Jam telah menunjukkan pukul lima tiga puluh menit, alarm handphone sengaja ku hidup kan untuk membangunkanku di saat hari pertama kerjaku. Dan ini juga pertama kali aku membikin masakan buat suamiku yang sebelumnya belum pernah memasak masakan yang begitu berat, bumbu-bumbu yang beraneka ragam membuatku semakin tak tahu apa yang di kerjakan. Setengah jam bergulat di dapur membuat keringatku bercucuran seperti sedang bekerja dengan tenaga yang berlipat ganda. Nasi dan sayur siam seadanya menurutku sudah sangat susah membuatnya.
Setelah sibuk berperang dengan api sepanjang waktu dan wajan seluruh tubuh keluar buliran-buliran kristal saling berjatuhan di wajahku terasa suhu di sekitar naik. Aku berjalan memasuki rumah jam dinding yang tergantung di dinding masih menunjukkan pukul enam. Aku bergerak perlahan mengambil handuk yang tergantung di sudut kamar.
Perlahan ku melangkah ke luar menuju tempat mandi, tempat mandi masih berupa tanah digali dengan kedalaman tertentu dan dikelilingi oleh papan yang di bentuk sedemikian rupa. Aku mengambil segayung air membasuhkah tubuh yang terasa lengket di badan. Dinginnya air membuat bulu di tubuhku berdiri, usapan demi usapan menyegarkan di seluruh badan. Dalam dua puluh menit kesegaran yang telah di bawa oleh air membuatku pulih kembali.
Ketika aku melangkah keluar menjemur baju dia samar-samar terlihat di depan pintu dapur. Dia berkata, "Kok gak dibangunin akunya?" tanya dengan lembut.
Aku pun menjawab, "Kamu kemarin begitu capek jadi aku membiarkan kamu untuk tidur lebih lama," sambil mengibas-ngibaskan baju yang ada di tangan.
Dia berjalan mendekat sambil menepuk pundakku dan menuju kamar mandi. Setelah selesai menjemur baju aku mempersiapkan makannya.
Jam telah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, dan waktunya untuk memulai hari pertama kerja tak lupa akan bekal yang akan dibawa. Dia melangkah menutup semua pintu dan jendela aku pun bersiap untuk mengikutinya dari belakang.
Langkah kaki telah membawa kita ke dalam perkebunan karet, kiri kanan cuma terlihat semak rerumputan, pohon-pohon kecil yang belum terlalu tinggi. Dia memberikan sebuah pisau alat untuk menyadap karet dan sebuah parang sabit untuk membersihkan rumput belukar.
Dia memanggilku dengan menoleh dan menatapku dengan ekspresi tersenyum terlihat ketulusan dan perhatiannya, dia berkata padaku, "Capek tidak? Mau minum tidak?" tanyanya sambil mengambilkan botol air yang di gendongnya.
Aku pun menoleh dengan senyum di sudut bibir sambil berkata, "Tidak capek." aku berkata lagi, "Mau," tanganku mengambil botol air yang di ulurkan padaku.
Walaupun aku sebenarnya capek, aku tidak bisa mengatakan sebenarnya padanya. Ini kali pertamaku kerja dan pertamaku kerja begitu berat. Aku tidak mau menunjukkan kelemahanku di hadapannya.
Pahit dan manisnya datang dari dunia luar, sedangkan kekuatan datangnya dari hati, dan itu datang dari usaha diri sendiri. Karena mereka yang terbiasa dengan kehidupan praktis dapat bertahan sampai akhir dan mereka yang gambaran diri dari filosofis tidak ingin melampaui batas yang mereka tentukan sendiri, dan tinggal di sana selamanya. Dalam niat mulia, dalam ketulusan hati yang mulia . Bakat dan kondisi menghambat kemajuan usaha karena puncak gunung yang curam akan memarkan kita juga.
Jam di handphone sudah menunjukkan pukul setengah dua belas tidak terasa sudah hampir setengah hari bekerja. Waktu makan siang telah tiba kita berjalan ke arah pertama kali kita datang tadi. Kita tertegun sejenak dengan keadaan yang terjadi di sekitar lokasi kita berada. Semua makanan yang tadi kubawa habis tak tersisa. Suara monyet yang tadi ramai sedang berpesta ria, mereka bukannya makan bekal tadi tapi mereka cuma ingin mengobrak-abriknya saja. Dia menoleh-noleh kiri dan kanan mencari-cari di mana letak tempat nasi yang tersisa itu. Cukup lama mencari mataku menabrak benda berwarna putih di tengah-tengah semak belukar ku berjalan mengambilnya.
Sambil membungkuk tak sengaja mata ini melihat darah yang ada di kaos kakiku, tak ada pedih dan sakit yang terasa. Rasa penasaranku bertambah ku buka kaos kakiku dan terlihat darah yang mulai mengering. Jika luka goresan pasti ada bekasnya dan ini tanpa ada luka. Jika hewan, hewan apa gerangan?
Setelah mengambil bekas nasi dan tutupnya aku menghampiri dia dan berkata, "Ini luka apa kok ada darahnya? Tanyaku sambil memperlihatkan darah di kakiku.
Dia merapikan tas tempat nasi dan berkata, "Itu pacet," jawabnya.
Rasa lapar di perut seperti sedang memainkan alat musik berbagai nada mau tidak mau mengharuskan kita pulang untuk mengisi bahan bakar terlebih dulu.
Dia berjalan mendahului sedangkan aku di belakangnya melihat langkah kakinya. Jalan menanjak membuat tantangan sendiri nafas di badan seperti sedang menghitung satu dua satu dua.
Berjalan selama lima belas menit akhirnya telah sampai rumah juga. Segera aku berjalan ke kamar mandi mencuci wajah, kaki dan tangan. Air yang mengenai kulit begitu dingin dan segar membuat tubuh yang lelah tadi menjadi bergairah kembali. Di depan pintu sudah terlihat di tangannya telah membawa piring aku berjalan mendekatinya sepiring nasi dan sayur telah di hadapannya.
Perut ini semakin berdangdut ria segera ku melangkah ke dapur untuk mengambil makanan. Setelah beberapa lama kita memutuskan untuk istirahat sebentar. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang sudah waktunya melanjutkan pekerjaan kembali.
Perut dan tenaga sudah mulai pulih kembali, langkah kaki sudah ringan seperti sedia kala lagi. Monyet di dahan pepohonan saling berkejaran sambil mengeluarkan suara seperti orang sedang bertengkar.
Kaki terasa dingin-dingin di dalam celana panjangku ku lihat sebuah hewan yang asing di mataku. Aku berteriak dengan refleks, "Mas." Dia pun menoleh dengan refleks dan berkata, "Ada apa?" tanyanya sambil menghampiriku.
Aku memperlihatkan hewan di kakiku itu, dan berkata, "Ini hewan apa?" tanyaku singkat.
Dia mengambil dengan pisau yang ada di tangannya lalu membunuhnya, sambil berkata, "Tadi namanya pacet bentuknya seperti lintah dia juga suka menghisap darah," terangnya.
Setelah memotong tubuh hewan itu dua bagian kita melanjutkan lagi perjalanan ke kebun. Setengah hari membuka ladang belum terlihat banyak hasilnya. 'crak...crek...crek... suara sabit terdengar di telingaku.
Suara yang asing terdengar kembali 'ngok...ngok...ngok....'
Cuma suara yang terdengar tapi belum tahu hewan apa itu. Suara itu terdengar besar dan bergelegar membuat buluk kuduk berdiri. Arteriku berdetak saat mendengar seperti dua palu di pelipisku dan napas di dadaku seperti angin yang keluar dari gua.
Aku tak ingin memperlihatkan kelemahanku terlalu banyak padanya. Jika dia tahu begitu banyak kelemahanku, aku di hadapannya cuma seperti semut kecil. Ini bukan soal dia meremehkanku tapi lebih ke aku merasa rendah diri.
Suara-suara itu semakin menjauh, nafasku pun mulai tenang. Sekarang aku baru tahu betapa kerasnya hidup yang di jalani oleh orang tuaku di tengah hutan perkebunan karet. Baru hari ini aku merasakan betapa capeknya orang tuaku setiap hari kerja memeras keringat demi anak-anaknya. Dan sekarang aku menyesali kenapa dulu tidak menghargai semua yang telah ku miliki dulu.
Rasa penyesalan memang datangnya belakangan jika tahu beratnya rumah tangga yang harus di pikul aku akan mendengarkan nasehat orang tua. Tapi nasi sudah jadi bubur semua sudah terlanjur, penyesalan pun tiada gunanya.
Sekarang bagaimana aku harus menyikapi masa depan. Karena masa depan masih abu-abu biarlah seperti air sungai yang mengalir ku serahkan semua pada-Nya.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dalam ladang suasana sudah remang-remang. Walaupun disela-sela pohon masih terlihat cahaya matahari suasana sekitar sudah mulai senyap. Suara panggilan darinya terdengar oleh telingaku. ''Wu...' berulang kali dia memanggil suara itu terdengar masih jauh, aku pun menjawabnya 'wu...' dengan pekikan juga karena kalau kita menjawabnya pertanda bahwa kita masih di sekitarnya.
Terdengar kresek-kresek suara langkah kaki menginjak dedaunan kering, aku pun menoleh ke arah suara terliat dia sudah berdiri di situ, an dia berkata, "Kok gak berjalan ke arah jalan?" tanyanya singkat.
Aku menjawab sambil berjalan ke arahnya, "Aku takut salah jalan," aku menerangkan.
"Oh," jawabnya singkat. Dan dia menambahkan, "Ayo pulang!"
Seperti kerbau di cucuk hidungnya aku pun mengikutinya dari belakang. Hari semakin sore setibanya kita di rumah, awan sudah berubah kemerahan. Cahaya merahnya seperti merah darah yang telah menulari awan sekitarnya.
Aku menyengir sebuah bau getah karet yang menyengat yang berasal dari tubuh ini membuat hidungku makin tak kuat. Segera ku ambil handuk dan berjalan ke arah tempat pemandian. Rasa penat dan capek di tubuh ini ketika air menyentuh tubuh membuatnya terasa segar kembali.
Jam menunjukkan pukul enam sore, seorang wanita pemilik rumah mengetuk pintu rumah dan berkata, "Datanglah ke rumah untuk nonton TV!" katanya.
Aku bangun dari duduk ku dan berkata, "Iya, terima kasih," jawabku singkat.
Dia pun berjalan berlalu meninggalkan rumah, karena seharian bekerja tangan masih terasa panas aku memutuskan untuk berbaring menghilangkan kelelahan. Pikiran ku masih melayang-layang di angkasa mengenang betapa sulitnya kedua orang tua dan sekarang aku baru menyadari kalau aku sudah mengecewakan mereka.
Aku baru tahu sekarang prinsip utama dalam hidup ' hiduplah dengan baik-baik, karena hidup pasti ada harapan'.
Di dunia ini ada banyak orang dan hal-hal yang mengecewakanku dan aku mengecewakan orang. Dan tidak seharusnya aku lakukan adalah mengecewakan diri sendiri. Yang harus aku ingat adalah masyarakat itu kejam, aku harus hidup dengan kehangatan.
Mungkin kita berjuang seumur hidup dan kita masih hanya sebagai orang kecil. Tapi itu tidak menghalangi ku untuk memilih jalan hidup seperti apa. Karena dunia jauh lebih menarik dari yang ku inginkan. Jangan pernah kalah dengan kehidupan dan jangan pernah kalah dengan ' apa orang lain katakan'.
Aku harus punya target ke depannya karena keteguhan dalam target adalah yang paling penting dan salah satu senjata kesuksesan. Dan kembali lagi ke asal siapa yang tahu ke depannya bagaimana?
Ketika berjalan dan berjalan, kelelahan itu akan hilang sendirinya. Ketika melihat dan melihat mulai merasa lelah sudah. Bintang-bintang mulai meredup ketika aku mendengar dan mendengarkan, setelah bangun aku mulai mengeluh. Entah berapa aku melayang dalam pikiran dan akhirnya membuatku tertidur dalam kelelahan. Ketika aku melihat ke belakang aku menemukan bahwa kamu sudah tidak ada dan pergi menjauh dan tiba-tiba aku merasa kacau dalam pikiranku.
Saat lelah bekerja katakan pada diri sendiri untuk memilah dan menetap.... Menghadaplah ke matahari yang tidak berkabut dan lalu bilang 'aku pasti bisa'.
Orang yang lelah, hati yang lelah, tubuh yang lelah tidak akan pernah berteriak kelelahan. Menanggung kesulitan, menahan kesulitan, hidup dalam kesulitan tidak akan pernah berteriak sulit. Tekanan tinggi, tekanan rendah, hidup dalam tekanan tidak akan pernah berteriak tertekan. Karena berteriak pun tak ada gunanya, yang paling penting adalah dalam kebahagiaan setiap hari. Hidup itu seperti teh, tidak pahit seumur hidup tapi pahitnya cuma sementara.