti kamu. Saya selalu bertanya kepada mereka alasan mereka melanggar aturan yang hanya ada pada pelajaran saya. Saya memperingatkan kepada kalian! Jika kalian merasa tidak senang dengan pelajaran saya, maka lebih baik kalian tidak perlu ikut pelajaran saya!" Dengan suaranya yang terdengar santai, kalimat pak Heru bisa membuat para muridnya diam tak bersuara.
'Aduh. Sekarang semuanya jadi ikut kena hanya karena gua tidak membawa seragam? Perasaan gua semakin tidak enak. Bagaimana cara gua bertanggung jawab?' Madan mulai menyalahkan dirinya sendiri karena melibatkan banyak orang hanya karena keteledorannya.
"Sekarang, kamu mau ikut pelajaran saya atau tidak?" tanya pak Heru memastikan minat Madan.
"Iya pak. Saya ingin ikut!" Madan berkata bohong.
Madan sendiri merasa cukup malas untuk mengikuti berbagai gerakan yang hanya formalitas baginya. Madan lebih tertarik untuk langsung bermain bebas dengan temannya.
'Biarlah saja lah gua ikut. Daripada gua harus mendapat pengurangan nilai dan mendapat hukuman lebih darinya?' kata Madan dalam hatinya.
Madan berpikir bahwa dirinya bisa mendapatkan keringanan pada hukumannya ketika ia berkata jujur. Namun nyatanya, pak Heru tetap memberikan hukuman kepada Madan tanpa sebuah keringanan seperti yang diharapkan Madan.
"Kalau begitu, lari sepuluh putaran! Lalu, nilai kamu saya kurangi! Hukum harus tetap dilaksanakan dan jangan curang!" kata pak Heru dengan tegas.
'Sialan! Apa apaan ini? Ternyata gua tetap dapat hukuman berat? lebih baik gua berpura pura sakit tadi!' Madan pun diserang dengan berbagai rasa penyesalan. Seakan semua yang dilakukannya adalah kesalahan.
"Baik pak!" Madan tidak bisa berkata apapun selain menerima hukuman dari pak Heru.
Karena Madan juga tidak ingin memperburuk nasibnya. Membantah perkataan pak Heru hanya akan membuat dirinya di cap jelek olehnya.
"Dan kalian yang ada di sini, ikut saya ke lapangan baru! Setelah itu, main bola bebas baru diperbolehkan. Lalu Madan, jika kamu telah menyelesaikan hukuman itu, kamu harus langsung ke lapangan baru, menyusul kita. Mengerti?" pinta pak Heru mulai menggiring para murid muridnya ke lapangan baru. Mereka mulai berjalan seiring perintah pak Heru masih dikatakannya.
"Mengerti pak!" jawab Madan menggunakan suara yang tak kalah tegas dengan pak Heru.
"Kasihan dihukum!" Adi berbisik demi mengolok Madan.
Suara olokan dari temannya mulai mengganggu telinga Madan.
Atala mulai membuat candaan yang tidak sesuai dengan fakta, "Yah, nangis deh. Jangan menangis dek!"
"Sabar ya Madan. Itu masih baik. Daripada lu diberikan hukuman untuk melompat ke dalam kolam?" Jonathan mengeluarkan leluconnya.
Mereka semua berusaha untuk terlihat lucu di atas penderitaan Madan.
"Hahaha." Bima ikut menertawai Madan.
Seiring kawan kawannya pergi meninggalkannya, Madan menatap mereka semua dengan tatapan yang sinis.
'Sialan kalian semua! Tunggu nanti!' Madan hanya bisa berteriak dalam batinnya. Karena, dirinya yang terbatas untuk bereaksi terhadap lelucon mereka.