Chereads / INI KISAHKU (Santi , Panji) / Chapter 6 - Menentukan Hari Pernikahan

Chapter 6 - Menentukan Hari Pernikahan

Setelah empat bulan di perantauan akhirnya ia pulang, cinta jarak jauh pun berakhir dan kita yang sebagai pemenang yang mengalahkan waktu. Dalam tiga bulan ini walaupun cuma mendengar suaranya tanpa bisa melihat wajah dan bentuk tubuhnya tapi perasaan kita saling berkaitan satu sama lain. Hati insan manusia yang di mabuk oleh cinta tidak peduli dengan omongan dan nasehat orang.

Telepon bergetar tiba-tiba, aku menggesek layar dengan wajahku yang langsung melunak. "Halo," sapaku dengan suara lembut.

"Halo," jawabnya.

"Sudah sampai mana?" tanyaku dengan sedikit penasaran.

"Baru sampai di Lubuk Linggau," katanya menjelaskan.

"Wah, masih lama sampainya," kataku dengan sedikit kecewa.

"Iya, tidak sampai tiga hari sudah sampai kok," katanya menenangkan.

"Kamu lagi apa?" tanyanya dengan suara lembut.

"Aku lagi dalam perjalanan pulang sekolah," jawabku.

"Oh, ya sudah. Hati-hati di jalan," ia menambahkan.

"Iya," aku mengiyakan.

Hari ini perjalanan pulang terasa melelahkan di dalam bus saling berdesakan suara berisik dari segala arah. Ada yang duduk ada pula yang berdiri sampai ada yang bergelantung di pintu bus benar-benar tidak seperti biasanya. Terminal sudah di depan mata waktunya untuk bersiap turun dan bergegas untuk berganti bus jurusan yang lain.

Seperti "Ketika orang pernah patah hati dan memutuskan untuk memilih cinta sejati, mereka melepas topeng mereka, melepaskan diri dari belenggu, dan diam-diam membuka mulut mereka dengan ketulusan yang tumbuh dalam kegelapan."

Lima belas menit yang lalu aku masih di bus jurusan lain sekarang sudah duduk di bus jurusan yang lain inilah namanya hidup tidak bisa di pastikan arah mana yang di tuju dan juga banyak pilihan yang harus di ambil. Apakah berada di rumah atau tidak, pulang atau tidak, apakah akan makan atau tidak, ia lebih bebas dari pada aku karena semua itu adalah pilihan.

Bus berhenti tepat di arah jalur rumahku, setelah membayar uang bus pada sopir aku mulai berjalan turun dari bus itu. Langkahku pelan menuju tempat parkir dalam langkah kaki menuju parkiran aku teringat dalam saku masih ada sisa uang jajan. Tenggorokan ini tidak terasa kering dan membutuhkan sebuah siraman air yang dingin ku berjalan menuju sebuah toko seberang jalan membeli sebungkus es.

Setelah pesanan yang tadi aku pesan jadi berjalan meninggalkan tempat itu dan menyeberang jalan dengan pelan menuju tempat parkir mengambil sepeda yang ku titipkan.

Hari ini panas matahari tidak seperti biasanya, panasnya sampai menyengat kulit. Sambil mengayunkan pedal sepeda sesekali meminum es yang dibeli tadi. Jarak jalan raya sampai rumah cuma dua kilometer tak berapa lama ku masuki gang rumah.

Waktu menunjukkan pukul satu siang ku bergegas ganti baju lalu makan karena sudah dari tadi perut ini bernyanyi betapa ingin di isi. Pelan-pelan ku buka tudung saji di atas meja terlihat sebuah piring berisi lauk ikan dan sambalnya. Hari ini rumah terasa sepi tanpa terdengar kicauan-kicauan suara dan teriakan dari mereka berdua. Setelah mengambil nasi dan lauk di piring tidak butuh waktu lama aku langsung melahapnya beberapa menit kemudian nasi di piring sudah tidak tersisa.

Setelah selesai semua pekerjaan rumah aku mencoba membuka kembali pelajaran tadi, waktu menunjukkan pukul lima sore matahari masih bersinar dengan terangnya, aku melangkah ke kamar mandi untuk bergegas mandi sebentar lagi orang-orang pulang dan pasti seperti biasanya antre untuk mandi.

Suara telepon berbunyi, "halo," terdengar suara Panji dari ujung telepon yang lain.

"Halo," suaraku sedikit terdengar dengan tidak jelas karena hidung sedikit tersumbat.

"Lagi apa kamu?" Tanyanya dengan suara sedikit di tekan.

"Lagi selesai mandi tadi!" masih dengan suara dengan sedikit tidak terdengar.

"Kamu sakit atau bagaimana kok suaramu sedikit tidak seperti biasanya?" tanya dengan suara penuh kekhawatiran.

"Sedikit flu tapi tidak parah kok, tadi sudah minum obat flu," kataku menenangkan.

"Ya sudah, kalau besok masih begini cepat pergi ke Dokter," katanya. Ia menambahkan "ya sudah istirahat sana, tak mati-in dulu teleponnya.

"Ya, kamu di jalan juga jaga diri baik- baik," kataku mengingatkan.

"Iya," ia mengiyakan.

Malam ini begitu hening tanpa ada suara jangkrik terdengar atau pun suara orang yang ada di rumah karena mereka sudah berada di alam mimpi masing-masing. Secepatnya aku berdiri dan masuk kamar untuk tidur terasa aneh malam ini pikiran terasa tidak tenang.

Aku hampir tidak bisa tidur sampai matahari terbit.

Keesokan harinya, aku dibangunkan oleh panggilan telepon

Karena begadang dan kurang tidur kepalanya terasa seperti ditusuk jarum dan terasa sakit. Aku sedikit kesal mengangkat telepon dengan sedikit lamban dan mendesak untuk menjawab telepon itu.

Ada suara Bapak di seberang sana, "Halo, Assalamualikum" jawabku dengan malas.

"Waalaikum'salam," jawabnya.

"Ada apa kok pagi banget teleponnya," kataku.

"Tidak apa-apa," jawabnya dengan tenang.

"Nanti tak telepon lagi aku mau tidur dulu, tadi malam susah tidur," kataku lagi.

Setelah menutup telepon meneruskan tidurku untung hari ini hari minggu bisa sedikit leluasa tidur sampai matahari di atas kepala. Pukul enam pagi burung pipi di tiang jemuran mengepakkan sayapnya memecahkan ketenangan sekeliling rumah.

Sinar matahari merayap masuk melalui cela jendela, mengangkat kepalaku dengan susah payah dan mengulurkan tangan menggosok wajahku untuk membuat diri lebih terjaga. Di kamar mandi aku memasukkan sikat gigi dengan pasta gigi di atasnya mengambil gayung air lalu berkumur dan hanya membasuh wajahku.

Telepon mengeluarkan suara, "Tit" aku melihat nama yang kukenal mengirim sebuah SMS, dalam SMS tertulis pesan singkat, "Bagaimana sudah enakkan belum?" tanyanya.

Aku pun membalas pesan singkat itu, "masih sedikit serak," kataku.

"Untung hari ini hari minggu kamu bisa istirahat dengan baik," isi pesannya yang penuh perhatian.

"Iya," ku membalas pesan singkat itu.

Setelah membalas pesan singkat itu aku mulai memasukkan makanan di dalam mulutku, sendok per sendok makanan yang di hadapanku sudah tidak tersisa.

Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh baju di tumpukan ember belum di cuci segera aku bergegas menuju cucian piring dan mencuci piring-piring yang ada dan melanjutkan dengan baju-baju yang ada di ember itu. Satu per satu baju yang ada di ember sudah selesai tercuci dan tergantung berjejer di tempatnya. Dan akhirnya menyelesaikan semua pekerjaan hari ini, tubuh juga masih terasa lemah dan suara masih serak.

Pada saat ini, embusan angin sejuk bertiup, dan dedaunan terbang jatuh ke tanah. Aku pun melanjutkan lagi tidur merangkai mimpi di pagi ini. Suara telepon berdering lagi masih dengan lagu yang sama tapi cuma ku lihat tanpa ku jawab. Mata ini masih ingin terpejam tidak ada tenaga untuk bicara biasa jika badan sudah seperti ini keluar keringat dingin, tenaga mulai lemah maklum sejak kecil kalau sakit panas seperti ini tidak pernah nama tubuh benar- benar panas.

Suara dering pesan singkat terdengar lagi, "kok tidak di balas, sudah baikkan belum," pesan tertera di layar hand phone itu.

"Masih sama," pesan singkatku.

"Aku sudah sampai Jakarta ini mungkin besok pagi sudah sampai rumah," isi pesannya.

"Iya," isi pesan singkat yang ku kirim.

Seharian ini aku cuma berbaring di kasur semua pekerjaan sudah selesai mau pergi ke rumah sana tenaga sudah tidak ada. Terlihat Nenek pulang kerja dari sawah orang melihat aku berbaring Nenek pun bertanya, "kamu sedang apa?"

"Aku lagi tidak enak badan Nek," jawabku dengan suara lemah.

"Sudah minum obat belum?" tanyanya.

"Sudah tadi," kataku dengan suara lirih.

"Baju yang ada di jemuran siapa yang cuci tadi?" tanyanya dengan heran.

"Aku tadi pagi," jawabku lagi.

"Badanmu tidak kok cuci baju mereka berdua ke mana?" tanyanya lagi.

"Tadi bangun sudah tidak ada orang sama sekali," tambahku.

"Ya sudah, kamu istirahat dulu ini ada nasi dan lauk entar kamu makan," suruhnya.

Waktu menunjukkan pukul dua belas siang dari luar terdengar suara ribut kedua anak itu. Mereka berlarian masuk rumah untuk mencari sesuatu yang bisa di makan.

"Nek ada nasi tidak," tanya salah satu mereka.

Nenek menjawabnya, "tidak ada , tidak ada orang yang masak tadi," katanya dengan menaruh tangan di pinggangnya.

"Ah, perutku lapar," mereka bergantian bicara.

"Sana cuci beras dulu," kata Nenek.

Mereka berjalan pelan menuju dapur untuk memasak nasi dan mereka serempak berteriak, "Nenek, ini nasi dan lauknya sudah ada."

Nenek menghampiri mereka dengan berkata, "mbak kalian lagi sakit kalian malah tidak membantu cuci baju dan bersih-bersih rumah, kalian ke mana saja?" tanya nenek.

"Main ke rumah teman tadi, kami tidak tahu kalau mbak sedang sakit," katanya serempak.

Malam harinya tubuhku belum juga pulih seperti biasanya alamat besok tidak bisa masuk sekolah, malam ini aku berusaha tidur lebih awal.

Keesokan harinya suara burung berkicau dan matahari pagi memulai masuk di cela dinding dan jendela kamar, aku menggosok mata agar lebih terjaga. Mencoba mengukur tubuh dengan tangan meraba belakang telinga dan dahi masih sedikit terasa panas ku mengambil handuk dan bergegas mandi.

Aku mengambil hand phone yang ada di atas meja lalu ku hidup kan dan segera menulis pesan untuk Rista agar membantu untuk membatu minta izin pada wali kelas. Pelan dan pasti ku menulis pesan singkat untuknya, "Aku hari ini tidak enak bandan tolong izinkan pada wali kelas!"

"Iya," pesan singkat itu di balasnya.

Hari ini terlewati begitu cepat waktu menunjukkan pukul enam sore terdengar suara telepon ku cari-cari di mana letak hand phone itu tadi ku taruh. Sebuah suara lembut di seberang sana, "halo, Assalamualikum," ia menyapa.

"Walaikumsalam," jawabku. Aku meneruskan bicaraku, "kamu sudah sampai belum?" tanyaku.

"Sudah sampai dari tadi siang, bagaimana dengan keadaanmu sekarang?" tanya, terdengar dari suaranya penuh emosi mirip dengan kepanikan menyebar di lubuk hatinya dan meluas tanpa batas.

"Sudah sedikit membaik," kataku menenangkan.

"Besok aku mau jemput kamu," ia membuat janji.

Tidak seperti kemarin malam, malam ini tubuh sudah terasa ini ofmembaik udara terasa panas membuat tidurku tidak begitu nyenyak walaupun menghidupkan kipas angin tapi seperti tidak ada gunanya.

Keesokan harinya sinar matahari mulai merangkak naik dan udara yang bertiup meniup helai rambut aku mengayuh sepedaku ke tempat biasanya. Sebuah sepeda motor berhenti di depanku dan mematikan mesin motor di tangan kanannya dengan sebatang rokok di antara ujung jarinya. Wajah tampan dan mata yang bersinar itu bertemu dengan mataku.

Aku tertegun selama beberapa detik tanpa sadar dengan sontak ku berkata, "Ngapain kamu ada di sini?" Tanyaku dengan wajah bingung.

"Ayo cepat naik, bentar lagi masuk kelas!" perintahnya.

Ia tanpa menjawab pertanyaanku lalu memberikan helm yang di bawanya lalu menghidupkan motornya lalu berjalan pelan melewati satu persatu kendaraan itu. Ia memegang tanganku untuk memastikan apa aku benar-benar sudah sembuh belum sambil berkata, "masih sedikit hangat badanmu, kenapa tidak istirahat sehari lagi?" tanyanya dengan suara sedikit keras.

"Kemarin sudah tidak masuk jadi hari ini harus masuk," kataku.

"Ya sudah nanti di sekolah jangan banyak gerak," katanya. Ia berbicara lagi, "nanti pulang sekolah tak jemput," katanya dengan tenang.

"Iya," kataku dengan singkat.

Dua puluh lima menit perjalanan akhirnya sampai di sekolah aku pun berpamitan untuk masuk kelas.

"Eh, kamu tadi sudah makan belum?" tanya sedikit berteriak.

Dengan suara lantang aku pun berkata, "sudah tadi." aku melambaikan tangan dan berbalik tapi suara itu memanggilku kembali.

"Uang sakumu cukup tidak ini aku tambah-in?" tanyanya lagi.

"Sudah cukup," kataku.

Ia melambaikan tangan dan menghidupkan motor itu pun lalu berlenggang memudar di kejauhan. Suara panggilan dari belakang membuyarkan lamunanku, "Santi," panggil Rasti.

"Ada apa? Mengagetkan ku saja," tanyaku dengan ekspresi tidak seperti biasanya.

Aku pun berjalan pelan menghampirinya lalu menaruh tas di tempat duduk. Aku bertanya padanya, "kemarin ada PR tidak?"

"Tidak ada, tadi ngelamunin siapa ayo?" tanya dengan sedikit meledek.

"Tidak siapa-siapa jawabku," jawabku berkilah.

Bel kelas berbunyi yang menandakan jam pertama pelajaran di mulai. Mata pelajaran yang membuat bingung semua orang tidak ada uangnya tapi tetap saja menghitungnya.

Jam-jam pelajaran berikutnya akhirnya selesai juga hari ini, Rista bertanya padaku, "ada yang jemput tidak? Kalau tidak ada, tapi tetap tidak bonceng aku saja kan searah," katanya, sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya.

"Tidak usah aku sudah di jemput dia," kataku sambil melangkah pergi.

Satu per satu lorong kelas ku lalui masih banyak siswa yang lalu lalang Rista melambaikan tangannya dan melangkah pergi membawa sepedanya. Pelan pasti ku melangkah ke gerbang sekolah dengan mata mencari-cari orang itu dan terlihat ia melambaikan tangannya.

Aku membuka percakapan itu di tengah suara bingar dari lalu lalang kendaraan dan siswa sekolah itu, "sudah lama menunggu?" tanyaku sambil mengambil helm di jok belakang.

"Baru habis sebatang rokok," katanya menjelaskan. Lagi-lagi ia memegang tanganku untuk memastikan bahwa tubuhku sudah membaikkan atau belum dan ia pun berkata, "tubuhmu masih sama kayak tadi pagi."

Aku mencoba untuk berkilah, "masa sih, kayaknya sudah tidak panas," jawabku lagi.

"Ayo cepat naik!" perintahnya. Ia berkata lagi, "entar mampir makan di tempat biasa," ia mendengar suara perutku yang berbunyi.

Tidak berapa lama kita sampai di warung langganan sebuah warung sate berhenti tempat di depan warung, mesin motor dimatikan aku pun turun dan berjalan perlahan menuju dalam warung ia dari belakang menghampiriku.

Seorang wanita empat puluh tahun itu keluar dari dapur lalu ia menyapa dengan lembut, "mau makan apa?" Tanya dengan ramah. Dan berkata lagi, "apa mau makan seperti biasanya?"

"Iya," jawab Panji dengan singkat.

Lalu si wanita itu masuk untuk mempersiapkan pesanan tidak butuh lama membawa dua porsi sate, dua porsi nasi dan dua gelas teh hangat. Sambil tersenyum ia berkata, "ada yang mau di pesan lagi?" tanyanya lagi.

"Tongseng kikil satu porsi," Panji mengatakan.

"Kok pesan lagi," tanyaku.

Ia menjawab, "kamu butuh energi sekarang." jawabnya.

Panji berkata lagi pada si empunya warung, "dua porsi sate tidak usah pakai nasi di bungkus."

Wanita itu pun menjawab, "iya."

Tidak butuh waktu lama pesanan yang ada di meja sudah habis tidak tersisa.

Ia pun bertanya, "sudah kenyang?"

"Sudah," jawabku.

"Ya sudah, kita pulang!" ia berkata sambil mengeluarkan uang seratus ribu dari dompetnya. Sambil mengulurkan tangan memberikan bungkusan sate yang di pesan itu ia berkata lagi, "ini nanti kasihkan pada adik-adikmu!"

Aku pun menerima bungkusan itu lalu berkata, "kok, dikasihkan ke aku?"

"Aku pesan ini karena mau kasihkan ke adikmu," jawabnya.

Ia lalu menghidupkan motornya aku dengan pelan naik di jok belakang sambil tanganku berpegang di pinggangnya. Dengan pelan dan pasti motor itu melaju di atas aspal hitam dan lalu lalang kendaraan itu, tidak butuh waktu lama sampai juga di depan rumah. Adik-adikku sudah menyambutku di depan pintu dan tangan di atas pinggang menatapku dengan tajam.

Panji pun bertanya pada mereka, "Nenek ada di mana?"

Salah satu dari mereka pun menjawab," di rumah Nenek Mirah."

"Panggil Nenek suruh pulang ada yang mau aku bicarakan!" perintahnya.

"Iya," jawaban singkat dari salah satu mereka.

Aku pun bertanya-tanya apa yang mau di bicarakannya, "kamu mau membicarakan apa?" Tanyaku.

"Nanti juga kamu tahu!" katanya.

Tidak butuh waktu lama dari arah seberang Nenek berjalan pelan menuju rumah dan aku pun masuk untuk berganti pakaian. Setelah berganti pakaian aku pun ikut menghampiri mereka di teras terlihat serius bicaranya.

"Nenek, keluargaku bertanya kapan bisa datang kesini untuk membicarakan soal pernikahan?" tanyanya.

Nenek dan aku terbengong sesaat secepat itu sudah membicarakan pernikahan, Nenek berkata, "Santi masih sekolah," beliau menegaskan.

"Orang rumah sudah menanyakan, kalau menunggu dia selesai sekolah terlalu lama," ia berkata.

"Ya sudah nanti kita bicarakan dulu sama orang tuanya," Nenek menjawab.

"Iya, Nek," jawabnya. Ia berkata lagi, "begini saja aku sendiri yang ngomong pada beliau," tambahnya.

"Iya begitu saja," Nenek menjawab lagi. Nenek berkata lagi, "Santi, kasih nomor telepon ayahmu padanya."

"Iya, Nek." Jawabku.

Aku memberikan nomor telepon itu padanya dan berkata, " Ngomong baik-baik," kataku mengingatkan.

"Iya," jawabnya.

Ia pun berpamitan untuk pulang.

Matahari sore masih bersinar menembus cela-cela dedaunan angin berhembus pelan membawa aroma yang khas. Ku mengambil handuk dan bergegas menuju kamar mandi untuk mandi. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam setelah selesai dengan pekerjaan Nenek menyuruhku mencoba untuk menelepon ayahku.

Sambungan telepon itu akhirnya tersambung setelah beberapa kali mencoba hand phone itu kuserahkan pada Nenek setelah berbicara cukup lama telepon itu dikasihkan padaku. Ayah bertanya padaku dengan sungguh- sungguh, "bagaimana kamu?" tanyanya.

"Tidak tahu," jawabku dengan suara gemetar.

"Disuruh sekolah baik-baik malah aneh-aneh sampai tidak pulang," dengan suara lantang ia bicara aku tahu sekarang pasti sedang marah. "Panji besok datang ke rumah membicarakan pernikahanmu," ia menambahkan.

Setelah itu ia mematikan teleponnya dengan cepat tanpa mengatakan sepatah kata. Saat ayah bertanya soal pernikahan entah kenapa otakku menjadi kacau sebuah tindakan yang gegabah membuat orang tuaku menjadi murka. Maklum karena aku baru kelas satu mau kenaikan kelas dua. Keputusan yang kuambil ini akan menuntunku ke arah mana aku pun belum tahu.

Keesokan harinya Nenek sedikit sibuk untuk mempersiapkan semuanya, hari ini waktu juga begitu cepat berlalu waktu di mana keluarganya datang untuk mencari hari baik. Beberapa suara deru motor itu memasuki area halaman rumah, terlihat beberapa laki-laki dan beberapa wanita paruh baya. Nenek mempersilahkan mereka masuk, setelah beberapa waktu mengobrol Nenek dan Calon Mertua undur diri untuk pergi ke seorang yang bisa mencari hari baik. Tidak butuh waktu lama Nenek dan Calon Mertua samar-samar terlihat berjalan menuju rumah.

Semua orang menunggu dengan sabar menunggu hasilnya, mereka memasuki teras rumah beberapa sudah tidak sabar langsung bertanya, "kapan dapatnya?" tanya seseorang yang ada paling belakang.

Calon Mertua pun berkata, "tanggal lima belas bulan tujuh," terlihat senyum mengembang di wajahnya.

Aku duduk di sebelah Nenek Mirah, beliau berbisik padaku, "Kalungmu kok tidak kamu pakai?" tanyanya.

"Lupa," kataku.

"Cepetan diambil langsung dipakai!" perintahnya.

"Iya," jawabku dengan singkat.

Terdengar sebuah bunyi panggilan telepon dari kamar aku berjalan pelan dan membungkuk melewati orang-orang tersebut, aku melihat sebentar terlihat di layar nomor itu aku kenal dan tertulis nama Ayah, dengan pelan mengangkat panggilan telepon itu, "Assalamualaikum," jawabku.

"Walaikumsalam, bagaimana sudah dapat harinya," jawabnya.

"Sudah, tanggal 15 bulan tujuh" jawabku. Aku berkata lagi, "apakah ayah ingin ngomong sama mereka?" Tanyaku.

"Ya sudah tak bicara sebentar," jawabnya.

Telepon itu pun ku serahkan pada Nenek dan aku kembali duduk di dekat Nenek Mirah dan berusaha untuk memakai kalung itu. Setelah beberapa menit bicara Nenek menyerahkan telepon itu pada Calon Mertua. Ayah dan Calon Mertua bicara di telepon tidak terasa mereka waktu menujukan pukul sembilan malam akhirnya pembicaraan itu berakhir. Mereka berpamitan untuk pulang satu per satu meninggalkan ruang tamu menuju motor masing-masing. Motor itu satu per satu meninggalkan halaman rumah dan cuma terdengar deru suara motor dari kejauhan menembus pekatnya malam.