Setelah mereka pulang Nenek Mirah bertanya padaku, "itu tadi salah satunya pacarmu."
"Bukan!" Kataku. Aku berkata lagi , "Cuma sekedar teman."
"Nenekmu tadi ke mana tidak kelihatan?" tanyanya.
"Tadi katanya ke rumah mamanya Andra!" Kataku, mamanya Andra adalah adik ibuku yang nomor tiga.
Keesokan harinya pertama masuk sekolah rasa hati tidak karuan, ada rasa gugup, takut, dan rasa tidak percaya diri. Karena dari SD sampai SMP aku adalah korban Bullying dari hal yang kecil sampai hal yang besar seperti pemukulan. Jika aku laporkan ke Guru BP selalu berakhir tragis semakin aku laporkan semakin kelewatan mereka. Oleh karena itu, aku tidak berani untuk masuk sekolah tiap memberitahu orang tua ingin pindah sekolah mereka tidak percaya. Mungkin dari pengalaman itu membuatku tidak percaya diri lebih ke pemurung lebih suka menyendiri jauh dari keramaian.
Sekolah baru, teman baru, lingkungan baru semua serba baru saatnya pemikiran juga baru. Pertama kali masuk adalah pembagian kelas di mana murid di bagi beberapa kelompok aku masuk kelompok c. Hari pertama masih biasa belum ada yang istimewa.
Pukul dua siang sudah waktunya pulang suami tanteku sudah menunggu di depan sekolah maklum hari pertama masih belum kenal jalur untuk naik bus. Dia memanggilku dengan pelan, " Santi".
Aku berjalan menghampirinya sebenarnya aku sedikit ada rasa takut padanya. Karena dari tatapan matanya terlihat liar banyak suara burung beredar entah benar atau tidak aku sendiri kurang tahu. Setelah sampai aku duduk di belakangnya, ia lalu menghidupkan motornya.
Dalam perjalanan pulang dia membuka percakapan, ia pun bertanya, "kemarin ada orang yang datang ke rumah memang siapamu?" tanyanya
Aku berusaha membenarkan posisi dudukku lalu berkata, "itu temanku!" suaraku sedikit meredup.
Dia berkata kembali, 'kok, banyak banget yang datang dan umurnya sudah dewasa, kamu kenal di mana aku liat kamu setiap hari ada di rumah?" katanya sedikit ada rasa penasaran.
"Aku kenal lewat salah nomor," kataku menjelaskan.
"Oh, tak kira dari mana!" timpalnya dengan sedikit nada kaget.
Saat dalam obrolan itu terdengar panggilan nada telepon yang berdering masih seperti biasa lagu grup band kesukaan.
Tit... Tit... Tit...
'Halo, hari ini bagaimana kabarnya?' Isi SMS-nya.
Aku mengetik balasan SMS darinya, 'halo, hari ini aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?' Isi pesanku.
Dia mengirim balik lagi pesan barunya, "hari ini, bagaimana sekolahnya?'
Aku menulis lagi pesan singkat untuknya, 'biasa saja tidak ada yang istimewa.' Kataku .
Tidak terasa sudah sampai di rumah, aku meletakan tas dan berganti pakaian menuju dapur untuk mencari makanan. Ternyata perutku dari tadi sudah keroncongan butuh asupan. Ku cari-cari makanan di tempat biasa ternyata hari ini lauknya kesukaanku sayur rebung. Walaupun sederhana tapi sudah nikmat rasanya.
Setelah makan aku membuka pelajaran yang tadi pagi di berikan. Hari ini bukan mata pelajaran akuntansi melainkan pelajaran bahasa Indonesia, matematika, dan agama.
Suara telepon berdering kembali dengan suara yang sama.
'Tak akan pernah sirna, bayang tentang dirimu, mengharap kau kembali, ke dalam pelukan'.
"Assalamualaikum," dia mengatakan salam.
"Waalaikum'salam," balasku.
Ia berkata, "lagi ngapain, sudah makan belum?" tanya.
Aku pun berkata, "sudah tadi, bagaimana denganmu?" tanyaku.
"Sudah tadi!" tegasnya.
"Lagi sibuk tidak," tanyanya lagi.
"Baru selesai mengerjakan PR," kataku dengan santai.
"Baguslah!" Dari suaranya sedikit datar.
"Memang kenapa?" Tanyaku sedikit penasaran.
"Tidak apa-apa," mencoba untuk berkilah. Panji meneruskan bicara, "Takutnya ganggu nanti."
"Oh," aku berkata lagi.
"Aku kemarin liat kamu ternyata cantik juga!" kata rayuan akhirnya muncul juga.
"Gombal," kataku dengan sedikit ketawa.
"Beneran cantik loh!" Panji menekankan kata-katanya.
"Aku tidak termakan gombal rayuan Hi hi hi," suara ketawaku.
"Beneran aku tidak bohong!" Panji mencoba meyakinkan.
"Ok...Oke... Aku percaya!" ku mencoba mempercayai kata-katanya, "hari ini kamu kesambet angin apa? Kok tiba-tiba keluar gombalnya," tambahku.
"Kesambet angin kamu," terdengar tawanya dari seberang sana.
"Wuekkk...," aku pura-pura muntah mendengar gombalannya.
"Huuff... Masih tidak percaya juga," terdengar suaranya sedikit jengkel."
"Ya, sudah ya sudah aku percaya," aku meyakinkan. Aku berkata lagi, "maaf sudah sore aku mau bersih-bersih rumah dulu," tambahku.
Sore ini matahari masih di garis cakrawala yang bersinar terang walaupun waktu menunjukkan pukul lima sore. Masih dengan kegiatan yang sama bersih-bersih terus mandi aku duduk di teras rumah sambil ngobrol bareng keluarga. Terdengar deru motor dari arah jalan masuk terlihat Om baru pulang.
"Besok mau di antar lagi gak?" tanyanya lagi.
"Gak usah, aku mau mencoba naik bus saja," kataku menegaskan.
"Ya, sudah," setelah berkat Om berlalu berjalan ke dalam rumah.
Terdengar suara ayam berkokok menandakan sang fajar menyingsing. Seperti biasa sebelum melakukan pekerjaan rumah mandi dan Shalat dulu.
Hari ini hari kedua masuk sekolah, naiki sepeda buntutku menuju jalan raya. Rumah kakak angkat bapak di sana ku titipkan sepeda di tempat penitipan sepeda. Sambil menunggu bus datang aku ngobrol dengan orang itu. Waktu jarak antara jalan ini sama sekolahku membutuhkan tiga puluh menit, dua kali berganti bus.
Dan akhirnya bus yang di tunggu pun datang, dan ternyata udah banyak anak sekolah di dalamnya. Aku pun tak dapat tempat duduk dan akhirnya mau tidak mau harus berdiri. Sampai terminal harus cari bus jurusan sekolah butuh lima belas menit sampai juga di depan sekolah. Waktu masih menunjukkan pukul enam empat puluh menit masih ada 20 menit masuk kelas. Suara bunyi pesan telepon tit..tit..tit...
'Assalamualaikum, selamat pagi' sebuah pesan singkat yang di tulisnya.
'Wassalamu'alaikum, pagi juga' ku tulis pesan singkat untuknya.
'Udah masuk sekolah belum' suara pesan berbunyi lagi.
'Belum, tinggal beberapa menit lagi masuk' pesan yang ku tulis.
'Ya, sudah selamat beraktivitas' katanya lagi.
'Oke,' ku kirim pesan singkat lagi.
Terdengar bel masuk kelas tanda memulai pelajaran berbunyi hari ini pelajarannya cukup sulit yaitu akuntansi di mana menghitung uang tapi tidak ada uangnya.
Hari ini masih seperti kemarin tidak ada yang istimewa. Pukul sebelas waktunya istirahat mereka berlarian untuk membeli makanan sedangkan aku cuma pergi ke kantin beli roti dan air minum karena uang saku yang minim cuma lima ribu. Lima ribu untuk ongkos bus dua kali sudah empat ribu masih ada seribu masih cukup buat beli roti dan aqua satu. Maklum setelah kepergian kakek semua yang uang yang di kirim ayah ibu semua di pegang nenek. Bel Waktu pulang pun tiba semua anak berlari untuk mendapatkan bis masing-masing termasuk aku. Aku menunggu bus arah terminal baru cari yang arah ke rumahku.
Tapi keadaan itu tidak lama akhirnya aku memberanikan bicara sama ayah ibu aku ingin bawa motor sendiri dan akhirnya mereka memperbolehkannya. Tapi sialnya pertama bawa motor di tangkap Pak Polisi karena tidak punya SIM. Saat pulang ke rumah sama Om adik ibu yang paling bungsu. Memberanikan ngomong pada si Om bukan di hibur malah di marahi habis-habisan katanya belum punya SIM udah berani pakai motor. Setelah memarahiku dia membantuku untuk mengambil SIM di kejaksaan. Dan setelah itu tidak berani memakai motor lagi. Suara bunyi telepon berdering kembali masih dengan lagu yang sama.
'Tak akan pernah sirna, bayang tentang dirimu, mengharap kau kembali, ke dalam pelukan'.
"Halo, sudah pulang sekolah belum?" tanyanya.
"Sudah dari tadi," aku menegaskan lagi.
"Eh, sudah makan belum?" terdengar mulutnya lagi mengunyah sesuatu."
"Sudah tadi," jawabku menegaskan.
"Oh," terdengar suara tersedak.
"Minum dulu sana mulut ada makanan masih ngomong terus," kataku.
"Iya, tadi belum sempat makan," tambahnya.
Pesona apa yang di miliki oleh pria ini yang membuat aku terasa nyaman mengobrol dengannya. Mungkin suaranya yang tegas tapi lembut atau perhatian yang perlahan yang ia berikan. Aku pun tak tahu jawabnya karena ini pertama buatku. Terdengar suara panggilan dari seberang membuyarkan lamunanku.
"Memang tadi lagi apa kok baru makan, " kataku.
"Tadi bantu ayah ibuku di sawah," tegasnya.
"Wah, anak yang rajin," ledekku.
"Pastinya," timpalnya.
"Aku mau ngomong sesuatu padamu," katanya dengan serius.
"Mau ngomong apa?" jawabku dengan sedikit penasaran.
"Begini aku pertama liat kamu ada rasa, aku juga belum tahu sebenarnya itu rasa cinta atau rasa apa! Tapi aku merasa saat mengobrol denganmu sangat rileks, sangat nyaman," katanya menjelaskan.
Tidak terasa perkenalan kita sudah hampir dua bulan. Rasa yang iya rasakan sama seperti yang aku rasakan, tapi aku tidak tahu rasa apa itu mungkin rasa cinta mungkin juga sekedar rasa. Suara di seberang sekali lagi membuyarkan lamunanku.
Iya berkata lagi, "mungkin itu yang dinamakan cinta" katanya menjelaskan lagi. Perkataannya belum selesai "Santi, aku suka sama kamu mau kah kamu jadi pacarku?" katanya dengan serius.
Aku kaget apa yang tadi ia katakan, cuma mimpikah atau kenyataan. Baru kali ini ada yang menyatakan cinta padaku dan ini pertama kali aku merasakan hati berbunga-bunga. Suara itu sekali lagi membuyarkan lamunan.
"Bagaimana kok kamu diam, mau tidak?" Tanyanya lagi.
"Kasih waktu aku untuk memikirkan!" Kataku terbata-bata.
"Ya, sudah besok di jawab ya!" terdengar dari katanya iya berharap.
"Ok!" Kataku.
"Ya, sudah besok di sambung lagi!" iya berkata lagi.
"Ok," kataku.
Malam ini mengerjakan tugas rumah sambil berpikir jawaban apa yang aku berikan padanya. Pengakuannya bahwa iya mencintaiku membuat otakku kacau tidak tahu harus bagaimana. Malam telah larut tapi mata ini belum bisa terpejam aku mencoba dan mencoba memejamkan mata dan akhirnya bisa juga.
Keesokan hari aku masih belum menemukan jawabannya. Hari ini hari minggu masih seperti kegiatan biasanya suara kokok ayam membangunkanku. Matahari pagi menyongsongku untuk melangkah hari ini masih dengan nada dering yang sama Tit... Tit... Tit...
'Halo, selamat pagi,' isi pesannya.
'Halo, pagi juga,' pesan yang kukirim untuknya.
'Bagaimana sudah ada jawabannya belu,' tanyanya dengan penasaran.
'Sudah,' kataku. 'Kita coba jalani saja,' aku kirim pesan untuknya lagi.
'Eh, OK,' jawaban singkatnya.
Dalam hidup, ketika kita berkomunikasi dengan orang-orang, selalu ada yang pertama kali, dan efek dari pertemuan pertama ini sering menentukan apakah ada yang kedua kalinya dan keberhasilan kontak di masa depan. Dapat bertemu dengan detak jantung satu sama lain dan bersatu menjadi sebuah dialog masa depan.
Mencintai seseorang adalah ketika kita menekan telepon tapi tiba-tiba kita tidak tahu harus berkata apa. Tapi hanya ingin mendengar suara yang terdengar akrab itu. Ternyata benar-benar yang kita ingin hubungi adalah getaran di hati.