Keesokan harinya, pada hari Rabu Madan terbangun di waktu yang tak biasanya. Tidurnya lebih awal, tapi ia terlambat bangun. Tidak ada waktu untuknya mengingat ingat apa yang telah dilaluinya kemaring.
Ada perasaan yang sedikit berbeda pada pagi ini. Mimpi menyenangkan tadi malam masih terasa di hati Madan. Semuanya tak terlihat jelas. Tapi Madan sadar bahwa itu adalah mimpi yang sangat indah.
'Ah sudahlah! Tidak ada waktu lagi!' ucap Madan menyudahi lamunannya. Senyumnya menghilang dengan cepat.
Madan merasa siap. Meski sebenarnya Madan melupakan sesuatu.
Tak terpikirkan olehnya pada tentang urusan sekolahnya, yang ada di benaknya justru mengecek ponselnya.
Madan duduk diatas sofa. Sepasang sepatunya telah siap untuk digunakan. Orang tua Madan sudah banyak berteriak. Keterlambatan Madan juga berpengaruh pada adiknya.
"Hei cepat Madan! Adik kamu juga harus berangkat!" kata mamah Madan dengan suara yang meninggi.
Madan tak sadar, 'Sepertinya, ada yang terlewatkan dalam pesan dari orang tak dikenal tadi malam.' Suara teriakan orang tua Madan tak terdengar di telinganya.
Ketika dilihatnya pesan dari orang tak dikenal, Madan terkejut, 'Apa apaan orang ini?' Momennya begitu tepat.
'Apakah pesan ini baru masuk? Kenapa bisa bertepatan dengan mimpi gua?' Seketika Madan teringat akan mimpinya. Dimana menceritakan tentang pertemuannya dengan Atika di sebuah tempat yang tak terlihat jelas.
"Madaan!" Mamah Madan meneriaki Madan di depan wajahnya.
Lamunan Madan berhasil dikaburkan.
"Iyaaa!" Madan mempercepat gerakannya. Memakai sepatu dan berlari keluar rumah meghampiri ayahnya dan adiknya yang telah menunggunya cukup lama.
Dipertengahan jalan, Madan baru merasakan keanehan. Semua pelajar mengenakan seragam yang lengkap. Dengan atribut dasi yang menggantung di leher mereka.
'Ah sial! Gua lupa membawa dasi! Sekarang, apa yang harus gua lakukan?' ujar Madan merasa segan untuk memberitahukan kepada ayahnya.
Tak lama, Madan sampai di depan sekolahnya. Wajahnya terlihat cukup tenang. Meski di dalam hatinya Madan merasakan kegelisahan yang cukup besar.
Ayahnya tak menyadari adanya keaneha pada Madan
"Assalamualaikum!" kata Madan sambil mencium tangan ayahnya.
"Waalaikumsalam!" jawab ayah Madan.
Madan berjalan memasuki gerbang. Penjaga gerbang yang akrab dipanggil dengan sebutan Babeh, ia menyadari keanehan yang ada pada para murid disekolah, termasuk Madan. Hanya saja, Babeh memilih untuk diam dan menutup mulutnya.
"Eh, dimana dasi lo?" tanya Babeh membuat Madan terkejut akan kehadirannya.
"Ohh. Dasi saya ada di dalam, Beh!" jawab Madan membual.
"Pakailah! Jangan sampai seorang guru meneriaki lo!" kata Babeh memperingatkan Madan.
"Iyaa Beh!" Madan berjalan menjauhi Babeh.
Padahal, Madan tahu bahwa tak ada ancaman dari Babeh. Tapi, Madan tidak bisa menghentikan langkahnya yang cepat demi menghindari Babeh.
'Semua ini karena gua panik! Panik! Panik! Maka dari itu, tenanglah Madan!' ujar Madan dalam hatinya. Berusaha membuat dirinya merasa tenang.
Agar terhindar dari cegatan guru yang sadar dengan kesalahannya, Madan menggunakan trik.
Seharusnya, Madan berjalan lurus. Tak jauh di sampingnya ada saung yang bisa menutupinya. Madan membelok melewati saung agar dapat berjalan ke arah gang menuju kantin.
Madan berniat untuk naik ke lantai atas lewat belakang kantin. Berharap tidak ada guru yang mengetahui keberadaannya.
'Woah. Ternyata, disini memang banyak murid murid yang melanggar aturan ya? Gua beruntung! Gua sangat beruntung! Kalau gua kena hukum dari guru killer itu, gua tidak akan sendirian!' Madan melihat beberapa murid yang melewati jalan yang sama tanpa tahu alasan mereka.
Ketika sampai di kantin, Madan mengintip. Keluar dari kantin, Madan tahu ia akan berhadapan dengan meja piket. Ia harus memastikan bahwa tak ada guru yang menjaga disana.
'Apa disana ada guru?' Mata Madan menggeliat dengan teliti.
Tidak melihat adanya guru. Tak akan jadi masalah jika tak ada tasnya yang menggantung diantara bahunya. Berada di kantin dengan tas yang masih digunakan akan membawa rasa curiga dari para guru.
'Aman! Syukurlah. Lets go!' Madan mulai berjalan perlahan. Terus memastikan tak ada guru yang lewat.
'Kenapa ruang guru harus terletak persis di depan gua?' Rasa paniknya membuat Madan berpikir dangkal. Menyalahkan sesuatu yang mustahil untuk diubah hanya demi menyelamatkan situasinya saat ini.
Madan berlari menyebrangi ruang guru. Pada waktu yang tepat, seorang guru terlihat keluar dari dalam ruang guru. Madan sangat terkejut.
Di dalam hatinya, Madan tidak bisa berhenti berteriak, 'Breng***! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Siapa itu? Apa itu guru? Atau hanya orang tua murid? Gua harus tenang dan bersikap seakan tidak terjadi apa apa!' Seakan dikepalanya tengah terjadi ledakan yang begitu besar.
Madan bisa mengontrol ekspresinya. Bahkan, jika gurunya berjalan melewatinya, Madan mampu mengontrol ekspresinya agar tetap tersenyum tenang.
Untungnya, guru itu tak melihat Madan.
'Sepertinya dia sedang sibuk! Gua sangat beruntung!' Madan merasa begitu lega.
Madan pun kembali berjalan perlahan. Langkah kakinya semakin lebar.
'Satu. Dua. Tiga!' Madan langsung melesat dengan sangat cepat ke seberang. Memposisikan dirinya agar berada di depan tangga.
Sekarang, posisinya tak lagi terancam. Madan sempat menoleh ke berbagai sisi. Berharap tidak ada guru yang melihat aksinya.
Ia selamat karena satu satunya guru yang terjangkau matanya hanyalah guru killer yang baru saja dihindarinya. Namanya adalah bu Nyapi.
Seorang guru killer yang tak pernah memberi kesempatan sedikitpun untuk muridnya agar bisa menghindarinya. Ia menjadi guru yang paling disegani karena suara yang lantang dan wajah yang sangar. Tapi, tindakannya tidak dapat diremehkan. Semua murid yang tertangkap olehnya akan mati kutu.
Tak hanya tegas, bu Nyapi bisa mencari murid disekolahnya sampai ke ujung kelas. Menghindarinya adalah hal yang sangat sulit. Tapi Madan berhasil melakukannya.
Madan langsung naik melewati tangga. Tak sabar untuk segera sampai di dalam kelasnya.
Permasalahan yang baru saja diselesaikannya menciptakan rasa senang yang luar biasa. Membuatnya lupa bahwa setelah ini Madan belum bisa bersantai. Akan ada kegiatan umum yang akan membuatnya terjangkau mata para guru.
Ketika memasuki kelasnya, Madan dapat melihat Bima, Atala, Jonathan dan juga Adi yang tengah berkumpul. Kedatangan Madan menciptakan atmosfer yang menegangkan.
Madan berteriak tak lama setelah dirinya melewati pintu kelas, "Woi! Gua tidak membawa dasi! Apakah salah satu dari kalian ada yang membawa dasi?"
"Loh? Lo serius? Tidak membawa dasi? Hahaha. Mampus lo! Gua akan memberitahukan para guru!" Atala paling bersemangat. Tapi kata katanya tak membantu Madan.
"Bim? Apa lu punya dua dasi?" tanya Madan mengabaikan Atala.
"Gua tidak punya! Coba ikut Kiel! Dia juga sedang mencari dasi!" Bima terlihat sibuk memainkan ponselnya. Tidak dapat membantu Madan mencarikan dasi.
"Yaudah lah. Nanti saja!" kata Madan meletakkan tasnya di atas kursinya.
Madan merasa bisa mengatasi jangkauan para guru yang akan masuk ke kelasnya. Tapi, ada hal yang dilupakannya.
"Loh? Bodoh! Sedikit lagi waktu tadarus akan dimulai. Bagaimana cara lu menyembunyikannya dari bu Nyapi?" Adi memarahi Madan. Wajahnya terlihat tidak santai.
Madan baru menyadarinya. Bahwa ketika tadarus dimulai, cukup mustahil untuk dirinya menyembunyikan kesalahannya dari para guru.
Banyak guru yang mengelilingi lapangan hanya demi menemukan murid yang melanggar aturan.
"Oh iya!" Madan langsung belari mencari Kiel.
Kiel tidak sendirian. Kiel di temani kawanannya yang juga ikut membantunya.
Tak lama, Madan menemukan Kiel yang tengah menjarah kelas lain.
'Gua rasa, mereka tidak cocok disebut sebagai kacung seperti yang teman teman gua katakan. Kiel memperlakukan mereka layaknya teman!' ujar Madan dalam hatinya. Sisi baik Kiel terlihat olehnya.
Madan menghampiri Kiel yang ditemani Moses juga teman sekelasnya.
"Kiel! Apa lu sudah dapat dasinya?" tanya Madan dengan nafas yang terengah engah. Mada berusaha akrab dengan Kiel.
"Belum! Cari lagi Dan!" suruh Kiel, merespon Madan.
"Lu mau cari di mana Dan? Kalau sudah dapat, bilang kita!" kata Moses ikut berdiskusi.
"Iya!" jawab Madan.
Memulai interaksi dengan mereka tak sepenuhnya hal yang buruk. Bahkan, Madan merasa lebih tenang sekarang.
Madan mulai menjelajahi kelas lain dan memeriksa di tiap lemarinya.
"Apa disini ada yang punya dua dasi?" tanya Madan kepada murid di dalam kelas.