Madan terbangun tak lama setelah dirinya tidur beberapa jam.
Kringgg!
Alarm berdering membuat Madan langsung terbangun.
"Ukh?" ucap Madan berusaha membuka matanya.
Kesadarannya belum kembali sepenuhnya. Tetapi Madan sadar, alasan alarm membangunkannya karena sekarang waktunya berangkat les.
Madan tak punya waktu untuk mandi.
'Mandi? Ah tidak perlu! Lagipula, les itu hanya sebentar saja! Biar sekalian saja gua dekil!' Rasa malas membuat Madan mencari pembenaran.
Madan mengeluarkan beberapa buku yang ada pada tasnya. Bersiap untuk langsung berjalan ke tempat lesnya sendirian.
Madan menatap langit yang masih terang, 'Sepertinya, hari ini memang hari yang panas!'
Madan berjalan dengan santai. Madan sadar bahwa ia masih punya sedikit waktu. Bersantai mungkin akan membuat pikirannya lebih tenang.
Ditengah perjalanannya, Madan melihat perempuan dengan menggunakan seragam yang sama dengan dirinya. Di pertigaan jalan menuju tempat lesnya, perempuan tersebut berbelok.
'Hm? Kenapa dia belok ke sana?' Perempuan tersebut melalui jalan yang akan dilalui Madan. Sehingga tanda tanya muncul di dalam kepalanya.
Itu membuat Madan merasa yakin bahwa apa yang dikatakan Hana tentang penggabungan kelas benar adanya.
Madan melewati komplek. Komplek itu adalah tempat tinggal kawan kawan Madan di sekolah dasar. Sekarang, mungkin mereka telah melupakannya.
'Padahal, sebelumnya mereka adalah orang tak bisa lepas dari gua. Mungkin, karena gua tak bisa menjadi teman yang baik juga!' Madan menyadari perbuatannya. Rasa senioritasnya cukup tinggi. Membuatnya tak sadar bahwa sifatnya merugikan teman temannya.
Rasa menyesal tak ada gunanya. Pemikiran manusia terus berkembang seiring bertambahnya usia. Madan tak bisa terus bermusuhan dengan orang lain.
Tak lama kemudian, Farel datang menghampiri Madan dengan sepedanya dari belakang. Orang yang menjadi anak dari mis Diana menawarkan bantuan kepada Madan.
"Dan!" panggil Farel mengejutkan Madan.
"Loh? Farel?" Madan terheran melihat Farel yang masih berkeliaran di jalanan. Sementara Farel sendiri juga bagian dari murid mis Diana.
"Mau naik tidak?" Farel menawarkan tumpangannya kepada Madan.
Madan tak menolaknya. Ia menerimanya dan langsung naik di bagian jok belakang sepeda Farel.
Faktanya, Farel adalah salah satu temannya yang tak pernah menjauhinya. Farel tahu sifat Madan. Tapi Farel tak pernah menggubris kenakalan Madan.
Mis Diana membuka tempat les di rumahnya sendiri. Kemampuannya dalam mengerjakan soal Matematika menjadi incaran para pelajar.
Tak hanya menguasai ilmu Matematika, mis Diana juga sempat menjadi guru bahasa Inggris. Madan adalah salah satu anak yang merasakan didikan mis Diana dalam mengajar bahasa Inggris sebelum masuk ke sekolah dasar.
"Kenapa lu masih berkeliaran di luar?" tanya Madan sambil menahan jok sepeda yang menusuk bokongnya.
"Iya! Tadi, gua disuruh mengantarkan surat ke RT!" jawab Farel menggoes sepedanya lebih cepat.
Madan berhutang budi kepada Farel yang telah mempercepat waktu perjalanannya. Kini mereka telah sampai di tempat les. Memarkir sepeda di garasi dan berjalan sembari mengintip pintu masuk.
Sesuai dengan prasangka buruknya, Madan sedikit terlambat. Sebagian materi tak sempat disimaknya.
Madan membuka pintu ruangannya.
Kriett!
Suara pintu terdengar keras, meski Madan mendorong lembut. Madan pun menjadi pusat perhatian mereka.
"Madan? Kenapa baru datang?" tanya mis Diana.
Mada tak merasa khawatir karena ia tahu bahwa gurunya adalah mis Diana. Guru les yang jarang memarahinya.
Tetapi jangan salah sangka. Dimata mereka kemarahan mis Diana lebih menakutkan daripada guru lain.
"Iya mis! Saya ketiduran!" jawab Madan. Wajahnya menyengir.
"Yasudah. Silahkan duduk!" ujar mis Diana masih dengan suara yang lembut.
Mis Diana adalah guru yang sempurna bagi Madan. Tak hanya baik, ia juga memiliki tekad yang sangat besar untuk membuat para muridnya menjadi pintar.
Ketika mis Diana mulai berbicara dengan nada tinggi, mereka paham bahwa kemarahan mis Diana tak lagi terbendung. Mereka yang memandang rendah mis Diana seketika menyadari kesalahannya.
Madan berjalan menuju tempat duduk yang kosong. Belum sempat duduk, Dwi menyapa.
"Hei Madan!" tegur Dwi. Dwi satu sekolah dengan Madan hingga saat ini.
"Ei Dwi!" Madan menegur balik.
Dulu, Dwi adalah teman yang paling fanatik dengan Madan. Ia selalu melindungi Madan dan tak pernah mau bermasalah dengan Madan.
"Dhifa kemana?" Dwi tahu bahwa Dhifa tidak lagi les disana. Hanya saja, Dwi mencari topik agar dapat berbicara dengan Madan. Tetapi Madan terlihat tak fokus.
Madan tak merasa terkejut dengan kehadiran murid asing di kelasnya. Hanya saja, siapa perempuan satu ini?
'Jadi, benar ya? Dia adalah orang yang tadi!' Matanya tak henti memperhatikan perempuan itu.
Rambutnya di kundai. Membuatnya tampak berbeda dari perempuan lainnya.
"Madan! Cih. Bukankah gua sedang berbiacara? Kenapa melamun?" Dwi tak habis pikir dengan Madan yang tak memberikannya perhatian.
Dwi mengikuti arah pandang Madan.
"Sedang melihat apa? Oh, ternyata atika ya?" Dwi tak memperkecil suaranya.
Madan tahu bahwa Dwi adalah orang yang banyak bicara. Semua yang dilihat Dwi akan diekspresikannya. Tak peduli dengan lingkungan sekitar.
Madan merasa malu.
Ruangannya tak begitu besar. Membuatnya kesulitan mencari tempat duduk yang cocok. Sementara yang tersisa hanyalah tempat duduk di dekat Dwi. Duduk disana membuat dirinya harus berhadapan dengan Atika.
'Sialan! Kenapa tempat duduk yang tersisa harus berhadapan dengan dia?' Madan tak berkutik. Sementara satu kursi kosong lainnya terletak di samping Atika.
Di depan kawan kawannya, Madan terlihat cool. Bersikap seolah tak ada yang terjadi. Tak menggubris Dwi, membuatnya seakan berbicara sendiri.
"Mmm, Mis? Apa yang telah saya lewatkan?" Madan seolah tak peduli dengan olokan Dwi.
"Minta kepada Atika! Dia yang baru saja membagikan soalnya!" ujar mis Diana. Sibuk menyusun banyaknya berkas di lemarinya.
'Memangnya mis Diana sedang apa sih? Apa dia se sibuk itu dengan urusannya?' Madan segan untuk meminta kertas soal kepada Atika.
Situasi saat ini tak mendukungnya. Madan perlu waktu untuk terlihat santai dihadapan mereka.
Madan kembali beriri dan berjalan menghampiri Atika. Atika sadar bahwa namanya sempat disebut mis Diana dan juga Dwi. Namun, Atika terlihat tenang. Tak merasa risih atau canggung.
Atika melihat Madan seakan tak ada yang terjadi. Atika hanya harus memberikan kertas berisi soal kepada Madan.
Madan tidak merasa gugup. Hanya saja, Madan khawatir Dwi akan membuka mulutnya lagi.
"Atika. Dimana soal itu?" tanya Madan terlihat tenang.
"Iya. Nih!" Atika menyodorkan kertas soal kepada Madan.
Akhirnya, Madan bisa mengerjakan soal yang diberikan mis Diana. Tak ada yang aneh dan diantara mereka.
Tapi sayangnya, Dwi enggan mengontrol kata katanya. Ia terus meledek Madan. Membuat atmosfer menjadi canggung diantara mereka berdua.
"Ciee. Madan! Atika!" ujar Dwi dengan wajah kegirangan.
'Si bodoh satu ini benar benar menyebalkan! Apa dia tak bisa berhenti?' Matanya mungkin tertuju pada kertas soal yang digenggamnya. Namun di dalam hati, Madan tak berhenti berteriak.
Mungkin, situasinya semakin merumit. Tapi pada akhirnya, Madan dapat mengembalikannya seperti semula.
Madan mengerjakan soalnya dengan penuh kefokusan. Mengabaikan apa yang terjadi. Madan menyelesaikan soal lebih cepat daripada kawan kawannya.
Di dalam kertas tersebut terkandung 50 butir latihan soal. Murid yang berhasil menyelesaikannya diperbolehkan untuk pulang lebih dulu. Meskipun waktu belajar belum selesai.
"Mis. Saya udah selesai! Jadi, saya boleh pulang kan?" tanya Madan lebih dulu kepada mis Diana.
"Benarkan? Semuanya sudah selesai?" tanya mis Diana masih terlihat sibuk.
"Suuudah mis!" jawab Madan. Ekspresinya terlihat sedikit tengil.
"Apa kamu yakin bahwa jawabanmu benar semua?" Mis Diana tak ingin membiarkan Madan meninggalkan kelas di tengah masalah yang masih belum dipecahkannya.
Madan menganggap mis Diana seperti orang tuanya sendiri. Membuatnya merasa nyaman. Memberikan banyak kesempatan pada muridnya yang masih belum menguasai pelajaran.
"Sudaahh mis Dianaa!" jawab Madan menggoyangkan suaranya.
Farel, kemampuannya berada di level yang berbeda. Tak jarang mis Diana menyuruh Farel untuk memeriksa kertas jawaban kawannya sendiri. Padahal sebelumnya, Farel adalah rival Madan dalam hal belajar.
"Yah Dan! Gua mohon tunggu gua! Jadi, lu akan pulang duluan? Meninggalkan gua?" Dwi mulai dramatis.
Madan tak biasanya menunggu Dwi pulang. Meski tak jarang mereka menghampiri warung es bersama.
Namun entah apa yang sedang terjadi, tubuh Madan berhenti berjalan, dan duduk di kursi dekat pintu.
"Yasudah. Gua tunggu! Cepatlah!" ujar Madan dengan wajah yang cukup lelah.
Posisi duduknya menghadap ke arah papan tulis. Sementara tempat duduk yang lainnya dibuat saling berhadapan menyampingi papan tulis.
Madan mengambil earphone dari dalam saku celananya. Dari ekor matanya, Madan dapat melihat Atika yang tengah memperhatikannya. Baginya, itu hal yang biasa. Tak ada arti lain dari tatapan itu. Madan sadar akan hal itu.
Hobinya adalah mendengarkan musik. Tak pernah merasa bosan. Pada saat bersantai, atau bahkan pada saat belajar.
Madan menaikkan volume musik agar otaknya bisa menghayati musik lebih dalam.
'Semua yang terjadi barusan harusnya adalah hal yang normal! Tapi, Dwi si bodoh itu membuat semuanya menjadi canggung!' pikir Madan. bersandar santai pada kursinya hampir telentang. Menatap Dwi dengan geram.
'Lalu, buat apa gua menunggu orang itu? Bukankah gua geram dengannya?' ujar Madan dalam hatinya.
Di tengah waktu yang dinikmatinya dengan santai, teman Atika yang bernama Syifa datang menghampiri Madan.
Madan tak pernah melihat Syifa dimanapun. Tapi Madan tak terkejut. Ia paham bahwa tepmat ini akan mempertemukannya dengan banyak anak yang tak dikenalnya.
Syifa sempat menghampiri kawannya yang lain. Madan tak mengerti apa yang tengah dilakukannya.
"Dan!" panggil Syifa seakan dekat dengan Madan.
Dengan tatapan yang kosong, mata Madan hanya tertuju pada papan tulis. Madan merespon Syifa dengan menaikkan kedua alisnya.
"Boleh pinjam rautan?" Syifa terlihat cengengesan.