Setelah kejadian itu aku pun tidak berani menyebut hal itu lagi. Suara kokok ayam membangunkanku jam menunjukkan pukul enam pagi, sinar matahari dan embun pagi menembus sela-sela dinding bambu. Setelah mengolet sebentar aku pelan-pelan bangun lalu menuju kamar mandi cuci muka. Aku melihat istri kakak ipar ketiga sedang ada di dapur mempersiapkan sarapan pagi. Aku berjalan menghampiri, menyapa dan membantunya.
Ku lihat di atas meja masih ada sayur yang belum di cuci dengan basa-basi ku bertanya padanya, "Mbak, ini sayur mau di masak ya."
"Iya," jawabnya singkat
Aku mengambil sayur dan mencucinya terdiam tanpa suara. Setiap melihat wajah istri kakak ipar ketiga aku merasa sedikit kurang enak entah cuma perasaanku entah bagaimana. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas pagi kita memutuskan untuk pergi ke rumah Ibu untuk berpamitan pada nenek. Setelah sampai rumah ku lihat ibu sedang bermain bersama dengan adik laki-lakiku. Kemudian aku menaruh barang-barang yang akan kita bawa.
Ini kali pertamanya aku meninggalkan rumah yang jaraknya yang jauh dan harus menyeberangi lautan. Dan ini kali pertamanya aku bekerja untuk menghasilkan uang sendiri dengan penuh kebanggaan.
Setelah menaruh barang-barang aku dan dia pergi ke rumah nenek untuk berpamitan. Setelah berpamitan kita pun pulang dan mempersiapkan bekal selama di perjalanan nanti.
Waktu berangkat sudah tiba Panji mengantarku sekalian bahan-bahan yang akan di bawa. Aku pun menunggu di PO bus terlihat kedua kalinya dia memboncengkan Ibu. Setelah beberapa lama aku mengobrol dan berpamitan dengannya aku menaiki mobil yang akan membawaku ke tempat yang asing bagiku. Suara orang memanggil nama penumpang satu per satu pun terdengar.
Panggilan suara itu terdengar samar-samar terliat dia mengacungkan tangannya. Setelah selesai memasukkan semua perbekalan dia lalu duduk di sampingku dan menunggu bus berangkat. Pelan-pelan bus itu meninggalkan tempatnya membela hitamnya jalan. Kota demi kota telah terlalui, beribu kilometer hitamnya jalan sudah terlampaui sampai juga di dermaga Merak lautan telah terbentang di depan mata gelombang ombak saling membenturkan diri dengan daratan seakan-akan mereka saling menyapa satu sama lain.
Hidup itu seperti lautan, kita duduk dan menyaksikan air pasang naik dan surut, dan secara tidak sengaja waktu perlahan-lahan menenggelamkanmu. Karena itu, hargai setiap gelombang kecil.
Gelombang ombak menghantam dek kapal walaupun tidak besar tapi terasa getarannya. Angin laut berhembus meniup rambut yang tergerai suara obrolan para penumpang menambah berisiknya kapal. Setelah 1 jam setengah dalam perjalanan menyeberangi lautan akhirnya sampai juga di pelabuhan Bakauheni.
Pertama kalinya menyeberangi lautan dan di mana kota tersebut asing bagiku Lampung itulah namanya penghasil pisang dan Kopi Robusta. Tidak berapa lama pemberhentian pertama setelah menyeberang laut. Waktunya membersihkan diri dan mengisi perut yang dari tadi keroncongan. Dia pun segera bergegas ke kamar mandi membersihkan diri.
Setalah membersihkan diri aku berjalan menuju keluar dari area itu. Aku melihat dia berdiri menunggu di pintu masuk, terlihat rokok terselip antara jari telunjuk dan jari tengah perlahan dia memasukkan rokoknya ke mulutnya. Aku pun mendekatinya lalu berkata, "Makan di mana?" tanyaku padanya.
Sambil berjalan dia menunjuk arah warung yang di tengah-tengah itu. Perlahan langkah kaki menuju warung itu karyawan yang ada di situ pun menyapa kita, mau makan apa?" tanyanya dengan ramah.
Dia pun menjawab, "nasi, ikan dan sayur," katanya dengan menunjuk menu yang di pesan.
Pelawan itu bertanya lagi, "mau makan apa?" tanyanya dengan senyum mengembang di sudut bibir.
Aku menjawab dengan suara pelan, "nasi, ikan, dan sayur", kataku dengan menunjuk menu yang tersedia.
Pelayan itu memberikan pesananku masih dengan senyum mengambang tipis di sudut bibir.
Aku pun menerimanya sambil berkata, "terima kasih", membalas dengan senyuman di sudut bibir.
Aku pun berjalan ke arahnya dan tidak lupa mengambil segelas teh hangat yang sudah tersedia di meja.
Dia lalu mengatakan ,"cepat makan waktunya tidak lama! Sambil memasukkan makanan di mulutnya.
"Oh, iya ," jawabku singkat.
Beberapa saat makanan yang di depan mata sudah habis tidak tersisa, dia melangkah pergi untuk membayar menu yang di makan tadi. Dia berkata lagi, "kamu mau beli janjan atau air minum tidak?" tanyanya lagi.
Aku pun cuma menggelengkan kepala dan melangkah naik ke dalam bus.
Perjalanan akhirnya pun di lanjutkan lagi kira-kira masih sehari semalam baru sampah. Waktu yang cukup panjang masih bisa pantat menjadi panas dan di depan masih ada satu kali pemberhentian lagi.
Baru pertama merantau sudah di suguhi dengan perjalanan yang cukup melelahkan. Sebanding dengan pemandangan yang cukup membuat pengalaman yang paling berharga. Rumah adat, kota demi kota, laut, bahasa, dan hutan memberikan sebuah pengalaman yang lain dari yang lain.
Jam menujukan pukul tujuh pagi dan ini pemberhentian terakhir. Kaki sudah terasa pegal-pegal pantat juga sudah dari kemarin terasa panas. Dalam bus seperti biasanya antre untuk turun dari bus satu per satu orang pun menurun bus sampai pada akhirnya giliran kita berdua. Aku berjalan pelan di belakangnya sudah terlihat pintu toilet yang aku cari tadi. Aku dan dia lalu berpisah di pintu toilet dan menelusuri lorong toilet masing-masing untuk mencari kamar mandi yang kosong sambil mengetuk pintu untuk memastikan di dalam tidak ada orang tidak berapa lama akhirnya ada kamar mandi yang tidak terpakai.
Air yang menyentuh permukaan kulit wajah membuatku segar kembali dan tidak lupa menyisir rambut yang tadi sedikit acak-acakan tidak terasa dua puluh meni berada di dalam kamar mandi. Aku pun dengan pelan berjalan keluar dan mendekati dia yang berada di pintu luar kamar mandi.
Kita berdua akhirnya melangkah ke warung makan terakhir di Lubuklinggau jam menunjukkan pukul tujuh dua puluh lima menit. Kita bergegas memesan makanan yang telah tersedia sepiring nasi dan lauknya tidak lupa dengan teh hangatnya. Dia mengeluarkan dompetnya lalu membayar makanan yang tadi sudah di pesan aku berjalan membawa makanan yang ku pesan. Setelah membayar makanan dia berjalan mendekatiku dan duduk di depanku. Dia berkata , "cepetan makan, sudah mau berangkat lagi!" katanya sambil mengunyah makanan dalam mulutnya.
"Iya," kataku singkat.
Tidak beberapa lama nasi yang ada di hadapanku sudah habis tidak tersisa. Kita meninggalkan warung makan itu lalu naik ke atas bus terlihat beberapa orang sudah ada di dalam bus.
"Perjalanannya tinggal berapa hari lagi?" tanyaku.
"Tinggal beberapa jam lagi," katanya.
"Wah sudah mau sampai ternyata," jawabku.
Perjalanan tiga hari tiga malam yang melelahkan sepadan dengan apa yang di dapat, jalan lintas timur Sumatera yang terkenal dengan begalnya jika di lalui saat malam akan membuat adrenalin bertambah mencekam. Rumah gadang kiri kanan semakin membuat kekagumanku bertambah.
Setidaknya harus ada dua dorongan dalam hidup kita, yang pertama; Cinta yang tidak peduli akan diri sendiri dan yang kedua; Perjalanan yang tidak ada pilihan untuk tidak pergi. Jika kamu tidak pergi melihat-lihat tempat yang lain kamu akan mengira duniamu cuma sesempit seperti yang ada dalam pikiranmu.
Pergilah ke tempat berbeda, lihatlah pemandangan berbeda di tempat yang berbeda dan mengetahui tentang hal yang berbeda. Itulah sedikit makna dalam perjalananku kali ini bukan saja perjalanan yang tanpa makna.
Perjalanan akhirnya sampai pemberhentian terakhir desa Pemenang. Rasa capek masih menggelantung di badan aku memaksakan untuk membawa sedikit barang bawaan dan selebihnya dia yang membawa. Jalan lintas ke rumah kakak ipar kedua tidak begitu jauh cuma 5 menit jalan kaki. Setibanya di rumahnya istri kakak ipar menyambut kita, "Masuk-masuk!" katanya sedikit memerintah.
"Eh, terima kasih," sambil meletakan barang yang ku bawa dan menaruhnya di sebelah pintu.
Kakak ipar lalu mempersilahkanku untuk mandi, "mandi dulu biar segar," katanya sambil mengantarku ke kamar mandi.
"Iya," jawabku singkat sambil mengambil baju yang ada di dalam tas.
Rumahnya tidak begitu besar terbuat dari papan dan lantainya cuma di plester tapi cukup nyaman aku berjalan ke kamar mandi menaruh handuk, pakaian dan sabun. Sapuan air menyerap di kulit tangan tak berapa lama dikamar mandi akhirnya keluar dengan tubuh yang segar. Aku berjalan ke arah pintu dapur terlihat di belakang rumah pohon sawit berjejer rapi menambah kesejukan tempat ini.
Istri kakak ipar berjalan menghampiri dan lalu berkata, "sudah selesai mandi?" tanyanya.
"Sudah," jawabku singkat.
"Makanan sudah matang, ambilkan suamimu makan!" katanya.
"Iya," kataku sambil menjemur baju.
Ku melangkah masuk menghampiri Panji yang sedang berbaring di depan tv sambil bertanya, "Mbak tadi mengasih tahu aku makanannya sudah matang, apakah kamu mau makan?" tanyaku sambil membungkuk menggerak-gerakan tubuhnya.
Dengan gerakan malas dia berkata, "nanti saja," jawabnya singkat dan meneruskan tidurnya.
Perjalanan tiga hari membuatnya sedikit capek dan malas bergerak semua itu ku bisa memakluminya. Jam menunjukkan pukul dua siang aku pun berusaha membangunkannya lagi, "Mas, bangun mandi dulu biar segar!" kataku.
"Eh," dia berkata sambil membuka matanya.
Dia bangkit dari tidurnya lalu berjalan ke kamar mandi membersihkan badanya tidak berapa lama dia keluar membawa pakaian kotornya lalu memberikannya padaku. Aku pun berkata padanya, "makanannya sudah ada di meja makan aku cuci baju dulu," sambil melangkah menuju kamar mandi mencuci baju.
Beberapa menit sunyi tanpa ada suara dia pun berkata, "nyuci bajunya cepetan!" Perintahnya.
"Mau ke mana?" Tanyaku singkat.
"Mau ke rumah pemilik kebun," jawabnya.
Cucian baju yang ditangan ku akhirnya selesai berbarengan dengan selesainya dia makan. Aku pun melangkah keluar menjemur baju lalu mencuci bekas piringnya cuma itulah yang aku bisa bantu selama tinggal di rumah kakak ipar.
Dia berkata , "cepetan ganti baju!" Perintahnya lagi.
Aku pun buru-buru melangkah mengambil baju dan berganti baju secepatnya tidak butuh waktu lama akhirnya keluar dari kamar mandi.
Ku melihat dia sedang mengobrol dengan kakaknya, samar-samar kakaknya berkata, "mau ke mana?" tanyanya.
"Mau ke Sp A," jawabnya singkat.
"Jam segini mau ke sana, apakah tidak ke sore'an?" tanyanya.
"Kayaknya memang sedikit kesorean," jawab Panji.
Aku pun mendekati mereka dan berkata pada Panji, "jadi berangkat tidak?" Tanyaku singkat.
"Tidak jadi, jawabnya.
Aku melangkah masuk ke dalam rumah untuk berganti baju. Terdengar suara teriakan anak-anak yang pulang dari mengaji.
"Mana tante?" Suara anak perempuan itu.
Sang ayah pun berkata padanya, "ada di dalam rumah."
Terdengar samar-samar suara anak laki-laki itu, "Om, mana hpnya?"
Kakak ipar ku memiliki tiga anak, satu anak perempuan, dua anak laki-laki tapi Allah berkata lain anak pertama laki-lakinya kembali pada-Nya. Suara anak perempuan itu masih terus memanggil berulang kali, "Tante.... Tante...."
Panggilan itu membuatku sedikit kaget aku pun menjawabnya dengan suara pelan, "ada apa?" Tanyaku.
"Pinjam hpnya," katanya sambil menyunggingkan bibirnya dan membungkukkan badanya yang mungil itu.
Ku mengeluarkan hand phone yang ada di dalam kantong dan memberikan padanya.
Dunia baruku telah di mulai sekarang, setiap hari harapan baru. Pasang surut kehidupan tidak dapat di prediksi dan satu hal yang perlu di ingat. Mungkin ada banyak kekecewaan dalam hidup tetapi jangan sampai putus asa. Bekerja keras di mulai sekarang kesuksesan menunggu di depan.
Manusia hidup hanya sekali tapi hidup bisa berbeda di setiap orang. Dalam menghadapi dunia yang berubah dengan cepat kita harus melepaskan masa lalu dan melanjutkan masa kini. Memperlakukan setiap hari sebagai awal yang baru mengingat apa cita-cita dalam hati kita. Menghadapi hidup selalu dengan senyuman dan terus memperkaya diri sendiri sehingga kita akan memiliki kehidupan yang indah dan bermakna.