Chereads / Desember Yang Belum Usai / Chapter 17 - Fokus pada kesehatan

Chapter 17 - Fokus pada kesehatan

Andra mengantarkan Sasya sebelum matahari benar-benar terbenam, saat ditawari untuk mampir dan makan malam bersama, Andra menolak dengan alasan masih ada tugas kampus. Sasya hanya mengangguk sore tadi, ia tidak mau memaksa pemuda itu karena Andra pasti juga sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk ekspedisi yang akan ia jalani.

Sasya tidak henti-hentinya tersenyum, ia menggulir layar ponselnya untuk melihat satu demi satu foto yang ia ambil bersama Andra tadi. Hanya ada beberapa saja foto berdua, lebih banyak dari foto itu adalah hasil jepretan dirinya yang berpose dengan cantik. Wig baru dan riasan membuatnya lebih hidup, terima kasih kepada keduanya yang telah membuat kencan pertamanya dengan Andra lebih manusiawi. Sasya hanya berpikir mungkin Andra tidak akan nyaman jika berkencan dengan pasien yang baru keluar dari rumah sakit, jadi ia membeli wig itu.

"Sya? Sudah makan nak?" tanya Sekar, ia baru saja menginjakkan kaki di rumah dan tidak mendapati seseorang di meja makan. Padahal waktu baru menunjukkan pukul tujuh malam, seharusnya ini waktu makan malam.

Si gadis dengan topi rajut yang menutup kepalanya menoleh, ia bangkit dan tersenyum kepada sang mama. "Mama baru pulang? Papa mana?"

"Papa mungkin masih di perjalanan, Sya, tadi mama pulang duluan naik taksi online."

"Jadi gimana toko hari ini?"

"Lho, kok kamu gak jawab pertanyaan mama, malah mama yang disuruh jawab sih." Sekar mendekati sang putri, ia mengusap kepalanya dengan sayang sembari meninggalkan sebuah kecupan di kening Sasya. "Kamu udah makan?"

"Sudah mama, tadi aku makan sama Bik Atun dan Pak Damar." jawabnya.

"Sudah minum obat?"

Sasya terdiam, ia memang belum menyentuh beberapa butir obat pahit yang harus ia minum malam ini. Seharusnya setelah makan malam ia segera meminumnya, tapi ia sengaja menundanya. Obat itu bagai siksaan yang menelannya harus dengan susah payah, setiap kali minum bukannya terbiasa, tapi tenggorokannya seolah menolak.

Si gadis jelita menggeleng pelan, "Aku baru saja mau minum obatku, mama."

"Yaudah, cepetan minum gih biar sembuh. Mama temani ya!"

Sekar segera mengambilkan segelas air dan beberapa butir obat yang sudah ia hafal untuk diminum sang putri, wanita itu dengan telaten memberikan satu persatu agar ditelan oleh Sasya. Tidak heran jika ia mendapati sang putri belum meminum obatnya, karena Sasya sangat sulit untuk minum obat bahkan sejak kecil. Sekar pamit untuk pergi ke dapur guna mengisi botol air minum yang sudah kosong, mungkin Bik Atun lupa mengisinya karena sibuk membersihkan rumah.

Melihat punggung sang mama yang mulai menjauh, Sasya duduk diam sambil meresapi pahitnya obat yang tidak kunjung hilang di pangkal lidahnya. Obat itu rasanya masih tersangkut di tenggorokan hingga menyisakan rasa tidak nyaman.

"Bukannya fokus sama kesehatan malah pacaran, bagus ya!"

Sasya menoleh setelah mendengar kalimat sarkas dari sang kakak, siapa lagi jika bukan Amanda yang sepertinya baru saja pulang dari bekerja. Amanda menatapnya dengan sinis, "Ini apaan hah? Lo punya pacar sekarang?"

Amanda menunjukkan hasil jepretan yang diambil secara diam-diam, ia tidak bisa menampik jika itu adalah dirinya dengan Andra. Sasya mengangguk mengiyakan, "Iya kak, itu temanku, kami jalan-jalan di taman sore tadi. Aku bosan di rumah." jawab Sasya dengan tenang.

"Lo udah berasa sembuh jadi bisa jalan-jalan gitu? Gila ya lo, hidup aja kalau gak minum obat gak akan bisa bertahan, ini malah sok-sokan pacaran."

"Lo pikir dengan pacaran dan dandan sok baik-baik saja gini, bisa bikin lo sembuh? Enggak Sya!"

Sederet kalimat itu terasa menyakitkan untuk didengar, tapi ia mencoba untuk tidak terpancing. Lagipula niat Amanda itu baik, ia hanya ingin Sasya fokus pada kesehatannya dulu alih-alih berkencan dengan seorang pria. Tapi Sasya ingin memberikan alasannya, ia membuka laci di nakas dan mengambil buku hariannya.

Sasya membuka buku itu seraya berjalan menghampiri sang kakak, "Aku cuma mau memenuhi list cita-cita ku kak, salah satunya adalah punya pacar. Sejak dulu aku cuma punya teman satu, yaitu Nila, jadi aku gak pernah bisa dekat dengan seorang pria."

"Aku ingin merasakan jatuh cinta dan berkencan sebelum aku mati karena penyakit ini, kak. Dan kebetulan Kak Andra mau membantu aku untuk mewujudkan list ini."

Kedua wanita itu saling tatap untuk beberapa saat, dengan sorot mata yang amat sangat berbeda. Sasya menunjukkan binar penuh harap sementara Amanda sebaliknya, sejenak ia melihat lagi beberapa list yang tertulis disana dan diberi tanda centang. Omong kosong seperti apa yang sedang dibuat oleh Sasya si gadis pemimpi.

"Gue pikir lo cuma sakit, ternyata lo juga sakit jiwa!" Amanda menyentak buku di tangan Sasya hingga terjatuh ke lantai, "Dengar ya Sya, kalau gue jadi lo, gue akan milih untuk fokus pada kesehatan daripada bermimpi yang aneh-aneh dan seorang menyerah sama takdir gitu saja. Punya pacar atau apalah itu cuma bakal bikin kondisi lo semakin gak baik-baik aja, semua cowok itu sama aja, sukanya cuma menyakiti perasaan perempuan. Jadi mending lo kubur jauh-jauh mimpi lo itu." ujar Amanda.

"Kenapa?"

"Maksud lo?" tanya Amanda lagi.

"Kenapa?"

"Kenapa apaan?"

Sasya mendongak dengan mata berkaca-kaca, "Kenapa Kak Manda selalu jahat sama aku? Kenapa kakak gak pernah bisa jadi kakak perempuan di luar sana yang sayang sama adiknya?"

Amanda terdiam, ia melipat kedua tangannya di dada sambil mendengarkan dengan seksama apa yang ingin diutarakan oleh adiknya itu. Rasa bersalah itu ada, tapi Amanda selalu membangun tembok ego yang tinggi untuk itu, ia berpikir jika cara yang digunakan untuk menyadarkan Sasya ini sudah benar. Jika semua orang bersikap baik layaknya ibu peri, dia ingin mengajarkan Sasya bahwa iblis pun bisa memberikan pelajaran yang sama baiknya tapi dengan cara yang berbeda. Amanda hanya tidak ingin Sasya menjadi manja.

"Apa yang salah dengan mimpi ini?" tanya Sasya dengan suara nyaris tercekat, ia mengerjap berulang kali agar air mata tidak jatuh dari pelupuk matanya. "Aku hanya ingin merasakan punya pacar, sesuatu yang mungkin gak akan bisa terjadi lagi."

"Dokter udah bilang kalau aku gak bisa sembuh kak, aku terima, karena itu juga aku ingin sisa hidupku bahagia."

"Apa itu salah?"

"Salah!" jawab Amanda tegas. "Lo terlalu naif dengan menganggap kalau dunia ini akan bersikap baik sama lo, Sya."

"Naif?"

"Iya, naif!" Amanda mengangguk dua kali, "Tuhan gak akan pernah mengasihi hambanya yang memutuskan untuk menyerah dan menerima takdir seperti apa adanya, gak ada belas kasihan atau pun ampunan Sya. Lo harus tetap berusaha untuk bertahan hidup, dokter itu bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati."

Amanda memejamkan matanya sejenak guna menghilangkan pening yang tiba-tiba datang hanya karena berbicara dengan Sasya. Setelah ia mendapatkan foto itu dari salah satu temannya yang tidak sengaja melihat Sasya di taman, Amanda langsung marah tapi tidak bisa melampiaskannya di kantor. Rencananya ia akan pulang dan memberikan teguran keras, tapi justru ia dihadapkan pada mimpi-mimpi yang coba Sasya rangkai dalam keputusasaan.

Amanda menghela napas lelah, pemikiran naif dari seorang remaja yang sedang beranjak dewasa memang menjengkelkan. "Apa lo pikir dengan pacaran dan kencan kayak anak ABG bisa bikin hidup lo bahagia?"