Chereads / INI KISAHKU (Santi , Panji) / Chapter 9 - Hari Pernikahan

Chapter 9 - Hari Pernikahan

Hari pernikahan semakin hari semakin dekat, hati ini semakin tidak menentu antara senang dan gugup menjadi satu. Gerbang pernikahan telah menunggu, biduk rumah tangga telah menanti.

Cinta, karier , pribadi, atau pernikahan, adalah sebuah kebenaran; "Jangan lupa niat awalmu, suatu saat kamu akan berhasil mewujudkannya." Niat asli tidak akan mengacu pada bagaimana masa lalumu. Aku pikir itu adalah jenis penglihatan indah yang paling berharga di hati kita. Pertahankan kepolosan, kebaikan, dan cintamu sebanyak mungkin, bahkan jika keadaan berubah, sifat dan orang berubah. Berbagilah dengan orang-orang yang merasakan hal yang sama.

Dalam hidup atau cinta, selalu ada stasiun, bandara, dan kapal untuk tempat reuni dan perpisahan dipentaskan. Hanya saja kita begitu bahagia hingga kita tidak tahu bahwa setiap pertemuan juga merupakan awal dari perpisahan. Kita selalu membawa koper kecil untuk menemani reuni, dan kemudian kita menyeret koper berat ke tempat berikutnya yang tidak diketahui dalam kesendirian itulah balada.

Malam ini para tetangga yang di minta membantu sudah mulai berdatangan dan sudah mulai sibuk. Ada yang mulai memotong daging ,mencuci sayuran dan ada yang sudah mulai bikin makan kecil. Suara obrolan bersahutan terdengar dari semua sudut rumah. Sanak saudara sudah mulai berdatangan dari yang cuma sekedar Jagongan dan ada yang memang menyempatkan datang karena sudah lama tidak kumpul.

Semakin larut obrolan dan tawa mereka semakin terdengar semakin seru. Tidak terasa jam menunjukkan pukul dua malam dan terlihat masih beberapa orang yang masih sibuk. Mata ini sudah tak tertahan untuk di pejamkan, malam ini waktu tak terasa berlalu. Aku merasa tadi baru saja tidur sekarang suara kokok ayam telah berbunyi yang menandakan waktu fajar telah menyingsing.

Suara obrolan itu telah terdengar di telingaku, mereka sudah dari sebelum Adzan subuh telah datang. Semua orang telah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Setelah memakai lulur kuning kunir aku melangkah keluar ke kamar mandi setelah selesai mandi aku berdandan sedikit biar terlihat segar.

Setelah semua selesai aku berjalan mencoba membantu orang-orang yang ada di depan. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh suara sound System terdengar menggema. Para rewang telah sibuk weweh ke masing-masing rumah tetangga. Si empunya dekorasi pun sudah mulai berdatangan membawa alat-alatnya.

Aku pun hari ini telah menyelesaikan puasa mutihku dan akhirnya aku bisa makan yang ada rasanya. Ada sebuah suara dari belakang memanggilku, "ini ada makanan buatmu," nenekku berkata.

"Iya nek," aku menjawab sambil menghampiri.

Hari begitu cepat berlalu tidak terasa sudah hari H. Persiapan sudah di ambang akhir, sebelum fajar menyongsong aku sudah mulai sibuk mempersiapkan diri. Pukul enam pagi penata rias itu pun telah datang, rambut disanggul, muka di make-up, baju adat pun sudah melekat di badan dan sepatu hak tinggi pun sudah kupakai. Jam sembilan pagi Ijab Kabul di mulai aku memakai kebaya putih dan sanggul kas adat Jawa dan dia memakai jas hitam yang cukup kasual.

Penghulu untuk Hijab Kabul itu akhirnya datang pada tepat waktu. Sound System yang sedang bergema di matikan untuk sementara waktu, begitu hikmat dan begitu sakral.

Orang tuaku mewakilkan pada penghulu dan ia mengatakan, "aku wakilkan kepadamu untuk menikahkan (Santi), anak perempuanku dengan Panji sebagai calon suami, dengan maskawin satu juta kontan."

Kemudian penghulu yang ada di hadapannya mengatakan, "saya terima perwakilanmu untuk menikahkan anak perempuanmu dengan Panji sebagai calon suami, dengan maskawin yang telah di tentukan."

Penghulu itu mengatakan, "Saya nikahkan dan saya kawinkan kamu dengan Santi, anak perempuan Paijan sebagai orang yang mewakilkan kepadaku, dengan maskawin satu juta di bayar kontan."

Panji pun menjawab, "saya terima nikah dan kawinnya (Santi) binti Paijan dengan maskawin dibayar kontan."

Penghulu mengatakan lagi, "sah."

Semua serempak mengatakan "Sah."

"Alhamdullilah" penghulu itu berbicara sambil senyum terlukis di wajahnya.

Ibu dan Bapak mempersilahkan beliau untuk mencicipi makanan yang tersedia. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang dan waktunya untuk makan siang. Tamu hilir mudik datang pergi untuk bersalaman dan sampai tidak sempat untuk mengisi perut.

Setelah berganti baju yang dua kali dari arah belakang nenek memanggilku, "Santi."

"Ada apa Nek?" jawabku.

"Kamu tadi belum makan, makan dulu baru keluar," tangannya sambil menyuapiku.

Setelah selesai menyuapiku Nenek pergi ke belakang menaruh bekas piring makan. Aku pun meneruskan untuk menyalami para tamu, waktu telah menunjukkan jam tiga sore baju ketiga hari ini. Para tamu mulai berkurang dan penata rias pun mempergunakan waktu istirahat itu untuk mengambil gambar.

Badan capek sudah mulai terasa, dari duduk lalu berdiri, duduk lagi dan begitu seterusnya. Waktu telah menunjukkan pukul enam sore dan kami memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Setelah selesai Shalat Magrib kita melanjutkan acara menyalami dan mempersilahkan tamu. Sampai pukul tujuh malam acara itu akhirnya berpindah ke rumah pengantin laki-laki. Membutuhkan emat puluh menit perjalanan akhirnya sampai di depan rumahnya. Rumah yang tadinya sepi sekarang jadi ramai. Setelah memberi sungkem pada kedua orang tua acara terakhir adalah dumdum kantong . Setelah semua berakhir aku dan suamiku beserta rombongan meninggalkan rumahnya karena pemberhentian terakhir di rumahku.

Akhirnya acara hari ini telah selesai semua malam telah menunjukkan pukul sepuluh malam dan para tamu pun sudah tidak ada yang datang. Beberapa orang melekan dan sambil main kartu ada yang beberapa membersihkan sisa-sisa makanan.

Aku dan suamiku berganti pakaian dan membersihkan wajah yang dari tadi pagi terasa kaku dan dia membantuku menyisir rambut yang kaku itu dan dia tidak hati-hati menarik rambutku aku pun dengan spontan menjerit, "aduh sakit," kataku sambil menggosok kepalaku.

"Maaf-maaf," dia mengatakan sambil mengelus kepalaku.

Aku pun mengatakan, "ya sudah kamu jagongan sama orang-orang di depan dan panggilan Yanti suruh bantu aku menyisir rambut."

"Dia sudah tidur, besok kan dia sekolah," jelasnya.

"Ya sudah, aku sendiri kamu keluar gih!" Perintahku.

Dia keluar dengan laki sedikit berat , aku pun mengikuti dari belakang mencari di mana keberadaan Ibuku.

Aku melihat sosok ibu sedang membantu di dapur aku berjalan mendekatinya dan ku memanggil pelan padanya, "Bu, bantu aku menyisir rambutku." Aku berjalan meninggalkan dapur menuju kamar dan Ibuku mengikuti dari belakang.

Pelan dan pasti dia menyisir rambutku dengan penuh kasih sayang. Tidak terasa waktu telah menujukan tengah malam suara sound telah dikecilkan orang yang ada di luar pun sudah tertidur dengan pulasnya.

Hari yang melelahkan telah terlewati, biduk rumah tangga telah menanti. Kata orang pernikahan itu tidak mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Pernikahan adalah saling toleransi kepada pihak lain termasuk toleransi pada diri sendiri. Saling memberi sedikit lebih banyak toleransi dalam pernikahan hidup akan sedikit lebih bahagia. Tapi kenyataannya ketika dua orang jatuh cinta mereka saling peduli akan kata-kata, perbuatan, dan akan mempertimbangkan perasaan satu sama lain tetapi setelah menikah belum tentu seperti itu, akan mudah mengabaikan nada dan sikap kata-kata mereka sendiri dan orang terdekat karena telah tahu betapa sulitnya hidup dalam perkawinan.

Jalanku masih panjang pernikahan ku baru seumur jagung. Antara aku dan dia masih perlu saling mengenal karakter satu sama lain. Sebuah kata yang pernah ku dengar "Pacaran terindah adalah pacaran setelah pernikahan" entah kata-kata itu benar adanya atau cuma sekedar kata-kata.

Keesokan harinya semua masih sibuk membersihkan sisa-sisa acara aku dan dia juga tidak luput ikut membantu. Masih terlihat satu dua orang datang ngalong dan aku pun menyalami satu per satunya.

Dia begitu sopan dan membaur dengan keluarga dan tetangga sebelah. Waktu telah berlalu tidak terasa sudah seminggu setelah sepasar aku di boyong ke rumahnya.

Hari pertama sebagai menantu di rumah mertua membuatku sedikit kikuk. Ketiga kakak dan istrinya masing-masing masih berada di rumah dan aku pun berusaha serelaks mungkin. Melihat istri kakak pertama sedang sibuk di dapur aku mencoba untuk menyapa dan membantunya, "Mbak, lagi sedang apa?" aku bertanya pura-pura tidak tahu.

"Lagi masak!" jawabnya dengan menghidupkan api ditungku.

"Aku bantu ya!" tanyaku sambil mengambil beras yang ada di baskom dan lalu mencucinya.

" Iya!" jawabnya singkat.

Hari demi hari telah berlalu hubunganku dengan keluarga suami makin akrab. Namun keakrabanku masih ada sedikit rasa janggung terhadap mertua laki-laki. Entah kenapa ada rasa beda terhadapnya, ada rasa takut terhadapnya.

Kakak ipar pertama dan sang istri dia telah kembali ke rumahnya di Sumatra karena sang anak harus masuk sekolah dan tidak bisa berlama-lama di rumah orang tuanya. Istri kakak ipar pertama terhadapku sangat baik dan selalu menasihatiku untuk tidak gegabah saat menghadapi masalah. Dia juga mengatakan mengingatkan ku bahwa mertuaku hubungannya dengan para menantunya kurang baik. Sebenarnya aku juga merasakan tapi aku mencoba untuk menepis perasaan itu. Dan istri kakak ipar pertama juga mengingatkan jaga baik-baik hubungan dengan istri kakak ipar ketiga.

Dan aku cuma mengiyakan kata-katanya, karena aku baru di rumah ini dan belum tahu bagaimana sifat yang sebenarnya. Setiap seminggu sekali aku pulang ke rumah orang tuaku karena kita belum mempunyai rumah sendiri dan memutuskan agar adil kita membagi waktu untuk ke sana dan kemari.

Di mata tetangga suamiku benar-benar mempunyai sopan santun. Setiap pagi sebelum matahari terbit dia selalu membantu Ibuku mengambil air dan juga sering ngobrol bareng mereka.

Hari ini aku datang sedikit pagi, tidak sengaja menyapa secara berbarengan, "Pa, hari ini mau berangkat ke Sumatra. Kok ada barang-barang banyak?"

"Iya," katanya dengan singkat.

"Entar bantu bawa barang-barangnya!" celetuk Ibu.

"Iya, Bu," jawabnya. Ia berkata lagi, "jam berapa berangkatnya?"

"Jam satu siang," jawab Ayahku.

Setelah obrolan itu Ayah mengeluarkan motor dari dalam rumah. Aku pun bertanya pada Ayah, "mau pergi ke mana, kok ngeluarin motor?" kataku sambil menghampiri.

"Mau pergi ke rumah nenek berpamitan," jawab ibu.

"Oh," jawabku singkat.

Di depan mataku sudah terbentang maligai rumah tangga yang mewajibkanku berdiri di kaki sendiri dan berusaha mandiri bersama sumiku. Keluarga kecil yang baru ku bangun fondasinya belum begitu kuat sepenuhnya.

Cinta dan pernikahan sebenarnya adalah dua hal yang berbeda. Pernikahan bukanlah kelanjutan dari cinta dan cinta bukanlah asal mula pernikahan. Ada batasan yang sama sekali berbeda di antara keduanya. Perbedaan itu terletak pada apakah ada gairah dan tanggung jawab kedua belah pihak.

Pernikahan adalah tentang menemukan orang yang cocok, yang akan memberiku secangkir ait ketika haus, dan memijat punggungku ketika lelah; itu sangat sederhana, alami, lebih rela dan puas, dengan kepolosan dan kesederhanaan untuk meresapinya.

Dan hidup rumah tangga adalah memikul tanggung jawab bersama, memberi, mengumpulkan, memperoleh, berbagi, dan mengenang sedikit demi sedikit.

Ada yang bilang ada pernikahan karena cinta, kristalisasi cinta karena cinta, dan hidup karena cinta. Cinta dan pernikahan keduanya fantasi romantis; dalam cinta, cinta itu manis, dan pernikahan adalah harapan; setelah menikah, cinta adalah kenangan dan berpegangan tangan dan menyaksikan matahari terbenam, mungkin itulah kebahagiaan yang sesungguhnya!

Cinta dalam pernikahan itu datar, dan kamu tidak lagi terbiasa dengan kata-kata manis dalam cinta. Jika suamiku tidak membeli mawar dan cokelat di Hari Valentine, mungkin aku akan mengeluh bahwa dia tidak memiliki romansa, tetapi dia akan memberi tahuku. Kita hidup di hari-hari ketika aku tidak hati-hati, mungkin dia akan memasakkan Untukku beberapa hidangan yang aku suka, dan dia akan berinisiatif untuk membuatku bahagia saat Anda marah.

Ini adalah kehidupan yang paling biasa, dan ini adalah kebahagiaan yang ku miliki, cinta yang ku miliki. Cinta dan pernikahan tidak satu ke kiri dan yang lain ke kanan, mereka dipeluk erat, dan keduanya sangat diperlukan dalam hidup kita.

Sebenarnya, tidak perlu mengejar terlalu banyak cinta dan kebahagiaan dalam hidup, atau terlalu mengejar romansa, karena cinta hanyalah sebuah , dan kebahagiaan hanyalah sebuah perasaan.

Jika aku berpikir telah mendapatkan cinta dan kebahagiaan, memiliku seutuhnya.

Nb:

1. Weweh : duduk-duduk sambil mengobrol

membantu tetangga / sanak keluarga saat ada perayaan.

2. Dumdum kantong : membagikan harta orang tua kepada anak sebagai bekal masa depan. Mengandung makna rasa syukur dan bahagia mempelai karena telah berhasil menikahkan semua anaknya serta dapat memberikan bekal untuk anak-anaknya.

3. Jagongan : tidak tidur sepanjang malam dan sambil ngobrol

4. ngalong : menyumbang orang yang punya hajat

5. Sepasar : lima hari setelah berakhirnya pesta perkawinan.