Beberapa hari setelah itu orang tuaku pun akhirnya pulang dari perantauan. Ternyata dugaanku Ayah begitu marah saat pulang dan menginjakkan kaki pertama kali di rumah dengan ekspresi seperti biasa jika marah. Terdengar banyak suara-suara burung yang berembus terdengar di telinga Ayah ada yang mengatakan aku hamil, ada yang bilang cewek nakal. Entah apa salahnya nikah muda entah lah apa yang di pikirkan mereka.
Sore menjelang lampu-lampu sudah mulai menyala, kendaraan di jalan depan rumah masih lalu lalang dengan suara derunya. Kedua orang tuaku memanggilku dari ruang tamu, terdengar suara mereka sedang bertengkar dengan suara keras seperti biasanya. Dengan pelan ku berjalan mendekati dan duduk di sebelahnya. Ayah mulai bertanya, "kamu benar-benar ingin nikah sama dia?"
"Iya," jawabku dengan lantang.
"Ya sudah," ayah berkata lagi. Dari suara Ayah sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku mengangkat mataku dan menatapnya, diam-diam mendengarkan apa yang ia katakan.
Keesokan harinya saat sarapan ayahku bicara tentang kelanjutan sekolahku. Aku tidak menjawab, hanya meletakkan piring sarapanku lalu berjalan menuju kamar mengambil sesuatu. Setelah keluar dari kamar aku pun menjawab pertanyaan yang di lontarkan oleh Ayah padaku.
"Rencana hari ini mau ke sekolah mengundurkan diri," kataku ringan.
Setelah sarapan aku pun pergi ke sekolah untuk mengurus urusan mengundurkan diri dari sekolah. Wali sekolah pun sangat menyayangkan keputusanku ini mereka mencoba membujukku agar tetap sekolah tapi karena keputusanku sudah bulat akhirnya mereka menyerah karena tahu membujuk pun tidak ada gunanya lagi.
"Bolehkah sebelum aku keluar dari sekolah hari ini ikut pelajaran untuk terakhir kalinya," aku meminta izin pada Wali Kelas.
"Boleh," jawabnya.
Pelajaran demi pelajaran ku lalui dengan saksama, dari arah belakang sebuah suara panggilan terdengar di telingaku, "Santi."
Aku menoleh dan terlihat Rasti di sana, "ayo makan!" Ia mengatakan sambil berjalan pelan mendekatiku.
Dengan berkata dengan suara pelan, "ayo!" jawabku.
Kita berjalan berjejer di koridor kelas terlihat semua anak dari beberapa kelas saling bercanda tawa satu sama lain. Hari ini kantin sekolah cukup ramai tidak terlihat bangku yang kosong rencana mau makan di tempat akhirnya kita batalkan. Lalu kita memesan nasi kucing dan sebungkus es teh manis dan mengambil beberapa gorengan. Makanan itu cukup murah di kantong pelajar seperti kita, kuambil lima ribuan dari saku pada penjualnya.
Tidak beberapa lama aku dan Rista melalui lorong itu lagi pelan tapi pasti ku duduk di kursi dan melahap nasi di hadapanku. Hari ini ada yang berbeda uang saku lebih banyak dari biasanya walau ayah begitu galak padaku tapi soal uang saku beliau tidak pelit.
Tidak butuh waktu lama nasi di hadapanku sudah tak tersisa. Rista menghampiriku dan berkata, "kamu hari ini sedikit aneh," sambil berjalan membuang sampah yang ada di tangannya.
"Tidak ada yang aneh," jawabku sambil membuang sampah sisa makanan.
Bel sekolah pun berbunyi sebuah suara panggilan namaku terdengar dari pintu kelas, "siapa yang namanya Santi." Aku pun melambaikan tanganku dan menghampirinya. "Kamu dipanggil Wakil Kelasmu di kantor guru," katanya lagi.
"Iya<" jawabku.
Aku berjalan melalui koridor kelas menuju kantor Guru. Ku perlahan mengetuk pintu ruang itu. Beberapa pasang mata melihat tatapan aneh Wali Kelas memberitahu bahwa permohonan mengundurkan diriku telah di setuju.
Sekembalinya aku dari ruang guru suara hand phone berbunyi terlihat sebuah panggilan telepon dengan nomor yang ku kenal tertera di sana. "Halo, Assalamualaikum," jawabku.
"Waalaikum'salam," suara dari seberang sana.
"Hari ini kamu di mana dan sedang apa?" Tanyanya.
"Lagi di sekolah mengurus pengunduran ku dari sekolah," jawabku.
"Entar aku jemput," ia berkata.
"Iya," kataku.
Ku mengetuk ruang kelas seorang guru mempersilahkan masuk masih dengan tatapan mata yang aneh. Merasa tidak enak dengan tatapan matanya, aku melangkah sedikit lebih cepat, dan sedikit menunduk. Jam pelajaran terakhir pun berakhir dan hari ini adalah mata pelajaran terakhirku di sekolah ini ada sedikit rasa enggan untuk meninggalkan tapi karena ini semua sudah keputusanku mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ku meminta pada Wali Kelas dan Guru-guru lain untuk merahasiakannya. Teman baikku Rasti juga pun tidak tahu.
Bel sekolah yang menandakan jam pelajar terakhir itu berbunyi Ibu Guru berjalan meninggalkan kelas. Udara hening dalam sekejap kemudian ada ledakan tawa dan suara gaduh dari siswa masing-masing kelas. Terlihat lalu lalang semua murid untuk pulang ada yang mengambil sepeda motor dan ada yang berlari menuju tempat untuk menunggu bus.
Aku melewati koridor kelas berjalan dengan pelan tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundak aku dengan refleks menoleh terlihat Rasti di belakang sambil tersenyum memang sudah kebiasaannya seperti ini mengagetkan orang. Ia lalu berkata, "Di jemput atau naik bus, kalau tidak di jemput ayo ku boncengkan."
"Di jemput," kataku sambil berjalan.
"Ya sudah, aku duluan," jawabnya
Ku melangkah ke luar gerbang terlihat ia duduk di atas motornya aku perlahan berjalan menghampirinya. Ada tatapan samar di hatinya, dan ketika aku mengangkat mata bertemu dengan matanya yang menggoda itu dengan wajah merah karena tersengat terik matahari. Awan seperti sisik ikan berwarna oranye-merah bergerak di atas cakrawala, dan cahaya menjadi jelas pada saat ini. Ia tiba-tiba mendongak untuk melihat ke atas, dan mata kita bertabrakan di udara. Rambutnya sangat pendek, memperlihatkan janggut yang datar , lipatan kelopak mata dangkal, pupil mata gelap, acuh tak acuh, ada garis dagu yang halus.
Dengan suara pelan aku membuka percakapan, "sudah lama menunggu?" tanyaku.
"Belum terlalu lama," jawabnya.
"Ya sudah, kita pulang," kataku dengan suara sedikit keras karena suara bising dari suara motor di jalan.
Ia menghidupkan motornya lalu kududuk di belakangnya perlahan memecah kebisingan jalan. Terik matahari masih menyengat kulit matahari masih di atas kepala, debu-debu beterbangan menyentuh kulit, suara knalpot saling bersahutan. Lalu dengan tiba-tiba membelokkan motornya di sebuah toko buah, ia membeli beberapa macam buah.
Setalah buah yang sudah dapat buah yang di beli ia menghidupkan motornya lalu berputar untuk pulang. Tidak butuh berapa lama kita sudah sampai terlihat adikku sedang duduk di teras rumah.
Ini pertemuan pertama antara calon menantu dan calon mertua keduanya terlihat agak sedikit canggung. Ayahku mencoba membuka percakapan, "umurmu berapa? Namamu siapa? Kamu orang mana?" pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan oleh Ayah maklum baru pertama kalinya beliau ketemu dengannya.
"Umurku sekarang 33 tahun, namaku Panji, aku tinggal di sebuah desa D, Om." Jawabnya dengan suara sedikit gemetar.
"Pekerjaanmu apa?" tanya lagi.
"Mendulang emas, Om." Jawabnya.
"Kamu anak yang ke berapa?" tanyanya dengan sedikit membetulkan duduknya.
"Aku anak ke empat dari empat bersaudara, Om." dia berkata sambil melirik ke arah ku.
Beberapa saat keadaan yang sedikit canggung mulai berangsur membaik udara di sekitar pun mulai bersahabat terlihat dedaunan terombang-ambing oleh angin. Suara kicauan teman sebaya adikku bersenandung riang.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua tidak terasa perutku terdengar bunyi meminta untuk di isi. Ibuku keluar dari dapur mempersilahkan calon mantunya untuk makan," Panji makan dulu," katanya dengan senyum tersungging tipis di wajahnya.
"Iya, Tante." jawabnya dengan sopan.
Dia berjalan pelan mengikuti Ibuku menuju dapur, disusul Ayahku dan aku. Terlihat di meja beberapa lauk yang komplit di meja. Suara ibuku mempersilahkan lagi< "ayo ambil nasinya," sambil mengulurkan tempat nasi.
"Iya, Tante. Biar aku ambil sendiri," ia berkata sambil mengambil tempat nasi itu.
Setelah memberi nasi lalu Ibuku berjalan menuju ruang tengah di mana Ayahku berada.
Aku dan dia berada di dapur sedang makan siang bersama terdengar suara obrolan Ayah dan Ibu dari ruang tamu. Setiap suapan nasi ku begitu menikmatinya tidak terasa suapan terakhir pun sudah mendarat di mulut. Tidak perlu lama nasi dan lauk yang ada di hadapan kita sudah habis tidak tersisa. Ku mengambil piring di hadapannya dan di bantunya membereskan meja makan, aku sendiri mengambil piring yang digunakan tadi untuk di bawa ke tempat cuci piring menghidupkan keran lalu mencucinya. Setelah selesai pelan-pelan berjalan keluar menghampiri Ayah dan Ibu duduk di sebelahnya.
Terkadang terlalu sibuk sampai waktu hilang dalam sekejap mata, waktu berlalu dengan cepat tidak terasa sudah pukul empat sore ia berpamitan untuk pulang.
"Om, Tante aku pulang dulu," katanya dengan senyum tipis di wajahnya.
"Iya," jawab ayah dan Ibuku.
Aku mengantarnya ke teras ia perlahan menghidupkan motornya menyusuri jalan beraspal hitam itu. Pelan-pelan bayangannya dari kejauhan mulai memudar dan suara motornya mulai berganti suara bising dari suara knalpot pengendara kendaraan lain.
Aku berjalan masuk ke dalam rumah di safa masih terlihat Ayah dan Ibuku duduk di sofa ruang tamu. Dari wajahnya beliau ada sedikit yang tidak beres aku mencoba untuk bertanya, "kayaknya ada yang mengganggu di pikiran Ayah?" sedikit memberanikan diri bertanya.
"Aku rasa sedikit tidak puas dengannya," katanya.
Aku mencoba memberanikan bertanya lagi, "yang tidak puas dari segi yang mana?"
"Aku juga kurang tahu dari sisi mananya," jawab Ayah sedikit mengaruk kepalanya.
Memang dari wajah Ayahku terlihat kalau beliau kurang puas dengan Panji dan terlihat wajahnya terasa begitu tak berdaya. Aku mencoba untuk pelan-pelan memberi pengertian padanya walaupun tahu itu sedikit sia-sia.
Karena aku tahu bagaimana sifat Ayahku, dia keras kepala, orang membujuknya pasti hasilnya akan sia-sia, sedikit kekanak-kanakan, kemauannya semua harus mendengar dan melakukan perintahnya, maunya menang sendiri itulah sifatnya tapi sebenarnya sifatku aku juga sedikit sama dengannya kata orang buah itu jatuh di jauh dari pohonnya.
Tapi aku yakin lama-kelamaan Panji pasti bisa mengambil hati Ayahku yang keras itu. Sebelum bertemu dengan calon mertuanya aku sudah menjelaskan dan memberitahu tentang Ayahku berharap dia sudah melakukan banyak persiapan. Aku juga yakin Ayahku lama-kelamaan akan suka dengan calon mantunya.
Hari ini begitu cepat berlalu calon mertua bertemu dengan calon menantu waktu yang ku rasa berhenti sesaat itu akhirnya berakhir. Jam menunjukkan pukul lima sore aku melangkah mengambil handuk di kamar lalu berjalan menuju kamar mandi pelan-pelan air menyentuh kulit begitu dingin dan segar tidak butuh waktu lama aku keluar dari kamar mandi.
Suara burung masih terdengar sore ini, matahari sore pun masih bersinar masuk di cela-cela jendela, angin masih bertiup perlahan, suara deru kendaraan masih seperti biasanya tapi ada yang beda suara orang yang berisik di sebalah rumahku.
Karena ada sebuah warung bakso yang terkenal di daerahku. Aku berjalan mendekati dan memesan beberapa mangkok bakso dan dua gelas es jeruk. Setelah ku memesan aku menunggu di teras rumah tak butuh waktu yang lama aku di panggil, "Santi, ini pesananmu sudah jadi," kata istri penjual bakso itu.
"Iya," kataku sambil berjalan mendekati.
Istri penjual bakso itu pun melihatku dan berkata, "wah, kamu mau nikah San," ia bertanya dengan memanggil nama kecilku.
"Iya, "kataku dengan senyum mengembang tipis di wajahku.
"Kapan," tanya lagi.
"Tanggal lima belas bulan tujuh," kataku sambil mengambil bakso yang di mangkok itu. Aku mengambil bakso beberapa kali istri penjual bakso itu pun tidak berhenti bicara, aku pun berkata lagi, " besok bantu-bantu ya!" kataku sambil menepuk pundaknya.
"Kamu menyuruh orang untuk bantu-bantu ya datang ke rumah," ia berkata sambil ketawa.
"Sudah dekat waktunya pasti datang ke rumahmu untuk memberitahumu," jawabku berjalan menjauh.
Setelah obrolan itu aku kembali ke rumah menikmati bakso yang tadi di beli, lupakan sejenak kejadian hari ini besok akan lebih baik.