Chereads / INI KISAHKU (Santi , Panji) / Chapter 10 - Sebuah Kalung

Chapter 10 - Sebuah Kalung

Pada malam yang berkabut di pertengahan musim panas tiba-tiba menjadi sunyi bahkan beberapa serangga yang saling bersahutan kini terdiam seolah-olah mereka menunggu dengan gelisah. Tidak ada jejak debu di tanah dan kata-katak juga saling melompat mencari kesejukan. Awan gelap di langit udara gerah dan panas seperti kapal uang yang besar.

Di atas dipan kita berunding bahwa setelah tiga bulan pernikahan kami memutuskan untuk merantau, memutuskan untuk berusaha mengais rezeki berdua. Sambil tiduran saling bercerita dan merangkai angan dan merangkai sebuah impian. Malam semakin larut suara semakin memudar tapi impian tidak akan pudar tetap ada di hati.

Aku baru mulai memahami bagaimana sebenarnya sifat laki-laki yang ada di sampingku. Sifatnya membuatku mempunyai rasa aman dalam hati walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Tapi bukan karena kekurangan membuat kita untuk tidak berusaha.

Sebenarnya sangat mudah, bahkan sangat wajar cinta dua orang yang menanggung dua orang. Sebenarnya tidak sulit cuma kamu terlalu pesimis dan tidak mau berbagi dengan siapa pun.

Cinta adalah praktik di mana kita belajar bagaimana mencintai orang lain dan diri kita sendiri.

Pernikahan juga membutuhkan upaya bersama dari dua orang, saling memahami kebutuhan, saling menghormati dan pengertian.

"Mas, besok ke rumah Ibu ya?" kataku lirih.

"eh," ia berkata dengan singkat.

Aku tahu dia sebenarnya tidak terlalu suka bila ku ajak ke rumah orang tuaku. Entah dia terlalu sensitif atau dia tahu jika Ayahku kurang suka dengannya.

Keesokan harinya sesuai dengan kesepakatan kita pun pergi ke rumah orang tuaku. Sesampainya di rumah orang tuaku dia melihat Ibuku sibuk cepat-cepat membantu, walaupun terlihat kurang suka berada di sini dia masih bisa menyembunyikan ekspresinya.

Setelah semua orang sudah tidak sibuk aku pun mengutarakan niat ku, "Bu, kita mau merantau," kataku dengan tenang.

"Baguslah, biar mandiri, biar tahu susahnya cari uang," jawabnya. Ibu pun menambahkan, "kapan berangkatnya?" tanyanya.

"Mungkin minggu depan," kataku sambil menggaruk-garuk kepala.

"Sudah punya ongkos belum?" tanyanya.

"Aku gak tahu, mungkin sudah," jawabku.

Dua hari sebelum kepergian dia bilang padaku, "aku tidak ada uang bisa tidak kalung yang kamu pakai di jual dulu,"

Tanpa pikir panjang aku pun mengiyakan, "iya," jawabku. Kalung itu pemberian orang tuaku walaupun gak banyak tapi kalau di jual harganya lumayan tinggi karena mas itu asli Sumatra.

Jangan menyalahkan saat menghadapi kesulitan, dan tanggung akibatnya bersama-sama. Tidak peduli seberapa miskin atau sulit sepantasnya aku ikut menanggung beban yang di pikulnya.

Keesokan harinya memberi tahu istri kakak iparnya untuk menjualkan. Pergilah mereka ke toko mas tidak berapa lama mereka pulang dan berkata, "harganya turun dan murah." setelah dia berkata menyerahkan emas yang ada di bungkusan padaku.

Aku dan suamiku memutuskan untuk menjualnya di kota. Sebenarnya aku tidak tahu bahwa keputusanku itu akan membuat masalah di kemudian hari. Tapi setidaknya sekarang aku bisa membantunya saat dia lagi sedang kesulitan itu arti sebuah pernikahan.

Hubunganku dengan mertuaku masih dibilang hangat-hangat kuku masih biasa saja karena sifat mereka belum sepenuhnya muncul.

Keesokan harinya aku dan dia pergi ke kota untuk menjual perhiasan itu. Sampailah di sebuah toko mas di tengah kota. Dia mematikan mesin lalu aku turun dan berjalan menuju ke dalam toko mas itu. Pelayan yang ada di depanku bertanya dengan suara lembut, "ada yang bisa bantu," dengan senyum mengembang di pipi.

"Saya mau menjual ini, tapi tidak ada suratnya ini mas Sumatera," kataku sambil menyodorkan bungkusan kecil itu.

Pelayan itu lalu menimbang dan mengatakan bahwa beratnya yang tadi sama seperti yang ku katakan. Pelayan juga berkata, "sebentar saya panggilkan bosku dulu," setalah mengatakan itu dia lalu berjalan ke dalam.

Keluarlah seorang laki-laki gemuk dengan perut buncit melangkah mendekati, dan berkata, "ini mas tak beli satu setengah juta karena tidak ada surat-suratnya jadi beraninya cuma segitu," ia mengatakan sambil melihat-lihat emas yang ada di tangan.

"Bisa di tambah dikit tidak," aku mengatakan dengan suara lirih berharap pemilik toko mas itu berubah pikiran.

"Tidak bisa, bisanya cuma segitu," jawabnya sambil menyerahkan bungkusan itu padaku.

"Mas," aku menoleh, melambaikan tangan dan memanggil dia agar mendekat.

"Ada apa?" tanyanya. Dia berkata lagi, " bagaimana berani berapa penjual masnya?" Dia berkata seraya menembakkan meriam tak henti-hentinya.

"Satu setengah juta," jawabku.

"Dari pada kemari lebih tinggi ini," ia berkata.

"Bagaimana dijual tidak?" tanyaku.

"Dijual, besok sudah mau berangkat tidak ada waktu lagi!" katanya dengan menganggukkan kepalanya.

Aku memanggil pelayan itu lagi dan berkata, "jadi dijual," pelayan itu memanggil kembali bosnya.

Pemilik toko mas itu cara berjalannya masih sama dengan yang tadi, lalu dia berkata, "Bagaimana jadi?" tanyanya.

"Jadi," kataku.

Pemilik toko mas itu memberikan uangnya dan kita pun pulang. Dalam hatiku bagaimana menjelaskan kepada Ibu jika melihat kalung di leherku sudah tidak ada.

Sesampainya di rumah ku melihat ibuku sedang duduk di teras rumah. Aku menghampirinya lalu berkata, "hari ini masak apa?" Tanyaku.

"Tumis terong," jawabnya.

Lalu aku melangkah masuk mengambil kan nasi untuk Mas Panji. Ku memanggil dengan suara lirih menyuruhnya untuk makan. Dalam sekejap mata makanan yang ada di depanku sudah habis tidak tersisa, ku membereskan meja makan.

Terdengar suara kaki dari belakang aku menoleh terlihat Ibu berjalan mendekati dan aku pun melanjutkan pekerjaan ku. Jalan kaki Ibu berhenti di dekatku lalu berkata, "kalungmu ke mana?"

Ternyata Ibu sudah memperhatikan leherku dari tadi.

Aku pun menjawab, "aku jual tadi," dengan suara lirih.

"Apa?" Ibu berteriak dengan suara lantang.

"Jangan marah dulu, biar aku jelaskan," aku berusaha menenangkan. Aku berkata lagi, "Gak ada buat ongkos bus jadi terpaksa jual kalung itu," aku menjelaskan dengan sedikit suara bergetar.

"Itu kalung pemberian Ayahmu, jika dia tahu pasti marah besar," katanya lagi.

"Jangan kasih tahu Ayah," kataku.

Ibu hanya diam tanpa kata di wajahnya terlihat raut kekecewaan. Mungkin karena masalah ini orang tuaku semakin kurang suka dengannya. Setelah selesai pekerjaan di dapur alu berjalan menuju kamar di mana Mas Paijan berada. Aku mengatur nafas dan berusaha menyembunyikan apa yang terjadi tadi. Ibu pun tidak berkata apa-apa pada menantunya, ku pikir Ibu menjaga perasaan sang menantu.

Entah keputusanku yang aku ambil ternyata menimbulkan banyak masalah di belakang. Hidup memiliki empat hal yang tidak dapat dipulihkan, tindakan, waktu, kesempatan dan kata-kata.

Tindakan kemarin jika tidak kamu pikirkan akan membuatmu menyesal, waktu yang telah berlalu tidak akan bisa kembali lagi, kesempatan jika kamu tidak mempergunakan sebaik-baiknya dia akan terlewat begitu saja dan kata-kata yang kamu ucapkan tidak bisa ditarik kembali.

"Ayo pulang," katanya.

"Kok pulang?" tanyaku.

"Besok kan sudah mau berangkat, jadi harus mempersiapkan segala sesuatunya," jawabnya sambil berjalan mengambil helm di belakang.

dia lalu berpamitan pada Ibu, "Bu, aku pulang dulu."

Ibu menjawab dengan singkat, "Iya."

Dia menghidupkan motornya suara knalpot yang sudah familier terdengar di telingaku, aku berjalan keluar dan berpamitan pada Ibu, "aku pulang dulu, besok mampir kesini."

"Iya," cuma kata singkat yang terdengar dari mulutnya.

Setelah sepeda motor berbunyi aku duduk di jok belakang, pelan dan pasti membela hitamnya jalan yang panjang ini. Tanpa terdengar dia mengucapkan sepatah kata pun entah apa yang dipikirkannya.

Aku mencoba membuka percakapan, "Mas, kenapa kok cepat-cepat pulang?" tanyaku.

"Tidak apa-apa," Jawabnya.

"Oh," jawabku singkat. Aku tidak mau memaksanya untuk berbicara.

Mungkin dia tadi mendengar obrolan dengan Ibuku , sebenarnya aku serba salah satu sisi orang tuaku satu sisi suamiku. Memang keputusan menjual kalung itu aku akui ada benar dan salah. Keputusan benar adalah saat suami membutuhkan bantuan yang lain ikut memikul dan keputusan yang salah karena itu pemberian orang tua tak sepantasnya di jual.

Masalah pertama di pernikahanku entah apa yang akan menyambutku di jalan pernikahan yang panjang ini. Tidak ada seorang pun yang dapat mengontrol terjadinya sesuatu hanya dengan terus beradaptasi mengendalikan kemudi hati kita sendiri dan mengembangkan pikiran yang normal. Kita dapat menghadapi berbagai variabel dalam hidup dengan mudah.

Dan ku berharap bahwa selama sisa hidup kita, aku berharap bahwa kita masing-masing akan baik-baik saja. Kesulitan dibagi bersama, masalah diselesaikan bersama dan bergandengan tangan untuk maju bersama. Waktu tidak terbatas tapi hidup memiliki akhir. Semoga kita selalu bisa menghabiskan sisa hidup dengan bekerja keras dan meluangkan waktu bersama keluarga tanpa menunda-nunda dan menjadi versi terbaik diri kita sendiri.

Hanya ketika mencintai orang dengan cara yang benar. Aku akan tahu bahwa pernikahan adalah perjalanan yang sangat menarik. Pernikahan hanyalah perjamuan dan menopang seluruh hidupmu adalah cinta. Seseorang bertanya padaku: Mengapa kamu menikah? Itu ketika aku berpikir bahwa dua orang bersama lebih menarik daripada seseorang.

Faktanya, pernikahan terbaik adalah ketika bekerja sama, kamu sangat baik dan aku juga tidak begitu buruk. Aku dapat memahami kerja kerasmu dan kamu juga memahami ketidakmudahanku. Dan keadaan perkawinan terbaik adalah : hatinya penuh denganmu dan di matanya penuh dengan anak-anak. Pernikahan yang baik bukan tentang saling mengkritik dan tidak menyukai tetapi dua orang tumbuh bersama. Entah yang kupikirkan ini terlalu dini atau itu yang di maksud pernikahan sebenarnya.

Selama perjalanan dia diam tanpa kata jalan ini terasa panjang. Aku merasa setelah masa-masa romantis akan ada masa konflik yang terjadi dalam setiap pernikahan dan sekarang aku baru tahu sifatnya yang sebenarnya.

Ini baru permulaan jalan masih panjang banyak maslah akan mengalangi jalan menuju kebahagiaan bagaimana aku menyikapinya. Dalam standar hatiku akan banyak pernyataan: mengira bahwa pihak lain harus memberimu cinta dan dukungan dan bahwa orang yang aku cintai akan memberi dukungan dan tidak akan menyakitiku.

Dan ternyata cinta dan luka itu seperti dua sisi mata uang yang sama. Jika ada cinta pasti ada luka kuncinya bagaimana mengurangi rasa sakit itu atau bagaimana mengartikannya kembali setelah disakiti.