Tak jauh dari mejanya, mereka melihat Kiel yang sebelumnya sempat bercanda bersama kawannya. Namun sekarang, keadaan terlihat memanas.
Kiel dan kawan kawannya adalah murid murid yang terbilang nakal. Suka mabuk, merokok dan juga tawuran. Tak sulit bagi para guru untuk mengingat nama mereka. Cukup sering mereka dipanggil ke ruang guru atas perlakuan yang melanggar aturan.
"Hah? Ada apa disana?" tanya Bima. Ia sampai tak berkedip melihat kerusuhan disana.
"Sepertinya itu adalah Rio?" Jonathan berhasil menangkap kejadian yang sedang terjadi.
Rio pernah sekelas dengan Madan dan Jonathan. Di kelas tujuh, Rio tak pernah menunjukkan kenakalannya. Madan tak yakin penyebab masalah ini terjadi karena ulah Rio.
'Tidak mungkin Rio mencari masalah!' pikir Madan. Ia melihat Rio tengah menunjukkan amarahnya.
Terdengar suara sorakan beberapa orang di sekitar Rio.
"Lo keterlaluan, Fahmi! Apa lo tidak tahu apa yang baru saja lo lakukan?"
"Hehehe. Maaf maaf! Biar gua ganti!" Fahmi terlihat merasa bersalah.
Tak berhenti semua orang menyalahkannya.
Seorang murid berjalan dari tempat Kiel akan melewati Madan. Tak peduli siapa orangnya, rasa penasaran Madan membuatnya bertanya langsung kepada orang yang tak dikenalnya.
"Hei! Apa yang sedang terjadi disana?" tanya Madan penasaran.
"Rio memarahi Fahmi! Karena Fahmi bercanda berlebihan!" Arya tak fokus. Matanya masih tertuju pada lingkungan disekitar Rio.
"Memangnya, Apa yang dilakukan Fahmi?" Jonathan terlihat begitu peduli dengan Rio.
Dilihatnya mata Rio yang berkaca kaca. Tampaknya, tingkah Fahmi berlebihan.
"Ketika Rio sedang menyantap makanannya, Fahmi menggendong kucing yang lewat disekitarnya dan meletakkannya di meja makan Rio. Lauk yang dibeli Rio diambil oleh kucing itu. Hahaha." Menjelaskannya, membuat Arya terbayang kembali betapa konyolnya kelakuan Fahmi.
"Ahahaha." Beberapa kawan Madan tertawa mendengar cerita Arya.
Fahmi sendiri orang yang cukup dekat dengan Kiel. Beberapa kenakalan sering kali ditujukan untuk anak yang menurutnya lemah.
Tapi situasi saat ini berbeda. Fahmi berkali kali meminta maaf terhadap Rio. Tidak melepas kemungkinan bahwa alasan Fahmi ketakutan adalah karena Rio telah mengeluarkan air matanya. Khawatir tertuduh sebagai aksi pembullyan dan memilih menyelesaikannya segera.
Fahmi mengejar Rio, "Rio! Maaf please! Gua akan mengganti makanan lo dengan yang baru!"
Rio tak menggubris Fahmi. Karena air matanya hanyalah kekesalannya sementara.
Rio justru tak ingin masalahnya berlanjut, "Iya sudah! Tidak perlu seperti ini! Jangan mengejar gua terus!" kata Rio berbicara ketus. Tak nyaman menjadi pusat perhatian bagi para murid lain disana. Memilih meninggalkan kantin dan melupakan masalah itu.
Ketika mereka menyantap makanannya, Atala terpikirkan sesuatu.
"Hei!" Atala mencari perhatian lebih dulu.
"Ya?" saut Madan sambil menyuap nasinya.
"Apa rasanya enak? Jika kita duduk berpisah dengan mereka. Bukankah mereka juga teman kita?" tanya Atala membuat kawannya sempat terdiam.
"Tak ada masalah. Jika lo ingin bergabung dengan mereka, silahkan saja!" Madan tak mampu mengalihkan matanya dari piring.
Bima sependapat dengan Madan. Bima merasa kurang cocok untuk bergaul dengan mereka.
"Sudahlah! Tidak perlu mencari gara gara! Tetaplah disini! Memangnya ada masalah apa?" Tanya Bima.
Atala terdiam tak menjawab. Ia begitu sering mengecek ponselnya. Kabar dari Acha sangat ditunggunya. Membuatnya tak bisa lepas dari ponsel.
Mereka berpacaran sejak kelas tujuh. Acha adalah teman sekelasnya yang dikagumi Atala. Kecantikan Acha banyak diakui pria lain. Hubungan mereka terbilang awet. Hingga saat ini hubungan mereka masih sehat.
Setelah selesai menghabiskan makanannya, Madan mengajak kawannya untuk kembali ke kelas.
"Ayo kita kembali ke kelas!" ajak Madan.
Namun, Atala enggan untuk langsung masuk ke kelas sebelum jam istirahat berakhir.
"Ah, duduk saja disini dulu! Lagipula di kantin ini masih ramai akan murid! Memangnya, apa yang bisa kalian lakukan di dalam kelas? Membosankan!" Atala menahan mereka. Wajahnya jarang terlihat tenang.
"Yasudah kalau begitu. Gua pergi ke atas lebih dulu ya?" Madan tak masalah jika mereka masih nyaman berada di kantin.
"Iya! Gua ikut!" ucap Jonathan menerima ajakan Madan. Niatnya ingin bermain game.
"Tunggu sebentar!" kata Bima menghabiskan minumnya dengan cepat.
Mereka berdua akan ikut dengan Madan ke atas. Atala bersikeras untuk tak langsung kembali ke kelasnya. Ia memilih untuk tetap berada di kantin.
"Yah, ternyata seperti ini arti kawan yang sebenarnya? Oke kalau gitu!" Atala seakan mengancam mereka.
Madan dan teman temannya mengabaikan Atala. Madan tak memaksa Atala. Maka dari itu, Atala juga tidak bisa memaksa Madan.
Mereka pun mulai berjalan dan perlahan menjauh dari meja makan mereka di kantin. Ketika berjalan ke arah lorong untuk menuju ke tangga, Bima melihat Acha.
"Eh, bukankah itu Acha?" tanya Bima dengan suara yang pelan sambil memperhatikan Acha. Disipitkan matanya.
Seketika, mata Jonathan dan Madan mencari sosok Acha yang tengah diperhatikan Bima.
Jonathan mulai membuat teori sendiri, "Dia benar! Jangan jangan, alasan Atala tak mau kembali ke kelasnya adalah karena dia ingin bertemu dengan Acha?"
Lagi lagi Madan tak dapat mengenali salah satu murid yang ada di sekolahnya. Madan pernah melihat perempuan itu ketika ia tak sengaja berpapasan di belakang kantin. Namun, itu hanyalah pertemuan singkatnya yang membuatnya harus mengingat kembali.
Melihat Acha rasanya seakan bertemu dengan murid baru.
"Apakah dia adalah pacarnya Atala?" tanya Madan berusaha menimbrung pada obrolan mereka yang terdengar seru.
"Iya!" jawab Bima.
Madan terlalu fokus memperhatikan Acha hingga tak sadar ada lubang dekatnya.
Kakinya hampir menerobos lubang besar, "Eh." reflek Madan menyelamatkan dirinya. Sempat terbesit dikepalanya, tentang alasan perempuan secantik Acha mau berpacaran dengan Atala. Tapi madan sadar bahwa ia mulai merendahkan kawannya sendiri.
'Apa apaan? Memangnya kenapa kalau dia pacaran dengan Atala?' tanya Madan dalam hatinya.
"Dia juga sekelas dengan gua!" Bima menyambung kalimatnya.
"Pantas saja. Tak jarang merasa seperti melihat murid baru." Madan mengungkapkan perasaannya yang masih belum terjawab.
"Yaa, mungkin lo saja yang jarang keluar dari kelas! Maka dari itu, jangan hanya diam di dalam kelas terus!" Jonathan mengolok Madan.
Madan tak menggubris candaan Jonathan.
"Ya kan? Dia memang begitu! Itulah akibatnya jika jarang keluar dari kelas!" Bima menyambung candaan Jonathan.
"Enak saja! Gua pun tak merasa nyaman jika harus terus berada di dalam kelas! Tapi, tetap saja, orang orang ini seakan menghilang dan baru kembali saat ini!" Madan ingin perkataannya ditanggapi dengan serius oleh teman temannya. Berusaha mengolah kata agar dapat membuat mereka merasakan apa yang dirasakannya.
"Halah! Gua tidak percaya!" Bima menganggap Madan sedang membual.
Madan menoleh ke belakang ke arah jalan yang dilalui Acha. Dilihatnya Atala yang tengah berinteraksi dengan Kiel dan kawan kawannya yang lain.
"Wow. Ternyata dia bisa bergaul dengan Kiel!" ucap Madan menghentikan langkahnya hanya untuk memperhatikan Atala yang berada jauh dibelakang sana.
Seperti biasanya, Kiel membawa kawan kawannya untuk duduk di bagian kantin paling belakang. Secara tidak langsung, daerah kantin bagian belakang dikuasai oleh hanya murid lelaki.
"Mungkin dia hanya ingin dicap sebagai murid yang keren saja. Sudahlah! Ayo kita naik ke atas lagi!" Bima berusaha menyudahinya. Menarik tangan Madan untuk kembali berjalan menuju ke lantai atas.
"Eh? Pelan pelan sialan!" Madan sempat tersandung karena tenaga Bima yang menariknya cukup kuat.
Mereka belum lama berteman. Madan masih belum bisa menganggap mereka semua sebagai teman dekatnya. Meskipun mereka selalu bersamanya ketika Madan ingin pergi kemanapun. Maka, banyak hal yang ingin Madan tahu tentang teman temannya.
Di tengah perjalanan mereka menyusuri lorong gedung sekolah, Madan memiliki pertanyaan yang disimpan di dalam kepalanya untuk Bima.
"Hei Bim." Madan memanggil Bima.
"Hah?" saut Bima.
"Lo dan juga Atala. Memangnya, sudah berapa lama kalian berteman? Gua perhatikan, sepertinya kalian begitu dekat hingga pantas disebut sebagai saudara!" Madan menyinggung kedekatan mereka.
"Hanya sejak kelas tujuh!" jawab Bima tak tertarik dengan pertanyaan Madan.
"Apa Atala itu orang yang sangat sayang dengan pacarnya?" Madan terlihat seperti orang yang haus ilmu. Ilmu akan menaklukan perempuan.
Bima mencoba berpikir cara untuk menanggapi pertanyaan Madan.
"Dia, dia adalah anak yang cengeng! Hahaha." Bima tertawa.
"Hah? Apa benar seperti itu?" tanya Madan. Raut wajahnya menggambarkan rasa tidak percaya terhadap kata kata Bima.
Madan sendiri tak merasa bahwa Atala adalah anak yang cengeng. Atala mudah bergaul dengan siapapun.
"Pada saat itu, gua berkelahi dengan Atala. Dia menangis! Dia anak yang cukup lucu!" Bima menceritakan kisahnya dengan Atala di kelas tujuh.
"Hahaha. Apa lo serius?" Madan menanggapi cerita Bima.
"Iya. Gua sendiri lupa, bagaimana bisa gua sampai berkelahi dengan anak itu!" jawab Bima meyakinkan Madan.
"Bukankah kita berdua juga pernah berkelahi?" Jonathan mengaitkan cerita mereka dengan topik pembicaraan mereka.
"Iya! Itu karena lu sangat tengil, Jon!" Madan langsung merasa malas untuk membahas masalahnya dengan Jonathan.
Pada saat ini, Madan merasa bahwa pergaulan adalah hal yang tak begitu penting. Madan percaya, bahwa orang orang yang berada di lingkaran itu hanya sekedar melihat dan meniru. Mereka jarang mendapatkan kenikmatan dan arti dari apa yang dilakukannya.
Di lorong arah keluar kantin, Madan melihat adanya mading yang telah diperbarui.
"Eh? Memangnya, mau ada acara apa?" Madan menghentikan langkah kakinya.
Sontak kawannya ikut berhenti.
"Duh. Ada apa lagi? Itu adalah acara yang akan berlangsung jauh dari hari ini!" Bima memarahi Madan.
"Loh? Bukankah ini adalah Acha?" Madan menunjuk poster dimana Acha tengah menggendong gitar listriknya.
"Iya. Dia memang anak band!" Jonathan membuat Madan tak percaya. Madan menunjukkan Jonathan ekspresi tidak percaya, "Hm? Apa benar begitu?" tanya Madan dengan nada meledek.
"Terserah saja. Gua sempat mendengarnya dari Atala!" kata Jonathan.
Setelah melanjutkan perjalanannya, mereka sampai di lantai dua dimana kelasnya berada. Berpapasan dengan salah satu kawan yang seagama dengan Jonathan. Ia menghampirinya.
"Jon!" tegur kawan Jonathan.
"Apa?" saut Jonathan terdengar cukup malas untuk memberikan responnya.
"Lo di panggil guru ke gedung baru!" kata temannya.
Madan dan Bima cukup penasaran dengan apa yang tengah terjadi dengan Jonathan.
'Dia di panggil? Apa Jonathan melakukan kesalahan?' tanya Madan dalam hatinya.
Dilihatnya Bima yang tak berhenti memperhatikan pembicaraan Jonathan dengan kawannya.
"Bim. Ayo! Tinggalkan saja!" ajak Madan.
Tak ada masalah yang menyangkut mereka. Jonathan punya urusan yang harus diselesaikannya. Mereka meninggalkan Jonathan dan masuk ke kelasnya.
Ketika tiba di kelas, Madan melihat banyak kawannya yang telah kembali dari kantin.
"Hah? Bukankah waktu istirahat masih lama? Tidak biasanya kelas kita ramai seperti ini!" gumam Madan sambil melihat disekitar kelasnya.
"Bukankah gua sudah mengatakannya? Berada di kelas itu terasa lebih nyaman! Lo bisa bersantai!" kata Bima menegaskan kembali bahwa apa yang dikatakannya benar adanya.
"Urusan perut tidak bisa dibawa santai kawan!" Madan tidak setuju dengan pernyataan Bima.
Madan sendiri bukanlah murid yang rajin. Ia memiliki kecerdasan pada rata rata. Tak jarang Madan telat untuk mengumpulkan tugasnya.
Madan merasa bahwa dirinya anak yang rajin. Mengerjakan semua tugas dari gurunya. Hanya saja, aneh rasanya jika tugasnya tak kunjung habis. Itulah yang membuat Madan sempat merasa putus asa.
Motivasinya akan muncul ketika Madan melihat temannya yang rajin. Itu adalah salah satu cara agar dapat mengembalikan semangat Madan dalam menjalankan sekolahnya.
Tak jauh darinya, Madan dapat melihat Catlin yang terlihat sibuk mengerjakan tugasnya bersama Tasya.
"Hei Catlin! Apa ada tugas dari guru?" tanya Madan penasaran dengan apa yang tengah mereka kerjakan.
"Ada! Halaman sekian!" jawab Catlin langsung menjelaskannya kepada Madan.
"Akh sialan!" Madan mengeluh.
Madan selalu mengerjakan tugas bersama dengan temannya pada waktu yang tidak seharusnya. Mencuri waktu istirahat menjadi alternatif bagi penyelesaian masalahnya.
Madan pun langsung mengambil bukunya dan mengerjakan tugas yang perlu dikerjakannya.
Ketika Madan mulai menulis, Madan menyadari bahwa Bima masih sibuk dengan ponselnya. Seakan Bima tak memiliki tugas yang perlu dikejar.
"Bim!" panggil Madan mengintip layar ponsel Bima.
"Oi?" saut Bima tanpa menolehkan pandangannya ke arah Madan.
"Apa lo tidak ingin mengerjakan tugas?" tanya Madan terdengar heran.
"Tidak! Gua akan kerjakan nanti!" jawab Bima membawa santai permasalahan yang dibahas Madan.
Madan tak mengerti maksud Bima. Sementara, tugas yang tengah dikerjakannya sekarang akan dikumpulkannya setelah jam istirahat selesai.
'Nanti saja katanya? Apa dia berusaha mencari celah agar lolos dari guru yang akan memeriksanya nanti? Terserah dia saja!' Madan berpikir tentang bagaimana cara Bima menghadapi gurunya nanti.
"Terserahlah!" kata Madan lanjut menulis.
Ketika waktu diharapkannya dapat melambat, justru terasa begitu cepat. Tak terasa begitu lama, sebentar lagi waktu istirahat akan berakhir. Madan baru saja mengerjakan separuh tugasnya.
/Suara bel masuk terdengar cukup keras.
"Sialan! Baru saja gua menyentuh kertas ini!" ucap Madan dengan ekspresi yang membuat wajahnya terlihat sangat jelek.