Chereads / INI KISAHKU (Santi , Panji) / Chapter 8 - Mempersiapkan Pernikahan

Chapter 8 - Mempersiapkan Pernikahan

Ini semua tentang pilihan, orang yang tepat di waktu yang tepat dan tempat yang tepat.

Setiap orang akan bertemu orang tepat dalam hidup mereka, mengalami badai bersama, dan kemudian melihat pelangi bersama.

Mereka yang bisa pergi bukanlah yang paling di cintai; mereka yang tidak bisa pergi adalah takdir.

Dari keputusan yang aku ambil saat ini mungkin akan menentukan jalan mana yang aku akan tempuh. Sebuah perjalanan pernikahan menunggu di depan mataku. Sebuah biduk rumah tangga di mana kita tidak tahu apa yang akan terjadi.

Setelah pertemuan itu kedua keluarga mulai sibuk mempersiapkan pernikahan. Pertemuan kita pun mulai sedikit karena kesibukan masing-masing. Aku mulai mencari-cari informasi tentang penyewaan kebutuhan pernikahan. Karena belum paham tentang itu aku mencoba bertanya pada Bibiku.

Pagi di musim panas ini terasa sangat dingin bunga randu alas mulai berbunga. Dengan embun di rerumputan dan pepohonan di pagi hari dan matahari menyebar dari kejauhan menerangi kota tanpa jejak suhu.

Waktu menunjukkan pada pukul setengah tujuh pagi matahari dan udara dingin memasuki cela jendela rasa malas masih menggelantungiku enggan untuk membuka mata ini. Terdengar suara-suara obrolan Ayah dan Ibu, sudah tidak terdengar suara cempreng dari mulut adikku. Suara hiruk-pikuk kendaraan di depan rumah menambah gaduh lingkungan sekitar. Kadang aku habis pikir apakah merek tidak tidur dua puluh empat jam tanpa henti.

Aku mulai memaksakan tubuh ini untuk menuruni tempat tidur, hari ini ada janji sama teman untuk ketemu penyewaan kebutuhan pernikahan. Ku berjalan melangkah keluar dari kamar terlihat Ayah dan Ibuku sedang duduk di teras rumah terdengar samar-samar sedang berbicara tentang menyewa tenda dan belanja keperluan dapur lainnya.

Lalu ku ambil handuk yang ada di jemuran pelan-pelan melangkah menuju kamar mandi air yang dingin mulai menyentuh kulit tidak butuh berapa lama tubuh yang tadinya terasa berat untuk membuka mata kini berasa segar kembali. Ku bungkus rambutku yang basah lalu berjalan keluar menuju meja makan bertudung saji itu.

Pelan-pelan kubuka penutupnya tercium aroma khas makanan kesukaanku semur jengkol yang bisa menghabiskan sebakul nasi hangat. Ku mulai suap demi suap nasi hangat itu tak terasa nasi di depanku sudah habis tanpa sisa lalu membawa piring sisa makan itu untuk di cuci.

Ku berjalan ke teras menghampiri Ayah dan Ibu di teras sambil berkata, "motornya nanti di pakai tidak," tanyaku mengusap-usap rambut yang basah.

"Enggak di pakai," kata Ayahku singkat."

"Enggak ke pasar atau ke mana begitu?" tanyaku penuh keheranan.

"Waktunya masih lama, kemarin sudah beli sebagian bumbu dan lain-lain tinggal beli bahan yang mudah busuk," kata ibuku sambil memilah-milah rambut putih di kepala Ayahku.

"Mau ke mana?" Tanya ayahku lagi.

"Mau lihat dekorasi sama Mbak Sri dan Bibi Lika," jawabku.

"Lihat kok enggak sama Ibumu," jawabnya sedikit heran.

"Masih cari-cari belum pasti entar kalau bagus dan murah, pasti mengajak Ibu untuk melihat dan merundingkan harganya," jawabku menjelaskan dengan panjang lebar.

"Oh, begitu!" jawabnya singkat.

Aku berjalan masuk ke dalam kamar merapikan rambut dan memberi sedikit warna di wajah tidak lupa memakai minyak wangi kesukaan yang lembut tanpa harus membuat kepala pusing. Setelah selesai berdandan aku berjalan keluar mengambil helm dan berpamitan pada Ayah dan Ibu.

Ku mulai mengeluarkan dan memanaskan mesin sepeda motor setelah beberapa saat aku telah membelah suasana keramaian aspal hitam itu. Suara bising dan lalu lalang kendaraan membuat otak harus berkonsentrasi secara penuh. Tidak butuh waktu lama aku sudah sampai di depan rumah Mbak Sri karena rumahnya tidak jauh dari rumah ku.

Aku mematikan mesin motor lalu berjalan menuju teras rumah dan mengetuk pintu memastikan ia ada di rumah. Dalam ia berjalan keluar dan berkata, "jam berapa ini?" tanyanya sambil menunjukkan jam tangan di tangannya.

"Baru jam sembilan," jawabku dengan senyum mengembang di ujung bibir.

"Ya sudah, ayo cepat berangkat. Memang mau liat penyewaan dekorasi pernikahan di mana?" Tanyanya.

"Di desa bibiku katanya ada penyewaan yang bagus katanya," jawabku sambil menghidupkan motor.

Sinar matahari pagi ini begitu menyengat kulit, udara sekitar masih terasa segar. Dalam perjalanan kita saling mengobrol walaupun kadang suara terbawa oleh angin. Dia bertanya, "kamu kok nikah cepat-cepat kenapa?"

"Tidak kenapa-kenapa mungkin aku sudah menemukan orang yang tepat di waktu yang tepat," kataku.

Bagaimana kita menjalani hidup yang kita inginkan, pernikahan adalah jembatan kehidupan yang baru. Pernikahan bukan hanya sekedar kata-kata manis dia membutuhkan sebuah komitmen dan dedikasi. Kita sebagai wanita juga harus memahami tentang sebuah alasan kebenaran, di dunia ini jangan terlalu berharap dan mengandalkan orang lain yang bisa kita andalkan adalah diri sendiri.

Tidak butuh waktu lama sampai di rumah Ibunya Bibi, dia mempersilahkan masuk ku melirik ke arah Mbak Sri untuk masuk atau tidak. Mbak Sri menggeleng dan berkata, "sudah siang kita langsung ke tempatnya saja."

"Ya sudah tak ambil kunci motor dulu!" Kata Bibiku.

"Iya," kataku.

"Ayo, berangkat," kata bibiku.

Aku pun mengikutinya pelan-pelan dari belakang. Lima belas menit perjalanan tempat yang dituju akhirnya sampai juga. Lalu aku mematikan mesin motor dan berjalan menaiki anak tangga. Bibi mengetuk pintu dan mengucapkan salam untuk memastikan si empunya rumah ada di tempat, "Assalamualaikum," sambil beberapa kali mencoba memberi salam.

Sebuah langkah kaki terdengar dari arah belakang si empunya rumah menjawab salam itu, "Walaikumsalam, jawabnya. Terlihat si empunya rumah usianya masih di kisaran empat puluhan tahun. Saat aku terpukau akan parasnya dengan suara lembutnya dia mempersilahkan masuk, "silakan masuk," katanya dengan senyuman mengembang tipis di pipinya.

Kita bertiga pun melangkah masuk terlihat jejeran baju adat pernikahan Jawa, gaun pengantin modern dan beberapa sampel dekorasi dari yang memakai bunga asli sampai memakai bunga palsu.

Setelah melihat-lihat aku pun memberanikan bertanya, "satu set dekorasi dan pakaian berapa?"

"Empat juta," pemilik penyewaan itu pun berkata.

"Boleh kurang dikit tidak?" tanyaku. Aku berkata lagi, "kalau boleh kurang besok kita rundingan lebih lanjut dengan Ibuku!"

"Tidak bisa,"

"Ya sudah, kalau tidak bisa aku cari yang lain," kataku sambil pura-pura berjalan.

Dia berkata sambil berdiri "Bisa,"

"Besok aku dan Ibu akan datang ke sini lagi," kataku sambil duduk minum teh di cangkir itu.

Kita bertiga akhirnya berpamitan untuk pulang, saat menghidupkan motor Bibi mengatakan, "hebat kamu! Biasanya kagak ada yang menawar, mau ya segitu gak mau segitu!" ia berkata sambil mengacungkan jempol tangan.

"Bagaimana lagi bukan cuma dekorasi saja kayaknya sama salon dan tendanya juga. Aku sebenarnya juga belum tanya sama Ayah sekalian sama tendanya juga tidak. Nanti sampai rumah tanya pada mereka!" Aku mengatakan dengan sedikit senyum mengembang tipis di wajah. Aku pun berkata lagi, "aku langsung pulang tidak mampir ke rumah lagi soalnya sudah siang,"

Ia pun mengangguk dan menghidupkan motornya dan pergi melaju ke arah yang berlawanan. Mbak Sri pun naik dengan pelan di jok belakang aku mulai membelah aspal hitam yang berkilau di bawah sinar matahari, membelah keramaian dan lalu lalang kendaraan bermotor. Kanan kiri terbentang hamparan hijaunya tanaman masih terlihat satu dua orang ada di tengah teriknya matahari, debu jalanan terbang ke sana-kemari seperti tanpa beban.

Sekitar lima belas menit perjalanan aku dan Mbak Sri memasuki desa tetangga jalan yang mulai makin berdebu dan sedikit tidak rata menyambut kita. Sudah lama hujan tidak turun membuat tanah makin kering dan debu mudah terbawa oleh angin.

Setelah melewati satu desa akhirnya sampai juga di depan rumah Mbak Sri dan aku pun bertanya padanya, "besok ada waktu tidak?"

Ia pun menjawab , "tidak ada, besok aku masuk kerja."

"Ok, tidak apa-apa," jawabku dengan bibir tersungging.

Bersama mesin motor yang masih hidup tadi aku mulai membela aspal hitam itu lagi. Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di depan rumahku terlihat Ayah, Ibu dan adikku.

Aku mematikan mesin motor dan melepas helm yang ada di kepala. Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut adikku, "Jam segini baru pulangl

ke mana saja," tanyanya sambil menaruh tangan di pinggangnya.

"Ke desa B untuk melihat dekorasi dan baju pengantin," kataku sambil memasuki rumah untuk menaruh tas dan helm.

"Bagaimana cocok, murah dan bagus enggak?" Tanya Ayahku.

"Bagus, cocok tapi sedikit mahal," jawabku lagi.

"Berapa?" Ibuku ikut bertanya.

"Empat Juta dekorasi dan pakaiannya," kataku. aku menambahkan lagi, "katanya boleh kurang," berkata sambil melangkah ke dapur untuk mencari makanan.

Kubuka tudung saji di meja terlihat makanan sederhana menggugah selera, keluarga memang kurang suka daging-dagingan apalagi adik dan Ayahku. Mereka berdua masih mau makan jika ayam di goreng garing selain itu pegang pun tidak akan mau.

Hari ini lauknya cukup tumis kangkung, gorengan tempe dan gorengan ikan emas sudah membuat perut ini terisi kenyang. Aku mengambil seperlunya dan ku taruh di piring pelan-pelan melahap makan yang ada di hadapanku. Tidak perlu waktu lama makanan yang ada di piring itu sudah tidak tersisa. Aku berdiri melangkah untuk mencuci piring bekas makan yang tadi ku pakai.

Setelah selesai aku berjalan melangkah keluar untuk duduk mengobrol di teras rumah, aku berkata, "untuk besok aku sudah buat membuat janji, besok bisa merundingkan harganya," kataku.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore tapi matahari masih menyilaukan mata, angin sore sedikit menyejukkan, aroma bakso sebelah semakin menyerbak ke penjuru arah.

Suara telepon berbunyi berdering di layar tertulis, "lagi apa," pesan singkat darinya.

Aku mengetik pesan untuknya, "lagi mau mandi, bagaimana persiapannya?" Tanyaku singkat.

"Belum selesai, bagaimana dekorasi dan bajunya sudah dapat belum?" isi pesan singkatnya.

"Tadi pagi baru lihat-lihat, besok baru mau merunding harga," balasku lagi. Aku mengetik lagi, "kamu tidak ikut merunding atau lihat baju dan dekorasinya."

"Tidak usah, aku percaya padamu?" pesan singkat tertulis di layar hand phone.

Aku melangkah masuk mengambil handuk lalu mandi.

Saat makan malam aku mencoba membuka percakapan, "tenda, Sound System dan peralatan makan apa sekalian pinjam di situ jika harganya bisa murah dikit," katakku menjelaskan.

"Dilihat besok bagaimana kondisinya kalau bisa kurang ya sekalian satu tempat," kata Ayahku.

Setelah makan malam aku mulai mempersiapkan siapa saja yang akan di undang ke pernikahanku nanti setelah menulis aku pun bertanya pada Ibuku, "Bu, siapa saja yang mau ditulis untuk daftar orang yang mau di undang," tanyaku dengan memegang pensil dan mendengarkan dengan seksama.

Ibu menjawab sambil menggaruk kepalanya, "tidak usah di tulis, aku weweh nanti tiga kurang lebih 3 desa kalau ditulis nanti tangannya bisa capek dan butuh waktu banyak. Cukup nanti memberi tahu orang yang membatu weweh di mana batas-batasnya." jawabnya dengan tenang.

Keesokan harinya aku dan Ibu pergi ke tempat penyewaan baju dan dekorasi pengantin kemarin. Ibu dan si empunya dekorasi merundingkan harganya setelah deal semua kami pun pulang.

Stelah beberapa hari mempersiapkan semua akhirnya selesai juga. Sekarang giliran memberi tahu tetangga sebelah dan orang tertentu yang biasanya memasak nasi dan cuci piring untuk membantu tapi jangan salah mengartikan mereka yang cuci piring , memasak nasi mereka ada bayaran tersendiri menggantikan upah tenaganya.

Dan tidak terduga Om kakak sepupu dari ayah juga menikahkan anak perempuannya yang tadinya bukan hari itu dan akhirnya terbentur dengan acara di rumahku. Mau tidak mau orang yang membantu dua RT harus di bagi menjadi 2 agar bisa adil dan agar kedua belah pihak bisa berjalan lancar.

Hari H kurang beberapa hari lagi rumahku mulai banyak orang ada yang membuat kue ada yang mulai mempersiapkan segalanya, aku pun mengambil kartu undangan dari pencetaknya dan membagikan kepada teman- teman sekolahku. Peralatan dapur dan tenda yang di pesan pun akhirnya pun datang kesibukan mulai bertambah.

Aku pun di minta penata riasnya untuk Puasa Mutih.

NB:

1. WEWEH : Memberikan nasi pada tetangga, teman dan kerabat.

2. Puasa Mutih : Tujuannya untuk memohon kelancaran pernikahan yang di gelar dan agar menambah aura calon pengantin saat pernikahan digelar.