Keesokan harinya kita bersiap untuk masuk ke dalam area perkebunan. Hari ini pengalaman apalagi yang aku menungguku. Angin pagi yang berembus di cela dinding telah membangunkanku, waktu juga menunjukkan pukul enam pagi.
Suara kedua anak itu sudah memenuhi seisi ruangan. Dengan mata yang masih sedikit berat mencoba untuk melangkah ke kamar mandi untuk membasuh muka. Setelah membasuh muka ku lihat Mbak Yani berada di dapur sedang menyiapkan makanan, aku mendekati dan berkata, "Apa yang bisa saya bantu?" Tanyaku.
Dia menoleh dan menjawab, "Tidak ada," ujarnya. Dia berkata lagi, "Jam berapa kamu masuk?" Tanyanya.
"Aku Tidak tahu," ujarku.
"Ya, sudah. Kamu mandi sana!" perintahnya.
Aku berjalan keluar mengambil baju yang akan ku pakai nanti. Terlihat kakak adik itu sedang mengobrol di teras rumah.
Segera aku mengambil pakaian dan melangkah kembali ke dapur, Mbak Yani masih terlihat di dapur. Dia menoleh dan berkata, "Cepetan mandi! Keponakanmu masih belum pada mandi soalnya," ungkapnya.
"Eh...," jawabku singkat.
Langkah kaki membawaku ke kamar mandi lagi, air membasuh tubuhku menyerap ke sendi dan tulangku. Beberapa menit di kamar mandi, akhirnya aku pun mengakhiri ritual mandiku. Rasa segar sehabis mandi membuat tubuh ringan serasa terbang, mata yang tadinya masih sulit di buka menjadi segar kembali.
Terlihat dua anak yang sedang mengantre untuk mandi. Senyumnya yang menghiasi di muka mereka memancarkan sebuah keluguan. Satu per satu dari mereka masuk dalam kamar mandi.
Jam menunjukkan pukul enam tiga puluh menit, sinar matahari pagi seperti menantu yang baru saja keluar menunjukkan setengah wajahnya dengan malu-malu. Aku melangkah menghampiri kedua pria itu dan sambil berkata, "Kapan masuknya?" Tanyaku.
"Jam delapan nanti," ujarnya. Dan dia berkata, "Sekarang jam berapa?" tanyanya.
Aku menjawab, "Jam enam empat puluh menit," kataku singkat.
Aku berusaha membuka percakapan kepada kak iparku, "Hari ini tidak kerja, Kang?" Tanyaku lagi.
"Tidak," jawabnya singkat.
Panji menoleh padaku dan berkata, "sudah mandi, ambilkan aku sarapan!" Perintahnya.
"Iya," setelah menjawab aku melangkah ke dapur.
Sepiring nasi dan lauk sudah tersedia di meja, ku melangkah keluar untuk memanggilnya tapi kata belum terucap di bibir tiba-tiba sudah ada di belakangku, dan spontan aku berkata, "Mengagetkan ku saja," kataku sambil memukul punggungnya.
Jam telah menunjukkan pukul setengah delapan dia bergegas mencari ojek yang akan mengantar kami masuk ke dusun. Tidak berapa lama dia telah membawa dua laki-laki yang akan membawa kita.
Setelah berpamitan kita segera melanjutkan perjalanan. Hari ini cuacanya cerah, matahari pun mulai merangkak naik dan silaunya membuat mata terasa pedih. Tahukah dua hal apa yang tidak bisa kita lihat secara langsung, satu adalah matahari dan yang lainnya adalah hati manusia.
Dua puluh menit perjalanan kita tempuh terlihat sebuah pasar tradisional yang menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Terlihat dia melambaikan tangannya ke arah ku, perlahan motor yang ku tumpangi mendekatinya.
Dia berjalan perlahan mendekatiku sambil berkata, "Kamu mau ikut beli bahan untuk di bawa ke dalam?" jawabnya.
"Mau," ujarku singkat. Dan aku pun berkata lagi, "Ini barangnya terus bagaimana?"
"Tenang ada mereka," jawabnya.
"Oh, ya sudah. Aku di sini saja," ujarku. Dan aku berkata , "Kamu saja yang ke dalam!" tambahku lagu.
"Ya sudah," dia mengatakan sambil menghembuskan asap di mulutnya.
Dia melangkah meninggalkan tempat di mana aku berada, perlahan punggung lebarnya telah menghilang di dalam kerumunan.
Salah stu abang ojek itu membuka percakapannya, "Ngapo idak melok?" tanyanya.
Aku yang belum mengerti bahasa daerah sini cuma bisa diam, dan aku pun berkata, "Aku tidak mengerti kamu sedang ngomong apa?" tanyaku dengan suara pelan.
Salah satu abang ojek itu mencoba menjelaskan, "Maksud dia sedang bertanya padamu kenapa kamu tidak ikut," kata-katanya dengan penuh percaya diri.
Aku pun bertanya padanya, "Anda orang mana?" tanyaku singkat.
"Aku orang Jawa," Jawabnya singkat.
Dengan penjelasannya aku pun menjawab pertanyaan yang dilontarkan padaku tadi, "Terima kasih telah membantuku menjelaskan apa yang dia maksud, aku minta tolong lagi padamu tolong bilang ke dia aku tidak ikut karena nanti bisa kelamaan belanjanya." aku pun menjelaskan panjang kali lebar padanya.
Abang ojek itu menjelaskan pada temannya, "dio idak melok kareno takut kagek biso lamo belanjonyo," ujarnya.
Panji masuk ke dalam pasar sudah setengah jam tapi belum ada tanda-tanda menampakkan batang hidungnya. Suasana pasar masih ramai hilir mudik penjual dan pembeli dari semua kalangan. Terik matahari semakin membakar kulit, empat puluh menit telah berlalu dia terlihat terhuyung-huyung langkahnya.
Aku berjalan menghampirinya dan berkata, "barangnya kok banyak banget, sini aku bantu bawa barangnya!" sambil mengambil beberapa bungkusan yang ada di tangannya.
Dua abang ojek pun ikut membagi belanjaan dua bagian, setelah selesai menata semua belanjanya kami pun melanjutkan perjalanannya.
Terik matahari tidak menghalangi indahnya jalur yang aku tempuh, kiri dan kanan terbentang selang seling antara pohon kelapa sawit dan pohon karet milik penduduk sekitar. Suara monyet saling bersahutan terdengar di telinga seperti sedang mengobrol. Suara monyet itu mempunyai ciri khas tersendiri seperti 'Lip-smacking' manusia.
Pohon kelapa sawit yang menjulang tinggi menambah segarnya pemandangan. Yang berjejer rapi seperti anak yang sedang berbaris untuk masuk kelas. Jalan sedikit berbatu menambah sensasi tersendiri dalam perjalanan ini. Perjalanan satu jam, tidak begitu terasa telah sampai di rumah pondok kakak ipar kedua. Rumah kecil dengan bangku panjang dan terlihat seorang laki-laki berpunggung lebar telanjang dada itu telah menunggu kita di depan rumahnya.
Setelah selesai menurunkan semua barang dan Panji memberikan ongkos pada dua abang ojek mereka berpamitan untuk pulang. Masalah lain pun mulai muncul di otakku 'di manakah kita akan tidur malam ini'. Otakku berkecamuk rasanya lidah ingin mengucapkan sesuatu tapi terasa berat untuk mengatakan dan akhirnya ku ulurkan niat itu.
Suara kakak ipar memecahkan keheningan, "Nanti malam kamu tidur di sini?" tanyanya singkat.
"Tidak tidur di sini, mau tidur di mana?" tanyanya balik.
Kakaknya tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan adiknya. Sebuah suara dari belakang sedikit mengagetkanku, "Ji, kapan kamu kesini?" tanya orang itu.
"Baru tadi," ujarnya.
Terlihat dari obrolannya mereka berdua sudah lama mengenal. Dari belakang samar-samar terdengar suara perempuan, "Ji, ini istrimu?" tanyanya.
"Iya," jawab Panji.
Seorang wanita yang umurnya yang berkisaran belum genap empat puluh. Harus kuakui dia tadi mengejutkanku, kita berbicara tatap muka selama sekitar seperempat jam. Dan ku mengamatinya memang tak bisa dipungkiri lekuk tubuh dan wajahnya dambaan setiap orang.
Dia bertanya padaku, "Namamu siapa?"
"Aku Shanti," jawabku sambil tersenyum mengembang di sudut bibir.
Setelah pertanyaan itu mereka kembali ke topik pembicaraan. Istri kakak berdua ikut menimpali dari belakang, "Coba tanya orang di bawah sana? Kayaknya ada rumah yang kosong!" katanya sambil menunjuk arah bawah.
Panji tertegun sejenak lalu tersenyum dan berkata, "Oh ya, coba nanti aku tanya."
Kak Men menimpali omongannya, "Ayo sekarang tak antar, tadi kayaknya suara motornya sudah terdengar," ia berkata sambil menggunakan kaosnya.
Mereka berjalan menjauh ke dalam kebun karet, lama-kelamaan bayangan tubuh mereka sudah tak terlihat. Kini tinggal tiga wanita dalam satu tempat dan keadaan tanpa ada satu kata yang terlontar. Keadaan hening seketika cuma terdengar suara-suara monyet yang berkejaran.
Tidak terasa satu jam mereka pergi, mereka berdua terlihat samar-samar di antara pepohonan. Panji mendekat dengan baju di pundaknya dan aku bertanya padanya, "Bagaimana boleh gak?"
"Boleh," ujarnya sambil mengibas-ngibaskan baju ke badannya.
Kita berempat mulai mengangsur barang-barang yang di bawa ke rumah itu sampai peralatan dapur pun tidak lupa di bawa. Mulai hari ini kita berdua sepasang suami istri yang baru sekarang di haruskan berdiri di kaki kita sendiri. Tanpa ada yang bisa membantu kecuali diri kita sendiri karena tidak ada keajaiban dalam kesuksesan. Hanya ada jejak kesuksesan yang tidak akan bergantung pada kondisi tapi pada keyakinan kita. Aku percaya keadaan rumah tangga ku akan mulai berangsur membaik.
Dan aku percaya orang terkaya sekalipun di dunia ini adalah orang yang banyak jatuh dalam keadaan tertentu. Dan orang yang paling berani di dunia adalah orang yang setelah jatuh berani bangkit kembali. Orang yang sukses aku percaya dia masih berdiri dan bertahan saat jatuh.
Semua alasan orang yang ingin sukses akan terus belajar mengubah diri sendiri, tekun akan suatu yang di kerjakan, pantang menyerah dan berjuang untuk mencapainya.
Setelah selesai beberes aku mendengar suara anak kecil tetangga sedang menangis. Aku berusaha mengingat-ingat apa aku mempunyai sesuatu yang patut di kasih kan pada anak itu. Untung di tas ranselku ada beberapa kue yang tersisa ku mencoba untuk mengenal orang yang baik yang telah berbaik hati memberikan tumpangan pada kita.
Waktu telah menunjukkan jam empat sore, Panji menyuruhku untuk cepat mandi karena empunya rumah juga harus mandi. Matahari perlahan melewati awan menampakkan wajah merahnya seperti gadis kecil pemalu yang sedang menatap bumi. Bayangan indah dari matahari terbenam yang tercetak di air sungai mulai mengerut oleh angin malam dan membentuk sejumlah besar sisik halus berwarna merah mawar yang berkilau. Ketika matahari terbenam cahayanya yang luar biasa kuat memancarkan di pucuk-pucuk pohon karet dan mewarnai awan putih menjadi putih berdarah.
Rumah yang sekarang ku tempati adalah rumah transmigran dari Magelang. Mereka berada di sini sudah dari puluhan tahun yang lalu. Di sini bukan pedalaman tapi di sini kampung transmigrasi yang bernama Sp A di mana banyak warga campuran berbagai suku tinggal di tempat ini. Dan malam pertama di tempat yang baru untuk mengawali perjuangan yang baru pula.
Malam semakin larut keadaan sekitar pun semakin hening suara jangkrik dan kodok pun semakin kencang. Sehabis makan malam kita duduk di ruang tamu sambil membicarakan masa depan. Entah masa depan seperti apa kita pun tidak tahu karena manusia bisa merencanakan tapi ada yang lebih berkuasa untuk menentukan bagaimana masa depan kita sebenarnya.
Ketika kita asyik mengobrol terdengar sebuah ketukan pintu dari luar. 'tok..tok..tok...' Dia pun berdiri untuk membukakan pintu terlihat si empunya rumah yang mengetuk pintu tadi, dan dia pun berkata, "Ada bola kamu tidak nonton?" tanyanya.
Panji menjawabnya, "Antara mana dan mana?"
Orang itu pun menjawab, "Arsenal vs Ac Milan."
Setelah mereka mengobrol sebentar orang itu pun melangkah pergi. Panji berkata, "Kamu tidur saja di rumah! Kuncinya tak bawa," ujarnya.
"Iya," jawabku singkat.
Pada malam musim hujan yang indah bintang-bintang berkilau bersinar terang di langit kelabu yang tak berujung. Sore berangsur menjadi malam suara kodok , jangkrik dan katak yang belum tidur mereka bernyanyi lembut di rerumputan, di tepi kolam dan di cela pepohonan dengan lagu liris. Suara monyet pun menghilang di kegelapan malam.
Hari yang sibuk akan segera berakhir dan akan segera berganti dengan hari yang baru. Aku tidak berani mengejar sesuatu yang dengan berlebih. Aku Cuma hanya berharap semua awal yang baik memiliki akhir yang baik seperti setelah hujan pasti akan ada pelangi.
Nb:
1. Ngapo idak melok : mengapa tidak ikut
2. dio idak melok kareno takut kagek biso lamo belanjonyo : dia tidak ikut karena takut nanti bisa lama belanjanya.
3. Lip-smacking : gerakan bibir.