Chereads / INI KISAHKU (Santi , Panji) / Chapter 12 - Hujan Pertama di Rantau

Chapter 12 - Hujan Pertama di Rantau

Besoknya sebuah suara telepon berdering membangunkannya masih mengernyitkan dan mengusap-usap matanya saat aku berusaha mengambil telepon itu. Aku mengangkat telepon itu dan seraya berkata, "Halo, ini siapa?" tanyaku dengan singkat.

Suara terdengar samar-samar dari seberang, "Aku Kak Men .Panji ada?" tanyanya.

"Ada," jawabku singkat sambil memberikan ponsel padanya.

Dia bangkit dan mengusap-usap matanya suara hujan saling berdetak di genting membuatnya tidak bisa meneruskan tidurnya. Dengan suara malas dia menjawab panggilan telepon itu, "Ada apa?" tanyanya singkat.

Aku berjalan keluar kamar terlihat kakak pertama dan istrinya sedang duduk di teras, aku menghampiri seraya berkata, "Hari ini tidak kerja, Mbak?" tanyaku singkat.

"Gak," jawabnya singkat.

Suara hujan seperti lagu lama-kelamaan berubah 'di-di-da' menjadi 'gemeresik' dan akhirnya sekitar menjadi senyap tanpa suara hingar-bingar orang lalu lalang.

Hujan turun satu persatu seperti manik-manik yang jatuh dari rantai, seperti keran air yang telah dibuka, padat, mendesak, saling menabrak, saling mendahului dan saling berdetak... pembukaan gerakan dimainkan tanpa henti.

Aku berdiri di pintu dan melihat hujan yang sangat deras itu bagaikan mutiara kecil yang tak terhitung jumlahnya, jatuh dari langit menabrak kanopi , dedaunan bergerak disertai dengan angin kencang, kilat dan guntur. Hujan yang telah lama di tunggu ini bahkan lebih mengasyikkan terus turun ke bawah membiarkan kanopi dan daun membuat suara acak.

Dia terlihat berjalan keluar kamar dan menghampiri kakaknya dan lalu berkata, "Hari ini gak kerja? Motornya nanti tak bawa boleh?" Tanyanya berturut-turut seperti polisi yang sedang menginterogasi penjahat.

"Enggak, bawa saja!" Katanya singkat sambil mengeluarkan kunci dari dalam kantongnya. Dia melanjutkan kata-katanya, "Hari masih hujan, kamu mau pergi ke mana?" Tanyanya.

"Tadi Kang Men telepon, suruh ke dusun menemui yang punya lahan!" katanya menjelaskan panjang kali lebar.

"Hari masih hujan, kayaknya susah untuk pergi sekarang ini," dia berbicara sambil melihat ke arah luar halaman.

"Paling menunggu hujan reda," jawabnya singkat.

Istri kakak ipar aku memanggilnya dengan sebutan Mbak Yuni pun menyahut obrolan mereka, "Udah mandi belum? Udah sarapan belum suamimu?" tanyanya sambil menoleh padaku.

Dari awal dia dan istri kakak ipar kedua yang mengakrabkan diri padaku. Entah apa yang membuatku nyaman mengobrol dengan mereka berdua. Aku pun menjawab pertanyaannya yang di lontarkan kepada ku tadi, "belum," jawabku singkat dengan ekor mata melirik suamiku.

Mbak Yuni meneruskan bicaranya lagi, "cepetan disiapkan makanannya!" Dengan suara agak mengeras. Sambil menatap ke arah adik iparnya dia berkata lagi, "Kamu cepetan mandi, kalau hujan sudah reda bisa langsung pergi!" perintahnya lagi.

Kita pun seperti kerbau di cucuk hidungnya menurut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun berjalan perlahan menuju ke rumah. Saat di dapur dia pun berkata, "kamu ganti baju, nanti ikut ke dusun," setelah mengatakan dia melangkah masuk ke dalam kamar mandi.

Tak lama hujan pun reda Mbak Yuni dan suaminya juga melangkah masuk ke dalam rumah. Dengan suara sedikit pelan aku pun memberanikan bertanya, "Mau ke mana mbak?" kataku dengan senyum mengambang di sudut bibir.

"Mau ke ladang," jawabnya singkat.

"Tadi katanya tidak ke ladang?" tanyaku sedikit bingung.

"Mau bersih-bersih rumput ke ladang, motornya bawa saja!" jawabnya sambil melangkah ke dapur.

Terlihat Panji berjalan mendekati dan berkata, "Ada apa?" tanyanya.

"Kang dan mbak mau ke ladang," aku menjelaskan.

"Kok mau ke ladang?" Jawabnya sedikit kaget.

"Coba tanya dulu sama mbaknya!" Nada suaraku sedikit memerintah.

Dia perlahan mendekati kakak iparnya terdengar samar-samar dia berkata, "Mbak mau ke mana?" tanyanya.

"Mau bersih-bersih rumput di ladang," dia menjawab sambil berjalan berlalu.

"Katanya tadi tidak ke ladang?" tanya panji sambil mengikutinya dari belakang.

""Mumpung basah habis hujan rumputnya tidak begitu keras jadi mau dibersihkan. Kamu mau pergi, pergi saja tidak papa entar kita perginya jalan kaki." Katanya dengan panjang kali lebar.

"Eh, kunci rumahnya mbak bawa saja!" jawab Panji singkat.

"Iya," jawab Mbak Yuni.

Setelah mereka saling memastikan dia pun berjalan ke arahku dan berkata, "Sudah siap belum?" tanyanya.

"Sudah," jawabku singkat.

"Ya, sudah kita berangkat sekarang!" dia berkata sambil berjalan mengambil kunci di atas meja.

Aku pun berjalan mengambil tas tangan yang ku bawa dari Jawa dengan pelan mengenakannya di pundak. Sepeda motor telah di nyalakan dengan suara berbeda lebih pelan dari pada motornya.

Motor itu membelah panjangnya aspal hitam yang penuh dengan genangan air sehabis hujan. Dengan rakus aku menghirup udara manis setelah hujan. Betapa indahnya rintik hujan di bunga ini. Melihat sekeliling, itu seperti gulungan gambar besar, begitu damai dan nyaman.

Di pagi hari setelah hujan itu memberikan suasana hati yang murni pada setiap orang dan memberikan rasa acuh tak acuh. Melihat pemandangan indah yang ditinggalkan oleh tetesan hujan , aku merasakan semacam kesenangan dalam diam di hati. Dalam kepolosan dan kebersihan di dunia jika kita sempat memperhatikan dengan saksama akan menemukan tempat yang tenang dan menenangkan suasana hati yang lebih baik.

Hujan seperti simfoni "chi...chi...chi...chi..." seperti burung menyanyikan melodi utama yang indah di langit dan di antara cabang-cabang ranting. Gemerincing suara air mencari sungai menyanyikan sub-melodi yang indah.

Genangan air di jalan membuat motor yang melewati akan menciptakan percikan air kiri dan kanan. Udara masih terasa dingin menembus tulang. Perjalanan telah melewati beberapa kampung dengan rumah adat panggungnya, melewati kebun sawit dan kebun karet. Perjalanan satu setengah jam akhirnya sampai sebuah rumah panggung yang cukup megah.

Terlihat anak-anak berlarian ke sana kemari dengan senangnya bermain air hujan penuh senyum di wajah mereka. Laki-laki berbadan tinggi dengan perut buncit menghampiri dan berkata dengan suara khas daerah sini, "Awak Panji?" tanya. Aku baru pertama mendengarnya ikut bingung apa artinya sebenarnya.

Aku menarik ujung baju Panji dan dengan pelan berbisik, "Apa artinya?' tanyaku dengan sedikit bertanya-tanya.

Di menjawab dengan berbalik berbisik, "kamu Panji." dia lalu meneruskan kata-katanya.

Aku memilih untuk menjauh dari mereka bukan karena apa-apa, cuma karena aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Aku duduk di bangku bawah pohon rambutan yang mulai berbunga. Terlihat seorang wanita dengan mengenakan sarung melingkar di pinggangnya mendekat dengan membawa baki yang berisi segelas air dan sambil berkata, "Ayuk silahkan minom aeknyo!" dia mempersilahkan.

Dengan sedikit mulut terbuka karena bingung dalam hati berkata dia sebenarnya ngomong apa, entah lah aku pura-pura mengerti apa yang dia bicarakan. Setelah diam sesaat aku pun berkata, "terima kasih," jawabku singkat dengan senyum di ujung bibir.

Aku mengambil gelas yang tadi disuguhkan padaku, bibirku menempel di pinggiran gelas itu dan meneguknya sedikit. Dia pun melangkah meninggalkan tempat aku berada dan langkahnya menghampiri kerumunan orang yang sedang bercanda tawa di bawah rumah panggung itu.

Tidak berapa lama terlihat sebuah sosok yang ku kenal keluar dari dalam rumah dari belakang juga terlihat si empunya rumah. Aku menghampirinya dan tak lupa membawa baki yang tadi di bawa oleh si ayuk.

Kami pun berpamitan pada sang empunya rumah senyum tipis yang mengembang di pinggir bibirnya dan mempersilahkan.la Panji mulai menghidupkan motornya lalu aku perlahan duduk di bangku belakang.

Perlahan dengan pasti kita meninggalkan halaman itu semakin lama semakin mengecil dan tak terlihat. Kiri kanan terhampar kebun sawit warga yang tingginya sama dengan tiang listrik. Suara monyet terdengar bersahutan seperti sedang mengobrol satu sama lain terlihat juga orang-orang yang sedang memanen sawit. Sebelumnya aku belum pernah melihat bagaimana bentuk sawit, dan belum pernah tahu bagaimana memanennya tapi sekarang itu semua sudah ku lihat dengan mata kepalaku sendiri ini semua pengalaman berharga buatku.

Perjalanan yang cukup panjang tak terasa begitu cepat ketika kita sampai rumah jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Mbak Yani dan keluarganya sudah terlihat di rumah ocehan-ocehan suara anak kecil itu mengisi seluruh ruangan.

Mbak Yani dan kakak Men duduk di teras rumah, setelah mematikan motornya Panji melangkah mendekati mereka. Kak Men bertanya padanya, " Bagaimana boleh tidak?"

"Boleh," jawab Panji singkat.

"Kapan masuk? Tadi minta uang sayur tidak?" dia bertanya tanpa jeda.

"Besok pagi, minta." jawab Panji. Sambil berjalan dia berkata lagi, "Masak apa mbak?" tanyanya pada kakak iparnya dengan ekspresi meringis di wajahnya.

Aku tanpa mengucapkan sepatah apa pun cuma melihat tingkah mereka dari kejauhan.

Mbak Yani menjawab, "Ada sayur dan tumis daging rusa," dia menjelaskan.

"Wah! Ada daging rusa dari mana mbak?" tanyanya sudah seperti polisi yang menginterogasi tahanannya.

"Tadi ada yang jual," katanya singkat. tak berapa lama dia berkata lagi, "istrimu ajak makan!" nada suaranya sedikit memerintah.

Aku yang sedang di balik pintu ikut menimpali, "terima kasih. Mbak," sambil mengeluarkan kepalaku di pintu.

Dia menjawab dengan senyum yang mengambang di pojok bibir. Panji melangkah masuk lalu berkata ,"ambilkan aku makan!" perintahnya sambil menuju kamar mandi.

Aku berjalan membuntuti dari belakang mengambil piring, nasi hangat dan lauk lalu ku taruh di meja makan. Langkah kaki membawaku ke pintu belakang terlihat beberapa pohon sawit yang berjejer. Langit melukiskan awan yang seolah-olah sedang berkejar-kejaran, angin berembus perlahan membuat rambutku bergerak terurai.

Dari belakang terdengar suara panggilan yang familier di kupingku. Aku pun menolehkan kepala melihat arah panggilan, dia duduk di ruang makan sambil mulutnya tidak berhenti mengunyah. Dia berkata, "Gak makan?" tanyanya singkat.

Aku cuma menggelengkan kepalaku tanpa mengucapkan sepatah apa pun. Perut yang dari pagi baru cuma terisi sedikit nasi sampai sekarang belum terasa lapar. Aku kembali menatap luar yang penuh renyahnya suara anak yang berlarian.

Hujan mengajarkan aku, setelah hujan akan ada sinar matahari yang berarti akan ada harapan baru. Menghadapi matahari, bayang-bayang ada di belakangmu. Hambatan tidak datang dari cacat dan kesulitan eksternal tetapi dari arah hati. Bunga yang mekar dalam kesulitan adalah yang paling langka dan paling indah.

Jika hidup tidak memanjakanku, aku akan memperlakukan diriku lebih baik. Dalam hidup in telah melalui cobaan dan kesulitan untuk bertemu dengan diri yang terbaik, itu saja.

Orang perlu menghargai kesederhanaan dan kepolosan yang di miliki anak yang sedang berkejar-kejaran di lapangan itu. Walaupun permainannya tidak mewah tapi bisa membuat mereka tertawa lepas tanpa beban.

"Hidup itu tidak sempurna tapi cukup dengan kesederhanaan;

Kekasih tidak sempurna tapi cukup dengan perhatian;

Teman tidak sempurna tapi cukup dengan keikhlasan;

Orang yang dicintai tidak sempurna tapi cukup dengan ketulusan;

Kerabat tidak sempurna tapi cukup dengan keharmonisan;

Kehidupan tidak ada yang sempurna tapi cukup dengan kebahagiaan;

Kebahagiaan tidak sempurna tapi semua cukup."

Itulah hidup biarkan orang yang memahamimu lebih mencintaimu. Biarkan orang mencintaimu lebih memahamimu. Dalam hidup pengertian lebih penting dari pada cinta.

Bekerja keras, hidup bahagia, mencintai keluarga, mencintai anak. Menanggung semua yang bisa di tanggung, bahagia dengan semua yang bisa membahagiakan. Tinggalkan pesan setelah permintaan. Hidup itu sederhana yang membuat sulit itu adalah pikiran kita sendiri.

Entah berapa lama aku termenung di depan pintu ini sampai suara tepukan pundak membangunkanku. Senja sore telah terlukis di langit tinggi itu senyum awan kemerahan memancarkan keindahan.

Nb :

1. ayuk silahkan minom aeknyo : Mbak silakan minum airnya.