Chereads / INI KISAHKU (Santi , Panji) / Chapter 4 - Pertunangan

Chapter 4 - Pertunangan

Setelah ia menyatakan cintanya padaku hubungan kita semakin akrab, perhatian-perhatian kecil yang dia berikan padaku semakin membuat nyaman. Memang hubungan ini belum saatnya dan terlalu cepat mau bagaimana lagi anak manusia di pertemukan satu sama lain tidak bisa menolak getarannya. Masa mudah yang indah, cinta pertama yang sederhana dan murni. Terlalu banyak kerinduan dan harapan yang indah terbentang dan terpampang di depan mata.

Aroma cinta pertama adalah persahabatan yang hangat. Cinta adalah misteri, ia hanya hidup di lubuk hati manusia yang paling dalam.

Waktu yang salah bertemu dengan orang tepat inilah yang aku alami sekarang. Setelah pernyataan cinta itu yang membuatku tidak percaya yang di dengar oleh telingaku. Sebuah kata yang membuat otak ini kacau tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Rasa itu belum pernah aku rasakan sebelumnya rasa di mana hati menjadi tidak karuan. Sebuah dering telepon yang sama membangunkan tidur siangku masih dengan suara lagu yang sama.

'Tidak akan sirna bayang tentang dirimu mengharap kau kembali ke dalam pelukan.'

Ia berkata ,"Assalamualaikum, bagaimana kabarnya dek?"

"Waalaikum'salam, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?" aku berusaha tenang menjawabnya.

"Aku juga baik-baik saja, lagi apa?" tanyanya lagi.

"Lagi tidur siang, kamu lagi apa?" tanyaku balik.

"Aku lagi mengobrol sama teman, maaf ya kalau ganggu," terdengar cara bicaranya sedikit merasa bersalah.

"Tidak apa-apa!" Kataku menegaskan.

Ia benar-benar bisa merangkai kata seperti lidahnya sudah mahir dalam merayu. Seperti kebanyakan orang yang bertemu wanita cantik di hadapannya suka ngomong palsu, suka membual. Suara itu membangunkan lamunanku lagi.

"Apakah masih ada orang di sana?" tanyanya.

"Masih," kataku.

"Ya, sudah kalau sedang sibuk terusin saja!" Ia menambahkan.

Waktu menunjukkan pukul satu siang hari masih dengan tugas yang sama. Matahari hari ini benar-benar menyengat kulit sebelum menyelesaikan tugas perut ini terdengar bernyanyi meminta untuk diisi maklum tadi sebelum pergi belum makan siang.

Akhirnya pekerjaan pun selesai waktu menunjukkan pukul tiga sore setelah menahan lapar beberapa jam akhirnya bisa menyantap masakan nenek juga. Jarak rumah Nenek dan rumahku sekitar lima belas menit perjalanan cuma beda desa.

Sesampai rumah aku bertanya pada Nenek, "masak apa nek hari ini," tanyaku.

Nenek menjawab, "masak ikan asap santan," jawabnya sambil menunjuk di dalam kerudung saji itu.

Sambil membuka kerudung saji aku berkata, "wah, masakan kesukaanku ini," tak perlu waktu lama aku mengambil piring lalu nasi dan lauknya lalu berkata, "hem, enaknya."

Nenek berkata lagi, "kalau enak ya cepat makan."

"Nek, mereka berdua ke mana kok tidak kelihatan?" kataku.

"Mereka lagi main di rumah temannya," kata nenek.

Dua bersaudara ada satu adik perempuan sama sepertiku dia juga tinggal bersama Nenek. Dengannya cuma beda tujuh tahun setelah lahir adik ini aku merasa kasih sayang orang tuaku sudah berubah tidak sama seperti dulu.

Aku merasa mereka pilih kasih entah itu cuma perasaanku saja ataukah aku yang terlalu sensitif juga tidak tahu. Mungkin dari trauma bully an itu membuatku semakin membuat rasa dalam hati merasa tidak diperlakukan dengan adil. Suara panggilan membangunkan lamunanku ternyata suara Nenek yang meminta bantuan.

"Ada apa Nek," tanyaku

"Bantu menurunkan karung ini!" Perintahnya.

"Apa ini Nek?" Tanyaku lagi.

"Padi," jawabnya dengan singkat.

Malam ini aku masih di depan pekerjaan rumah yang menumpuk benar-benar tidak ada waktu main-main. Akuntansi membuat kepalaku mulai memanas entah siapa yang bisa membantuku. Hitungan-hitungan angka yang tanpa wujud itu terbang melayang-layang di otak.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam akhirnya semua tugas selesai juga dan waktunya untuk tarik selimut. Suara nada dering telepon membangunkan tit...tit...tit...

'Malam' kata yang tertera di layar hand phone.

Kubaca tanpa ku balas pesan itu, mata sudah tidak kuat menahan kantuk. Esok harinya masih dengan rutinitas yang sama mandi lalu Shalat setelah mempersiapkan makan untuk mereka lalu aku sendiri mempersiapkan diri untuk pergi sekolah.

Aku di sekolah ini sudah berjalan hampir tiga bulan sudah bisa membaurkan diri di tempat yang baru. Sebuah suara terdengar memanggilku, "Santi" suara itu dari arah belakang kantin dan terlihat seorang perempuan yang tubuhnya tidak terlalu tinggi ia adalah temanku pertama di sekolah ini. Ia bernama Rasti satu kelas denganku dan satu bangku denganku. Dia orangnya kecil mungil tapi sangat Friendly .

Aku pun menghampirinya lalu berkata, "ada apa ya?" Tanyaku dengan sedikit bertanya-tanya.

"Tugasmu sudah kelar belum?" Tanyanya.

"Sudah, kamu bagaimana?" Aku bertanya balik.

"Ada yang belum!" ia menegaskan. "Kasih tahu aku dong!" Tambahnya lagi.

"Entar dulu aku mau beli air minum dulu," kataku memastikan.

Ia lalu berkata, "ok, aku tunggu di kelas," ia sambil berjalan menjauh.

Kembalinya aku dari kantin ia sudah menungguku di depan pintu kelas sambil berkata, "cepetan dong," tangannya sambil menarik tanganku.

Aku berkata sambil berlari kecil, "iya.. Iya.. Sabar dikit kenapa!" suaraku sedikit kurang terdengar. Aku meneruskan bicaraku, "nih, tapi kalau salah jangan marah ya!" sambil mengambil buku di dalam tas.

Ia langsung bergegas menyalin tugasnya karena waktu istirahat hampir habis. Suara dering nada dering telepon berbunyi tit..tit..tit.. ku lihat tertera nomor yang sama.

"Assalamualaikum," isi pesan itu

"Waalaikum'salam," ku balas isi pesannya.

"Kok, SMS tadi malam tidak di balas?" Tanyanya

"Tadi malam tidak punya pulsa," jawabku.

"Sekarang sudah punya pulsa? Tanyanya untuk memastikan.

"Ini juga sudah mau terakhir SMS," kataku

"Ya sudah, entar tak isi-in pulsanya tapi aku SMS atau telepon harus di balas dan di angkat ya!" Dari kata-katanya sedikit memerintahkan.

"Tidak usah," dalam hati bersyukur tapi mulut pura-pura menolak tapi sebenarnya mau.

"Tidak apa-apa," ia menegaskan.

Aku pun berkata, "Ok, kalau begitu terima kasih banyak!" sebuah stiker senyum ku berikan padanya. Aku berkata lagi, "ya sudah , aku mau masuk sekolah dulu entar dilanjut lagi."

"Eh, ini bukunya, SMS-an sama siapa nih," ledeknya.

"Sama teman," jawabku dengan suara lirih.

"Eh, tu muka kok merah merona," ledeknya lagi.

"Masa, tidak mungkin ah!" kataku ngeles." aku menambahkan lagi, "itu bel sudah berbunyi, cepetan masuk jangan ngomong terus!"

Akhirnya obrolan itu pun berakhir dan beralih ke pelajaran yang membuat kepala pening. Pak guru di depan menjelaskan laba untung dan lain-lain. Terlihat semua murid mendengarkan dengan saksama tanpa ada yang berani mengeluarkan suaranya. Pelajaran terakhir akhirnya berakhir yang di tandai bel berbunyi.

Semua anak dengan cepat berlarian keluar agar mendapatkan bis jurusan rumah masing-masing Rasti juga terlihat menuju tempat parkir sepedanya. Aku pun keluar dari pintu gerbang menunggu bus sebuah suara terdengar samar-samar memanggilku. "Santi," ku cari arah panggilan itu.

Terlihat samar-samar dari jauh seorang pria yang ku kenal memanggil. Aku perlahan mendekat ke arahnya.

Aku pun bertanya padanya, "ngapain kamu kesini?"

"Jemput kamu!" sambil menegaskan suaranya.

"Kok kamu tahu aku tidak bawa motor," tanyaku

"Tahu lah," ia berkata lalu tersenyum.

"Kayak dukun saja kamu," aku menimpali kata-katanya.

"Aku memang dukun," candanya.

Sesaat kemudian kita pun tertawa serempak ia sambil menghidupkan motornya. Setelah motor hidup aku membonceng di jok belakang, dengan sedikit malu-malu aku memegang pinggangnya. Di sepanjang perjalanan menuju rumah kita ngobrol ke sana-kemari. Mungkin ini yang disebut kencan pertama, karena baru pertama kali kita saling boncengan motor, makan bareng dan ngobrol bareng tanpa ada rasa canggung, sebuah pertanyaan terlontar dari mulutnya, "kamu sudah makan belum?"

"Belum, "jawabku.

Tiba-tiba ia membelokkan motornya di sebuah warung makan. Dari spanduknya warung makan tersebut menjual olahan masakan kambing dari sate, gule dan berbagai masakan lain.

Di warung itu kita memesan makanan yang sama sate dua porsi , nasi dan tidak lupa dengan es tehnya. Tusuk per tusuk daging sate masuk dalam mulutku segelas es teh membasahi tenggorokanku dalam sekejap yang ada di hadapanku sudah tidak tersisa.

Suara sendawaku itu membuat seisi warung menoleh serempak dengan sigap menutup mulutku. Ia pun berkata, "sudah kenyang belum, kalau belum bisa pesan seporsi sate lagi." Ia mengatakan itu sambil melihat ke arahku.

"Sudah cukup, " jawabku

Waktu menunjukkan pukul dua sore aku pun berkata padanya, "aku harus pulang, sudah sore, " kataku sambil melihat jam di tangan.

Dia menjawab, "waktu kok cepat banget sudah sore," sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan menunggu uang kembaliannya.

Aku pun bergegas berdiri keluar warung itu ia pun mengikuti ku dari belakang sebenarnya warung ini sama rumahku sendiri paling tidak sampai dua puluh menit. Beberapa menit kemudian akhirnya kita sampai rumah juga. Sesampainya rumah telah di sambut oleh adik perempuanku, ia pun berkata, "dari mana saja jam begini pulang," katanya sambil tangannya atas pinggang. Maklum dia satpamnya orang tua untuk mengawasiku.

Aku pun menjawab pertanyanya, "dari makan tadi, " jawabku.

"Kok, aku tidak di ajak! " ia berkata sambil mengerutkan wajahnya.

"Mau mengajak bagaimana orang tadi aku dijemput langsung mampir," kataku menjelaskan.

Panji pun ikut menjelaskan, "iya, tadi cuma mampir makan dulu," ia menambahkan lagi, " besok-besok aku ajak makan."

Keadaan tiba-tiba mendadak hening terasa di muka ini panas dan merah merona karena malu, ia lalu berpamitan untuk pulang. Ia pun berkata, "aku pulang dulu ya," dengan nada pelan.

"Iya, hati-hati di jalan," jawabku dengan lirih.

"He'em...." jawabnya dengan singkat lalu berjalan menghampiri motornya dan menghidupkannya setelah hidup ia melambaikan tangannya.

Aku pun membalas lambaian tangannya sambil tersenyum melepas kepergiannya. Lalu ku masuk rumah ganti pakaian dengan mulut tak berhenti mengomel.

Setelah beberapa hari dari kejadian itu mencoba menghubungi lagi untuk meminta maaf. Kutulis sebuah pesan singkat untuknya, 'masih marahkah,' ku memberanikan menekan tombol kirim. Beberapa saat masih belum ada jawaban darinya.

Setelah jam istirahat sebuah dering SMS terdengar dari saku, kubuka SMS itu tertulis, 'tidak marah kok, lagi sibuk beberapa hari ini.'

'Tak kira kamu marah,' balasan SMS ku.

Bel sekolah pun berbunyi menandakan pelajaran masuk. Hari ini tidak begitu membuat kepala pusing. Ibu guru menjelaskan dari a sampai b dari hal kecil sampai dengan hal yang paling sulit. Tidak terasa bel pulang sekolah berbunyi anak-anak berhamburan keluar dari kelas masing-masing.

Aku pelan-pelan berjalan keluar menuju gerbang sekolah untuk menunggu bus. Bus yang di tunggu akhirnya datang juga hari ini tidak seperti biasanya tidak banyak siswa di dalamnya. Tempat duduk pun banyak yang kosong, lima belas menit perjalanan akhirnya sampai juga di terminal pemberhentian bus lalu berganti bus yang lain.

Suara telepon berbunyi mengagetkanku masih dengan lagu ada band. ' teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja indahnya saat itu buatku melambung.'

"Halo, maaf ya lama tidak ada kabar. Tidak marah kan!" ia berkata dengan lirih.

"Tidak kok," aku menegaskan.

"Sudah pulang kah?" Tanyanya.

"Sudah dalam perjalanan pulang," aku menambahkan.

"Aku hari ini mau main ke rumah, boleh?" tanyanya.

"Boleh, " kataku menegaskan.

"Ok, ya sudah entar ketemu, bye. " Dia mematikan teleponnya.

Semenjak kita pacaran belum pernah kencan di luar setiap mau keluar ada satpam yang mengikuti ke mana aku pergi. Kita sebagian besar menghabiskan waktu ngobrol di rumah. Hubungan ku dengannya tidak terasa sudah tiga bulan selama kita pacaran sifat dia sangat lembut dan sangat mengayomiku itu yang membuat ku nyaman.

Setelah beberapa lama aku akhirnya sampai di penitipan sepeda, ku ambil sepeda yang kutitipkan ku ayun pelan-pelan sepeda itu sambil menikmati udara segar setelah sibuk dengan setumpuk rutinitas seharian.

Tidak butuh waktu lama sampailah rumah bergegas berganti baju lalu makan. Hari ini rumah sedikit lengang tanpa suara, sebuah suara motor terdengar dari luar suara motor yang ku kenal.

Terlihat dia mematikan motornya lalu berjalan mendekat sebuah suara terdengar menyapa, "Assalamualaikum."

Aku menjawab salam darinya, "Waalaikum'salam."

"Rumah hari ini kok sepi? " Tanyanya dengan serius.

"Iya, entah pada ke mana aku juga tidak tahu, " aku menjelaskan.

Terdengar suara panggilan dari luar ku liat adikku pulang entah dari mana. "Kak, mau pergi ke mana kok tidak mengajak aku, " ia berkata sambil melotot matanya.

"Tidak ke mana-mana di rumah saja, " kataku.

Panji berkata, "kita tidak ke mana-mana," jawabnya menegaskan

Aku berkata sekali lagi sama adikku, "kamu hari ini ada PR tidak, kalau ada sudah kamu selesaikan belum."

"Hari ini tidak ada PR, " jawabnya.

"Ya, sudah sana main! " aku memerintahnya.

"Gak mau, " ia berkata dengan suara keras.

Panji pun berkata padanya, "ya sudah, tidak mau ya di rumah saja, " menengahi antara aku dan adikku.

Beberapa hari kemudian dengan rutinitas yang sama saat pulang sekolah ia sudah ada di depan sekolah tanpa memberitahuku jika mau menjemputku. Ia berkata, " hari ini aku mau mengenalkanmu dengan orang tuaku." Dia meneruskan kata-katanya, "jadi hari ini kujemput kamu nanti langsung ke rumahku." sambil memberikan helm padaku.

Aku pun berkata dengan sedikit kaget, "Apa! Aku belum ada persiapan sama sekali. "

"Tidak apa-apa, kita sudah lama berhubungan tapi keluargaku belum tahu kamu, " ia meyakinkan.

"Ya sudah, begini saja entar mampir beli buah, di bawa ke rumahmu tapi aku tidak ada uang entar uangnya tak kembalikan saat kamu antar aku pulang, " kataku.

"Oke! " katanya dengan singkat.

Sekolah sampai rumah membutuhkan waktu satu jam perjalanan, akhirnya sampai juga tidak terasa bokong ini agak sedikit panas. Saat tiba rumahnya banyak mata yang melihatku banyak yang bicara tapi kurang terdengar jelas di telingaku. Sebagian berkata ini pacarmu, pacarmu ternyata cantik, dan banyak lagi suara suara yang bertebaran di telinga.

Terlihat seorang wanita yang sudah renta mendekatiku lalu berkata, "Ini siapa? " ia bertanya pada Panji.

Panji pun menjawab, "ini pacarku, Ma!" ia menegaskan.

"Pacarmu, kapan pacarnya. Kok baru di perkenalkan sekarang, " katanya.

"Baru tiga bulan, " ia menegaskan lagi.

Ibunya berkata lagi, "Namamu siapa?" Tanyanya padaku.

"Namaku Santi, " jawabku.

"Masuk... Masuk..., " dengan menggandeng tanganku mempersilakan masuk. Ia melanjutkan bicaranya, "panggil ayahmu, ayahmu lagi di sawah, " katanya.

"Iya, " kata Panji.

Tidak beberapa waktu si Ayahnya pulang dari sawah menyalamiku dengan tangan yang penuh dengan lumpur sambil berkata, "ini siapa?" tanyanya.

Suara dari belakang mengatakan, "calon menantumu."

Waktu menunjukkan pukul lima sore aku berbisik pada Panji, "sudah jam lima antar aku pulang, orang rumah sudah pada panik, " kataku.

"Malam ini tidak pulang, " katanya.

"Waduh, ayo cepetan pulang entar orang rumah marah, " kataku lagi.

Tapi dia tidak menghiraukan ucapanku mau tidak mau harus menginap malam ini. Ia anak terakhir dari tiga empat bersaudara, semuanya laki-laki dari empat bersaudara tiga yang sudah menikah. Malam ini mau tidak mau aku tidur sekamar dengannya karena sudah tidak ada yang tersisa. Senakal-nakalnya aku masih bisa menjaga kehormatan wanita mungkin namaku sudah sudah jelek karena malam ini aku tidak pulang.

Setelah beberapa hari ia mengatakan mau datang ke rumah entah apa yang akan dibicarakan aku pun tidak tahu. Hari yang ditetapkan pun akhirnya datang terdengar suara motor memasuki lorong rumah samar-samar terlihat tubuhnya.

"Assalamualaikum," ia memberi salam.

"Waalaikum'salam, " jawabku.

"kemarin kamu di marahi tidak sama nenekmu, " tanyanya.

"Pasti di marahi lah, orang semalaman tidak pulang," kataku dengan nada sedikit tinggi.

"Nenekmu ada tidak?" Tanyanya lagi.

"Ada di belakang, " kataku singkat.

"Panggil dong, aku mau ngomong sesuatu pada Nenek!" katanya sedikit memerintah.

Aku berjalan menuju dapur mencari Nenekku, ternyata nenek tidak dapur lalu mencoba mencari di rumah nenek Mira dan aku berbisik padanya kalau Panji mau ngomong sesuatu sama beliau. Aku dan Nenek berjalan menuju rumah sambil ngobrol, dan beliau berkata, "apa yang mau dibicarakannya?" tanyanya.

"Aku juga tidak tahu," kataku.

Kita memasuki rumah bersamaan setelah Nenek duduk, Nenek berkata, "Tadi kata Santi ada yang mau dibicarakan," tanyanya.

"Begini Nek, aku suka sama Santi. Kemarin aku dan orang rumah sepakat mau melamarnya. Apa nenek membolehkan bahwa ia ku lamar?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.

"Kalau soal itu harus dibicarakan sama orang tua Santi," kata Nenek menegaskan. Nenek berkata lagi kasih waktu beberapa hari biar kita membicarakannya."

"Iya Nek," jawabnya dengan singkat.

Setelah itu ia berpamitan untuk pulang, "aku pulang dulu ya!"

"Iya," jawabku.

Sepulangnya Panji, Nenek berkata padaku, "coba kamu telepon ayahmu."

"Iya Nek," jawabku.

Setelah mencoba beberapa kali menelefon ayahku akhirnya suara dari seberang terdengar menjawab, "halo," jawabnya.

"Halo," aku menjawab dengan sedikit ada rasa takut.

Setelah ayahku memarahiku habis-habisan aku mengutarakan apa yang tadi di maksud. Ayah pun berkata lagi, "apa kamu benar-benar suka dia?" tanyanya.

"Iya, aku suka dia." Kataku.

Terdengar suara nafas ayah, lalu ia berkata, "ya sudah kalau kamu sudah mantap menjalin hubungan dengannya. Suruh dia untuk cari hari dan tanggal yang baik." Katanya padaku.

"Iya, Pak." Jawabku.

Setelah obrolan aku dan ayahku tadi aku mencoba menghubunginya. Setelah beberapa kali mencoba meneleponnya tapi tidak di angkat , mencoba sekali lagi suara yang ku kenal akhirnya terdengar sebuah dari seberang. "Halo," Jawaban singkat darinya.

"Ayahku setuju, " kataku. Aku mencoba berkata lagi sebelum dia menyela pembicaraan ku, "suruh dia untuk mencari hari dan tanggal yang baik," aku menirukan cara bicara ayahku.

"Iya," katanya dengan singkat lalu berpamitan untuk membantu ayahnya di sawah,

Setelah beberapa hari ia mengutarakan niatnya itu Panji meneleponku kembali memberitahukan kalau orang tuanya sudah dapat hari yang baik ia berkata, "Bulan ini tanggal delapan belas, kamu siap-siap!" katanya.

"Ok," kataku.

Nenek lewat di depan rumah ku memanggilnya, "nek, bulan ini tanggal delapan belas dia mau melamar, katanya suruh siap-siap, " kataku.

Nenek berkata, "kira-kira bawa berapa orang?" tanyanya.

"coba tanya dulu," kataku.

Setelah aku memberitahu nenek aku kirim SMS ke dia, 'kamu bawa orang berapa?" tanyaku.

"Tidak banyak," katanya.

"Tidak banyak itu berapa?" tanyaku.

"Aku juga tidak tahu," tambahnya.

"Ya sudah, aku tak memberitahu Nenek dulu," kataku lagi. Setelah menutup telepon aku memberitahu Nenek.

Beberapa hari kemudian pada hari yang ditentukan keluargaku kecuali orang tuaku sudah mempersiapkan segalanya waktu menunjukkan pukul tujuh malam, terdengar deruan suara motor yang begitu banyak. Motor-motor itu memasuki lorong rumah terlihat lima belas motor dan tiga mobil dalam hatiku mengatakan ini satu RT di bawa semua apa ya. Nenekku berbisik lalu berkata, "katanya tidak banyak kok satu RT di bawa semua," sambil menggelengkan kepalanya.

Aku berbisik lalu berkata, "aku juga tidak tahu, Nek," jawabku.

Dari dalam rumah ada suara lagi 'ini nanti cukup tidak' , tetangga yang membantu pada bengong semua baru pertama kali lihat orang lamaran sebanyak ini. Nenek mempersilahkan masuk dan di ikuti oleh ketua rombongan sebuah kalung emas kira-kira seberat 3 gram dan seperangkat alat Shalat, alat Makeup, alat mandi, dan makanan.

Setelah beberapa waktu mereka akhirnya berpamitan untuk pulang, beberapa orang yang membantu pun juga ikut pulang giliran aku sibuk untuk membagi-bagikan isi makanan tadi untuk tetangga sekitar ini sebuah tradisi yang turun temurun di desaku.