Seiring waktu persahabatan itu lama-kelamaan mulai makin akrab. Pada sore hari sebuah benda persegi panjang itu berbunyi.
'Tit...Tit...Tit'
"Halo, lagi ngapain nih? Tanyanya dengan suara tawa.
"Halo , lagi mau nyiapin untuk mendaftar sekolah." Kataku sambil mempersiapkan benda-benda yang mau dibawa besok.
"Memang mau daftar sekolah dimana?" Tanyanya
"Mau daftar di SMK negeri ," kataku
"Oh, di situ," jawabnya.
Dia dan aku sebenarnya satu kabupaten beda kecamatan jarak rumahku dengan rumahnya Cuma enam puluh menit perjalanan.
"Oh, ya udah kamu terusin saja tadi yang kamu kerjakan." Dari kata-katanya ada sedikit yang mau dibicarakan.
"Udah selesai," kataku.
Aku melanjutkan lagi kata-kataku ,"kayaknya ada sesuatu yang kamu mau katakan."
"Gak ada," katanya
"Ya, udah gitu dulu aku mau tidur," kataku
"Ya, udah selamat malam semoga mimpi indah," katanya
Entah ada angin apa ia mengucapkan selamat malam ini aku sedikit merasa aneh dengan tingkahnya tidak biasa-biasanya.
"Malam," jawabku.
Keesokan harinya setelah sarapan aku diantar suami tanteku untuk mendaftar sekolah favorit ku ternyata nilai minimal lebih tinggi dari yang kuperkirakan.
Setelah itu aku mencoba untuk mendaftar di tempat lain waktu untuk mendaftar sudah mau terlambat. Akhirnya mendaftar di suatu sekolah kejuruan lain yang aku kurang suka.
Selang beberapa hari panggilan nomor yang sama itu bergetar di benda persegi panjang itu.
Dia sudah berani memanggil adik bukan aku atau kamu lagi, "halo, dek. Apa kabarnya? Gimana pendaftaran sekolahnya ke terima gak?" Katanya
"Kabarku baik-baik saja. Kamu gimana?" Kataku.
Sambil mengambil nafas aku berkata lagi, "Gak masuk, nilai minimal masuk ke situ ternyata tinggi juga beda beberapa angka saja."
"Gak apa-apa bukan rezekinya." Katanya dengan hati-hati takut salah ngomong.
Dia berkata lagi, "akhirnya kamu sekolah dimana dan ambil jurusan apa?"
Aku pun menjawab lagi, "masuk sekolah SMK GM 1, jurusan akuntansi."
"Wah mau jadi akuntan nih ceritanya," candanya.
Aku menimpali dengan sedikit nada kurang senang "Wah, kok di ketawain."
"Ah, maaf bukan maksud ngetawain," timpalnya.
"Ya, udah gitu dulu aku mau tidur," kataku.
Entah mengapa saat ngobrol dengannya rasanya nyaman. Entah mana yang membuatku nyaman sebenarnya aku juga kurang tahu. Mungkin dari cara bicaranya mungkin dari perhatian kecil yang diberikan padaku. Setelah tiga Minggu perkenalan itu hubungan ku dengannya semakin akrab dengan nomor semakin akrab. Setiap hari menyempatkan saling bertukar kabar.
Keesokan harinya masih dengan kegiatan yang sama sambil menunggu pengumuman dari sekolah.
Benda persegi panjang itu bergetar lagi, "Halo, lagi sibuk apa Nih?" Tanyanya.
"Lagi pulang sekolah , kamu lagi ngapain?" Tanyaku.
"Lagi pulang dari sawah tadi," timpalnya.
Dia meneruskan bicaranya, "Hari Minggu depan kamu sibuk gak?" Tanyanya lagi.
"Minggu depan kayaknya gak sibuk, memang mau ngapain?" Timpalku.
"Bolehkah kita ke temuan," suaranya terdengar bergetar.
"Gimana ya," Kataku.
"Gak boleh ya," nada bicaranya sedikit penuh tanda tanya.
"Boleh, tapi aku gak bisa pergi jauh-jauh," kataku.
"Kalau gitu aku datang ke rumahmu," katanya lagi tanpa ragu-ragu.
Aku terdiam sesaat memikirkan apa yang harus aku katakan padanya. Dalam otakku seperti ada kekacauan yang entah apa aku pun tak tau apa yang terjadi.
"Halo... Halo... Halo..." Terdengar suara panggilan dari sana membuyarkan lamunanku.
"Gimana boleh gak?" Tanyanya lagi.
Aku pun menjawab, "Entar tak tanya dulu ma nenek!" Aku berkata lagi, "jangan tutup dulu telefonnya!" Kataku.
"Nek, Minggu depan ada teman yang mau main kesini bolehkah?" Tanyaku.
Nenek pun menjawab, "boleh," tanpa rasa heran ia menjawabnya dengan lugas.
"Kata Nenek boleh," aku meneruskan kata-kata nenek ku itu.
"Ok," katanya
"Udah malam aku tidur dulu," kataku.
Suara yang di telefon itu sudah tidak terdengar lagi berganti dengan suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Sunyi malam ini membuat hatiku sepi sudah lama ayah ibuku tak memberi kabar. Walaupun mereka jarang ada di rumah tapi sebulan sekali memberi kabar gimana di sana. Entah kenapa hati rasanya tidak tenang ada kegelisahan yang terselip di hati. Aku mencoba menghubunginya untuk sekedar menanyakan kabarnya. Ku pencet nomor telepon yang tertulis nama ayahku Sekali, dua kali, tiga kali masih tetap tidak ada jawaban. Oh, ya orang tua ku bekerja di sebuah perkebunan karet di Sumatra pulangnya pun setahun sekali. Aku mencoba lagi menghubungi beberapa kali dan akhirnya sambungan telepon itu pun berhasil.
"Halo, Assalamualaikum," ku mengucapkan salam padanya.
"Wassalamu'alaikum," jawabnya.
"Gimana kabarnya?" Kataku dengan serius.
"Baik-baik saja. Kamu gimana?" Tanyanya balik.
"Aku baik-baik saja," jawabku.
"Gimana, pendaftaran sekolahnya?" Tanyanya dengan sedikit suara tegas.
Aku pun menjawab dengan tenang tapi dengan sedikit suara gemetar, "di SMKN 3 tidak diterima karena nilainya kurang."
"Sekarang kamu daftar dimana?" Tanyanya lagi.
"Di SMK GM 3," kataku.
"Udah diterima belum?" Timpalnya.
"Belum ada panggilan lagi," sambungku.
"Ya, udah malam tidur," katanya.
"Iya, Pak," jawabku.
Walaupun aku sama ayahku dibilang tidak seperti ayah dan anak yang lain sudah bersyukur. Sifat kita sama-sama keras, tidak ada yang mau mengalah, tapi jika udah emosi jangan tanyakan ekspresinya seperti apa. Aku ingat benar saat itu ayah dan ibu bertengkar hebat aku yang jadi sasaran kemarahannya. Hampir saja aku dicemplungkan ke bak yang berisi air tapi ibuku dengan cepat menangkapnya. Aku dengannya sedikit jaga jarak terhadapnya, agar tidak saling bersenggol kata pepatah piring dan piring jika bersentuhan akan terdengar suara nyaringnya itu lah aku dan ayahku. Dengannya aku sangat berhati-hati bicara takut salah bicara dan juga aku tahu apa yang mau diobrolkan. Sedangkan ibuku sendiri jadi orang baik walaupun di bully tak akan dibalasnya.
Malam semakin larut suara jangkrik semakin keras mempertandakan aku waktunya untuk tidur. Waktu dimana mengistirahatkan tubuh dan pikiran menuju ke alam mimpi. Tidak terasa terdengar ayam berkokok mempertandakan fajar menyingsing.
Setelah mandi lalu Shalat Subuh kulihat nenek sudah mau bersiap-siap untuk pergi bekerja. Walaupun Nenek sudah tua tapi jika ada yang memintanya untuk bantu-bantu di sawah tetangganya pasti mau karena dengan itu ia mendapatkan sedikit uang untuk jajannya. Ku tanya udah makan belum padanya, " Nenek sudah makan belum?"
"Belum, nanti di sawah," jawabnya sambil berlalu.
"Kalau gitu aku nyiapin makan untuk mereka," kataku.
Pagi ini udara sedikit lebih dingin matahari sedikit menyengat kulit. Hari ini belum ada tanda-tanda pengumuman resmi dari sekolah jadi hari ini aku masih sedikit santai. Seperti biasa selesai bersih-bersih aku pergi ke rumahku sendiri untuk bersih-bersih di sana. Sebelum pergi terdengar panggilan telepon suara dari dalam kamar.
Suara nada dering hand phone yang kupakai lagu Ada Band sebuah grup band kesukaan ku yang baru kemarin ku ganti. 'Tak akan pernah sirna , bayang tentang dirimu, mengharap kau kembali, ke dalam pelukan' begitu syair lagunya.
"Halo, Assalamualaikum," terdengar suara sapaan dari seberang sana.
Aku menjawab dengan suara lantang , "halo, Wassalamu'alaikum," kataku sambil tersenyum.
"Lagi ngapain nih?" tanyanya.
"Lagi mau bersih-bersih rumah memang mau membantu?" Tanyaku dengan sedikit bercanda.
Semakin lama kita sudah saling mengenal dan saling bercanda tidak seperti pertama kita kenal sedikit kaku. Aku merasa kita nyaman saat ngobrol bareng.
"Boleh," jawabnya dengan sedikit tersenyum. Panji meneruskan kata-katanya, "ya, sudah terusin kegiatannya."
"Ya, udah gitu saja, bye," aku mengakhiri teleponnya.
Siang itu matahari terik membakar kulit setelah selesai aku pun merebahkan tubuhku di atas kasur yang lama tidak digunakan maklum rumah ini jarang ada penghuninya kalaupun ada setahun sekali paling cuma beberapa minggu saja. Tak terasa perut ini bernyanyi mempertandakan lapar sebelum pulang aku mandi dulu biar terasa segar.
Beberapa hari kemudian waktu janjian pun tiba waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Aku telah bersiap-siap untuk menyambutnya sudah ku persiapkan beberapa jajan dan air minum untuknya. Nenek hari ini tidak ke sawah karena tahu hari ini ada tamu yang mau datang.
Sudah tepat pukul sepuluh pagi waktu janjian, terlihat ada beberapa sepeda motor yang memasuki jalan rumah. Terdengar suara berisik knalpot motor terlihat beberapa anak muda yang berboncengan. Ada beberapa anak muda yang kira-kira umur mereka belum terlalu tua antara dua puluh tiga sampai dua puluh enam. Aku belum tahu mana yang namanya Panji karena saat perkenalan cuma tahu suara belum tahu rupanya. Mereka mematikan sepeda motornya dan mulai berjalan menghampiri. Dan salah satu bertanya apa benar ini rumah Santi.
"Assalamualaikum," orang itu mengucapkan salam.
"Waalaikum'salam," aku membalas salam itu.
"Apa ini benar rumah Santi?" Tanyanya.
"Iya, benar," jawabku dengan sedikit menunduk.
"Kamu Santi kah?" terlihat memberanikan bertanya.
"Iya, aku Santi," ucapku. Dan aku memberanikan bertanya padanya apa benar dia Panji, "mana yang namanya Panji?" tanyaku dengan suara sedikit keras.
Ada salah satu orang yang menyahut dari arah belakang, ternyata aku salah tak kira orang yang ada di depanku. Orang yang di depanku tinggi, cukup ganteng dan putih, yang di belakangnya juga tidak kalah cakep tinggi , rambutnya ikal, tapi warna tubuhnya sedikit gelap.
"Aku yang namanya Panji," sambil memperkenalkan dirinya.
Nenekku datang langsung bicara, "kok, gak dipersilahkan masuk," tanyanya padaku.
"Oh ya, silakan masuk!" kataku.
"silakan masuk," kata Nenekku.
Aku dan Nenek tidak sengaja mempersilakan mereka duduk bersamaan, "silakan duduk, tidak usah sungkan-sungkan."
Nenekku bertanya pada mereka, " orang mana?"
Mereka tidak sengaja secara bersamaan menyebutkan sebuah desa. Terlihat dari mukanya mereka sedikit ada rasa takut. Mungkin dalam pikirannya bertamu ke rumah orang bawa rombongan kampanye.
"Siapa yang namanya Hendra?" Tanyaku. Aku meneruskan bicara sedikit ada rasa penasaran, "Kok, dapat nomor ku dari mana tidak mungkin kamu mengacak nomor telepon?" Tanyaku.
"Aku Hendra, beneran aku mengacak nomor telepon!" bicaranya sedikit bergetar.
"La kok, kenapa nomornya dikasihkan orang?" Suaraku sedikit naik.
"Karena dia jomblo makanya tak kasih nomormu, mungkin jodoh kalian berdua!" Katanya sambil tersenyum.
Nenekku berpamitan mau ke rumah saudara, "ya udah kalian teruskan mengobrolnya!" kata beliau.
Kita serempak bilang , "iya, Nek." Reaksi wajah semua orang terlihat ada senyuman karena tidak sengaja ngomong bersamaan.
Terlihat Nenek Mirah berjalan menghampiri dan bertanya padaku, "ini siapa?".
Aku pun menjawab, " temanku, Nek." Nek Mirah ini adalah kakak perempuan pertama nenek. Rumahnya tidak jauh di pinggir jalan masuk itu.
Empat orang itu terlihat senyum di wajah mereka. Kita ngobrol ke sana-kemari sampai lupa waktu. Setelah ngobrol lama akhirnya dia berpamitan untuk pulang.
"aku pulang dulu ya," katanya.
Aku pun menjawab dengan suara lirih, "iya."
"Nanti setelah sampai rumah tak kabari," katanya lagi.
Entah apa maksud dari kata-katanya terakhir yang keluar dari mulutnya. Baru kali ini ada teman main ke rumah nenek dan aku menyambut baik. Selain teman SD ku tetangga sebelah tidak ada yang pernah main.
Pertemuan menjadi awal dari kisah atau cerita baru dengan beragam alasan yang berbeda. Pertemuan pertama akan selalu membekas dalam benak seseorang, sebab saat pertemuan pertama biasanya akan memunculkan kesan dari seseorang terhadap orang yang baru saja ia temui.