Chereads / Desember Yang Belum Usai / Chapter 23 - Tak ada harapan

Chapter 23 - Tak ada harapan

Sepertinya mulai sekarang Sasya harus lebih membiasakan diri untuk melakukan apapun sendiri, atau mungkin memang sejak dulu ia selalu sendirian. Contohnya saja saat janji temu bersama dengan Dokter Budianto yang dijadwalkan hari ini, pagi tadi kedua orang tuanya mengatakan akan menemaninya. Tapi, sampai sekarang saat ia duduk di kursi tunggu pun mereka belum ada di hadapannya.

Sasya tidak menyalahkan mereka, lagipula pemeriksaan seperti hari ini sudah biasa ia lalui sendiri. Mungkin juga kedua orang tuanya berpikir Sasya bisa melakukan hal itu sendiri. Tidak masalah, itu tidak menjadi masalah karena Sasya juga tidak menuntut mereka untuk datang. Gadis jelita itu memahami kesibukan kedua orang tuanya atau kakak-kakaknya yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

"Larasya Rosaline Hariyono?"

Sasya mendongak saat namanya dipanggil oleh perawat, ia tersenyum pada perawat yang ia ketahui namanya Suster Devi itu. Gadis itu segera bangkit sembari membawa lembaran berisi banyak data diri yang harus diberikan kepada Suster Devi untuk verifikasi data, banyak perawat dan dokter lain yang mengenal Sasya di rumah sakit itu. Terlebih para tenaga medis yang bekerja di spesialis penyakit dalam.

"Selamat pagi, Sya? Bisa suster minta datanya?"

"Iya, ini sus." Sasya menyerahkan lembaran itu dan menunggu dengan sabar.

"Bagaimana kabarmu, Sya? Apa hari-harimu menyenangkan saat di rumah?"

"Menyenangkan sus, sekarang tidak terlalu jenuh lagi seperti di rumah sakit." jawab Sasya.

"Suster senang mendengarnya." Perawat itu tersenyum manis sambil menyerahkan lembaran kertas yang lebih kecil pada Sasya, menunggu sampai pintu terbuka dan gadis jelita itu bisa segera masuk. "Suster perhatikan kamu makin gemuk sekarang, gak kurus lagi kayak dulu. Suster ikut senang Sya, kamu terlihat jauh lebih berseri dan lebih bahagia."

"Terima kasih, Suster Devi."

Si putri bungsu Hariyono itu segera masuk setelah pintu terbuka dan pasien yang sebelumnya keluar, Sasya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat lagi apakah kedua orang tuanya datang dan menemaninya, ia memeriksa ponsel pun tidak ada satu pun pesan yang terbalas. "Ayo, Sya masuklah, sudah giliranmu sekarang." ujar Suster Devi.

"I-iya."

Saat melangkah masuk, senyuman teduh Dokter Budianto langsung menyambutnya. Senyuman yang selalu menjadi penyemangat untuk sembuh, sekaligus senyuman hampa yang terasa menyakitkan setelah disaksikan lebih lama. Sang dokter melakukan banyak pengamatan pada hasil tes kesehatan Sasya, pria paruh baya itu juga menjelaskan hal-hal yang harus selalu diperhatikan oleh Sasya. Tapi, pada intinya dari konsultasi itu adalah tidak ada jaminan sembuh untuknya sama sekali. Sel kanker yang menyebar di otaknya kini sudah semakin banyak dan merusak beberapa saraf di otak, itu sebabnya Sasya sering menderita sakit kepala hebat dan kemampuan kognitifnya terganggu.

"Jadi, Sasya paham kan apa yang dokter sampaikan?" tanya Dokter Budianto.

"Paham, dok." balas Sasya, kedua matanya yang berkaca menyorot sendu pada layar monitor yang menampilkan CT Scan kepalanya. "Saya paham dan sangat mengerti dengan apa yang dokter sampaikan."

"Lalu bagaimana? Sasya mau tetap di rumah atau dirawat lagi di rumah sakit?"

"Apa kalau dirawat di rumah sakit bisa sembuh?" tanya Sasya, sorot matanya kosong bagai tanpa harapan.

"Maaf, dokter tidak bisa menjamin apakah Sasya akan sembuh kalau dirawat di rumah sakit. Tapi paling tidak Sasya bisa dokter pantau setiap saat, untuk mengurangi rasa sakit kepala yang hebat. Banyak hal bisa dilakukan Sya, kemoterapi lanjutan akan membantumu melawan rasa sakit." ujar sang dokter.

"Tapi, pada akhirnya nanti Sasya juga akan tetap sakit dan mati kan, dok? Sasya gak mau mati dalam keadaan kesepian di rumah sakit. Dokter bisa lihat sendiri hari ini, papa dan mama gak datang untuk menemani Sasya. Nanti siapa yang akan Sasya lihat untuk terakhir kalinya kalau harus meninggal di rumah sakit?"

Rasanya sangat jatuh sejatuh-jatuhnya hingga Sasya lupa cara untuk berdiri lagi, hidup yang ia punya terlalu singkat dan Sasya belum melakukan apapun dalam hidupnya. Rumah sakit bagai pertarungan hidup dan mati yang merusak mentalnya secara tidak langsung, jadi Sasya lebih memilih untuk memupuk harapan untuk hidup lebih lama walaupun itu semu.

Sasya memilih untuk menarik kedua sudut bibirnya ke atas alih-alih menjatuhkan air mata yang sudah menggenang di kedua kelopak mata, pedih di hatinya itu kian menjadi seiring dengan harapan yang mulai kembali layu dan hancur itu.

"Sasya lebih memilih untuk di rumah saja dokter." ujarnya mantap.

"Kamu yakin? Tapi, dokter akan mengusahakan semaksimal mungkin agar Sasya tidak merasa terlalu sakit."

"Sasya sudah yakin."

Dokter Budianto memilih untuk mengalihkan pandangannya, menatap mata indah tanpa binar itu bagai tertusuk bilah pisau yang sangat tajam. Apa yang ditampilkan dalam layar monitor itu tidak akan pernah menjadi hilang seketika, sel kanker yang sedemikian besar tumbuh di kepala manusia tidak akan ada lagi banyak kesempatan untuk hidup. Seharusnya sang dokter sudah menyerah, tapi melihat Sasya rasanya masih banyak yang harus dia paksa untuk usahakan.

Keputusan sudah diambil dan semuanya akan berjalan sesuai dengan kemauan Sasya, kali ini ia mendapat obat lagi yang jauh lebih banyak dari sebelumnya. Ada banyak obat pereda nyeri sampai obat tidur untuknya saat sakit kepala itu menyerang, tidak ada yang tahu apakah obat itu benar-benar bisa mengatasi rasa sakitnya atau sebaliknya.

Langkah demi langkah hampa menapaki koridor rumah sakit itu bagai berjalan lambat, lantai berpola yang ia tapaki dengan pikiran melayang jauh itu justru membawanya pada ruangan yang salah. "Sasya? Kok kamu disini?"

"Suster Devi?" Sasya terhenyak mendapati sang perawat juga ada di koridor ruang rawat inap. "Iya, tadi Sasya mau pulang terus ... em, itu masih harus pergi ke rawat inap dulu. Saudara Sasya ada yang baru saja dirawat suster." alibinya.

Sang perawat lantas mengerutkan keningnya, "Kamu mau menemui siapa memangnya, Sya? Oh, pasti pasien kecelakaan kemarin ya, di ruangan melati nomor dua Sya."

"Eh, i-iya suster, saya kesana dulu ya." Sasya mengangguk dan segera melangkahkan kakinya untuk pergi, berpura-pura tergesa agar tidak perlu lagi mencari alibi pada Suster Devi. Syukurlah wanita itu juga kembali meneruskan langkahnya.

Ruang melati nomor dua, entahlah siapa yang ada di dalamnya, yang pasti Sasya tidak mengenalinya. Kedatangannya sampai disini karena ia tersesat oleh pikirannya sendiri, sehingga ia melewati jalan yang seharusnya dilewati untuk pulang. Setelah di persimpangan koridor itu, Sasya tak sengaja melihat papan tulisan yang bertulis Melati. Ada enam ruangan dan sudah terisi oleh orang-orang yang sakit.

Iseng saja Sasya menoleh untuk melihat siapa yang sedang dirawat karena pintu yang tidak sengaja terbuka, hingga langkahnya berhenti pada satu pintu setengah terbuka yang membuatnya kaku. Kedua matanya membulat sempurna melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu.

"Sasya?"