Apakah waktu sudah terlalu siang hingga keluarga itu sudah berangkat bekerja? Rumah besar dengan gaya arsitektur yang sangat indah itu tampak sepi dan kosong, hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang tampak sibuk membersihkan rumah saja. Padahal waktu baru menunjukkan pukul delapan pagi, kuliahnya saja baru dimulai pukul sembilan nanti. Sebenarnya Andra hanya tinggal menunggu sidang saja, tapi memilih untuk menunda padahal skripsinya sudah disetujui. Kehadirannya di kampus nanti hanya untuk mempersiapkan diri untuk keberangakatan pada ekspedisi impian semua pendaki Indonesia. Ekspedisi puncak Jayawijaya di Papua sudah di depan mata, karena tiket masuk dan segala perbekalan sudah dipersiapkan dengan baik.
Apakah satu bulan memang terasa sangat singkat? Sungguh ini sudah akhir bulan dan ia baru saja jadian dengan Sasya, bagaimana nantinya, apakah ia tetap bisa mewujudkan list terakhir gadis itu. Andra jadi berpikir keras tentang isi kontraknya, disana dia harus membuat Sasya bahagia selama berpacaran dengannya. Ah, sudahlah, yang paling penting dia sudah menembak gadis jelita itu, masalah nanti ya dipikir nanti saja. Yang penting uang kontrak sudah ditransfer dan akan ditranfer kembali awal bulan nanti.
Andra langsung bangkit saat seseorang berjalan menghampirinya, senyum tipis itu perlahan jadi datar kembali saat yang datang bukan seseorang yang ingin dia temui. "Tante Sekar?"
"Andra sudah lama? Kok belum berangkat kuliah?"
"Belum tante!" Andra maju untuk menyalami wanita cantik dengan pakaian yang modis itu, dia tampak sudah bersiap untuk pergi. Bisa ditebak bahwa Sekar yang terakhir pergi, karena hanya tersisa dua mobil saja di parkiran itu. Dulu, Andra pernah melihat ada lima mobil di pelataran yang luas itu. "Kuliahnya mulai siang tante, jadi masih ada waktu buat ketemu Sasya dulu."
"Sudah kangen ya? Padahal beberapa hari lalu kalian ketemu kan?"
"Iya, tante." jawab Andra salah tingkah, bukan rindu tapi kewajiban dia datang hari ini.
"Emmm... gini Ndra." Sekar tampak ragu untuk mengucapkan lanjutan dari kalimat yang sudah ia mulai, wanita itu menghela napas dalam sebelum meraih bahu kokoh Andra untuk ditepuk perlahan. "Sasya sekarang... belum bisa ditemui dulu."
"Sasya kenapa tante?" tanya Andra.
"Sasya sakit lagi."
"Maksudnya?"
"Sasya makin parah, keadaannya gak membaik sama sekali bahkan setelah keluar dari rumah sakit. Tante dan semuanya juga sudah mengupayakan banyak hal untuk kesembuhan Sasya, tapi ya, memang tidak ada perubahan yang berarti selama ini. Setiap hari minum obat pun tetap tidak ada perubahan." jelas Sekar, "Kemarin sakit kepalanya kambuh lagi, malamnya mimisan dan drop lagi. Suhu tubuhnya tinggi dan Sasya masih harus istirahat sampai sekarang."
"Kenapa gak dibawa ke rumah sakit tante?"
"Dokternya sudah kesini, Ndra."
"Terus gimana sekarang, tante?"
Sekar membawa pemuda jurusan elektro itu untuk kembali duduk di teras samping rumahnya yang asri dan penuh bunga-bunga, wajar jika tiap kali Andra datang ke rumah, Sasya selalu membawanya duduk disini. Teras ini sangat nyaman dan banyak tanaman yang menyejukkan mata. Sekar membasahi bibirnya, ia berdehem pelan sebelum menjelaskan serangkaian kata yang akan ia sampaikan pada Andra.
"Andra, tante sangat bahagia karena kamu jadi pacar Sasya, kamu bisa bawa kebahagiaan untuk putri tante. Terima kasih ya, Ndra." Sekar menatap Andra lembut dan tulus, "Selama ini Sasya sekolah home schooling karena dia gampang sakit dan juga kami selalu takut kalau dia gak akan bisa bertahan di lingkungan luar, jadi Sasya hanya punya kami, Marko dan Danila sebagai temannya. Tante penasaran deh gimana awalnya kalian bisa kenal, karena setahu tante Sasya gak punya teman."
"Eh, itu... gimana tante, panjang deh kisahnya." jawab Andra kaku.
"Yaudah gak apa-apa, yang penting sekarang kamu dan Sasya sudah jadi teman dekat, tante senang akhirnya Sasya bisa merasakan punya pacar."
Sekar menatap lurus ke depan, dimana bunga-bunga itu menari terbawa angin pagi yang hangat dan sejuk. "Tante selalu menganggap Sasya sebagai bunga!" tunjuk wanita itu pada bunga di taman yang bermekaran indah.
"Sangat cantik ya?" tanyanya.
Andra mengangguk, pemuda itu memilih untuk mengunci mulutnya dan memberikan waktu pada Sekar untuk bercerita tentang bunganya.
"Bunga yang cantik, karena itu tante sangat menyayanginya, tante merawat dan menjaganya sekuat tenaga. Tapi sayanganya, bunga itu terlahir berbeda, dia terlahir lemah dan membutuhkan banyak perawatan hingga tante sendiri lelah untuk merawatnya. Padahal tante sangat menyayanginya." ujar Sekar yang syarat akan kepedihan mendalam, tapi wanita itu tidak menangis, mungkin juga karena air mata pun tidak sanggup lagi menggambarkan perasaannya.
"Bunga yang tante rawat itu lambat laun jadi mekar dan indah, sangat cantik hingga tante ingin memandangnya setiap hari. Tapi, kamu tahu kan Ndra, bahwa setiap bunga pasti akan layu dan mati."
Sekar menoleh untuk melihat ekspresi pemuda itu, Andra masih setia mendengarnya, mendengar semua ucapan yang entah bisa dimengerti atau tidak. Sekar meraih tangan pemuda itu untuk ia genggam, "Tante sudah rela kalau bunga itu harus layu dan mati, jika itu memang sudah takdir yang digariskan Tuhan untuk bunga indah itu, maka tidak akan bisa dilawan lagi, Ndra."
"Jadi, jangan terlalu mencintai bunga itu sedalam tante, tante hanya tidak mau kamu merasakan sakit yang sangat pedih ini nantinya."
"Jika bukan bunga ini yang akan menemanimu selamanya, maka pasti ada bunga lain yang diciptakan untuk menghiasi hari-harimu." tandas Sekar.
Andra mengerjap perlahan, ia tercekat bahkan untuk menelan ludah pun rasanya sulit. Tatapan Sekar telah menggambarkan segalanya yang dirasakan seorang ibu untuk putrinya, pengharapan yang selalu dipegang teguh itu mulai runtu, menyisakan rela yang lapang seluas lautan. Andra jadi paham mengapa Sasya dibawa pulang padahal dia sangat butuh perawatan dari dokter, dokter pun pasti sudah tahu akhir seperti apa yang dimiliki gadis cantik bernama Larasya itu.
"Jadi... jadi Andra harus gimana tante? Apa kehadiran Andra justru mengganggu kesembuhan Sasya?"
"Maksudnya?" Sekar mengerutkan keningnya, "Enggak, Ndra, sama sekali tidak. Justru Sasya selalu bahagia kan kalau sama kamu."
"Apa yang harus Andra lakukan, tante?" tanya Andra.
Sekar mengendikkan bahunya, "Tante gak tahu, tante sendiri juga bingung mau ngapain. Mungkin sebaiknya tante berangkat kerja saja lah, toko kue sedang banyak pesanan hari ini Ndra. Kalau begitu tante pergi dulu ya."
Kepergian Sekar hanya ditatapnya tanpa bersuara, seulas senyum itu luntur lagi setelah hening dan sepi kembali menyapa. Pada intinya, sama seperti yang dikatakan oleh Marko diawal kepadanya. Jangan sampai jatuh cinta pada Sasya, karena tidak ada lagi harapan untuknya sembuh. Yang harus Andra siapkan hanyalah hati yang lapang, sekalipun ini terdengar seperti mendahului kehendak Tuhan, tapi apa lagi yang bisa ia lakukan.
Jika bicara lagi soal cinta dan kasih sayang, sejak awal Andra tidak punya, dia hanya melakukan semuanya karena perjanjian kontrak itu. Meskipun begitu, Andra selalu melakukannya dengan tulus dan dengan kehendak hatinya.
"Kakak, udah lama disini?"
Andra menoleh, seorang gadis dengan tiang infus dan selang yang terpasang di punggung tangannya datang di balik pintu. "Eh, Sya, katanya kamu sakit, kenapa keluar?"
"Bik Atun bilang ada kakak, jadi ya aku keluar."
"Harusnya gak perlu, kamu mending istirahat aja, kakak cuma mau mampir kok." Andra menghampiri gadis dengan baju tidur panjang dan topi rajut di kepalanya itu, wajah cantiknya pucat dan tak berseri. "Kakak anterin kamu ke kamarnya, kamu har---"
Getara ponsel di saku celananya mengambil perhatian Andra, pemuda itu meraihnya dan melihat siapa yang memanggil dengan tatapan terkejut. "Bentar ya, Sya, ini ada telepon dari dosen."
Andra berjalan sedikit menjauh, dia menerima panggilan itu, panggilan yang katanya dari dosen tapi sebenarnya Sasya sudah membaca siapa yang memanggilnya. "Rika itu siapa kak?" guman Sasya pelan.