Senja yang indah itu mulai berganti jadi malam, perjalanan pulang kembali ke ibukota cukup damai dan tidak ada kendala. Tapi Sasya rasanya tidak ingin cepat pulang agar bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan Andra, malam ini ia resmi menjadi kekasih pemuda itu dan list terakhirnya terwujud. Dia terus menatap buket bunga mawar merah di pangkuannya dengan senyum tersungging lebar. Debaran bahagia itu masih terasa hingga saat ini, pengakuan cinta yang penuh dramatisasi dari Andra masih terekam dengan nyata di benaknya. Jika sama moment itu bisa dibekukan dalam film, pasti Sasya akan memutarnya berulang-ulang.
"Sya?"
"Ya?" jawab si gadis jelita cepat, ia langsung menoleh saat Andra memanggil namanya. "Kenapa kak?"
"Ini mau langsung pulang atau mampir kemana dulu?"
Mampir kemana dulu, Sasya ingin memilih opsi kedua tapi ia tahu hari sudah malam. Dia harus segera beristirahat dan minum obat, Andra juga pasti sibuk mengurus tugas-tugas kampusnya. "Langsung pulang aja kak." jawabnya seraya tersenyum manis.
"Apa kamu lapar? Tadi kamu gak makan banyak ya. Mau dibelikan apa?" Andra selalu merasa bingung untuk mengajak gadis itu makan, pasalnya ia tidak tahu apa yang tidak boleh dimakan Sasya dan apa yang sebaiknya dihindari. Takutnya ia justru membuat kesehatan Sasya semakin buruk. Janjinya adalah menjaga gadis itu juga.
Tapi, si gadis jelita menggeleng, "Aku masih kenyang kak."
Perjalanan selanjutnya hanya diwarnai hening, tidak ada percakapan yang berarti karena Sasya merasa mengantuk, ia coba memejamkan mata tapi tidak bisa. Saat mobil Marko itu sampai di pelataran rumahnya, Sasya tidak langsung turun karena menunggu Andra yang memutari mobil untuk membukakannya pintu. Sebenarnya Sasya bisa membukanya sendiri, tapi Andra bilang biar romantis. Pemuda itu tak langsung pergi, ia menatap pacar barunya itu lama sekali.
"Kakak mau sampaikan sesuatu?" tanya Sasya melihat Andra yang terus menatapnya.
"Gak ada sih."
"Terus kenapa natap aku segitunya?" tanya Sasya lagi.
"Kamu cantik."
Ah, Andra paling bisa membuat jantung berdebar-debar bak ingin melompat dari tempatnya. "Bisa aja nih, gombalnya udah lancar sekarang ya."
"Beneran tau!" balas Andra bersungguh-sungguh.
Sasya hanya menganggukkan kepalanya, ia melihat kedua orang tuanya sudah pulang dan lampu garasi masih menyala. Itu artinya kedua orang tuanya baru saja sampai di rumah, Gani dan Amanda sepertinya juga sudah pulang. Angin malam di ibukota seharusnya tidak begitu dingin karena bercampur dengan polusi, tapi bagi Sasya itu dingin. Gadis itu merapatkan jaket yang membungkus tubuhnya. "Kak, aku mau tanya boleh?"
"Tanya aja!" jawab Andra cepat.
"Terima kasih karena udah memenuhi list terakhirku, dan terima kasih untuk semuanya. Aku akan segera lunasi kontrak kerja kita." ujar Sasya seraya menatap manik kelam itu sama dalamnya, "Aku tahu semua ini hanya sebuah perjanjian, tapi... apa kakak sama sekali gak punya perasaan sama aku?"
Pemuda itu hanya mengerjap beberapa kali, lidahnya mendadak kelu mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak terpikirkan itu. Andra ingin menjawab jujur tapi takut melukai gadis itu, tapi jika pun harus berbohong sepertinya dia tidak akan sanggup memaksakan perasaannya. Diamnya itu seharusnya menjadi jawaban itu Sasya, semoga saja gadis itu bisa menangkap maksudnya tanpa harus bersuara. Setidaknya ini tidak akan terasa lebih menyakitkan, bukan.
"Kak?" panggil Sasya lagi, "Jadi, gimana?"
"Ap-apanya?" Andra mendadak cengo.
"Jawaban dari pertanyaan yang tadi. Apa perlu diulangi?"
"Emm... gini Sya, gue---"
"SASYA!"
Panggilan itu sontak membuat keduanya menoleh cepat, seorang wanita berdiri di ambang pintu utama rumah itu. Dia melambaikan tangan ke arah kedua sejoli yang baru saja mengganti status menjadi sepasang kekasih itu, mau tak mau Andra pun mengikuti langkah si gadis. Andra tidak boleh jadi pengecut dan tidak mau menemui wanita itu, karena tadi ia tidak meminta izin dengan benar, sekarang setidaknya ia harus menyapa dan berpamitan.
"Mama?"
"Sya, kok pulangnya larut sekali, kamu gimana hari ini? Gak pusing atau gimana gitu kan?" tanya sang ibu khawatir. Sekar meraih sang putri dan mengecup keningnya dengan sayang, sebenarnya ia cukup terkejut dengan penampilan Sasya kali ini. Sang putri mengenakan wig dan riasan make up, dan itu membuatnya tampak sangat cantik dan sehat.
"Sasya kan sudah minta izin sama mama untuk pergi dan pulangnya mungkin malam, ini baru jam setengah delapan mama." jawab Sasya.
"Tetap saja mama ini khawatir nak, dan ini, siapa?"
Sekar mulai menelisik seorang pemuda yang tergolong tampan itu dari atas sampai bawah, dari tatapannya seolah sedang memindai Andra dengan cermat.
Andra tidak gugup sama sekali, sudah biasa juga mengantarkan seorang gadis pulang ke rumahnya terlebih saat ibunya juga melakukan hal yang sama. Baginya itu sangat realistik karena ibu pasti tidak mau anaknya bergaul dengan orang yang salah, memang caranya sedikit menyebalkan tapi tidak masalah. Andra tersenyum simpul seraya mengulurkan tangan, "Selamat malam tante, saya Andra." sapa pemuda itu sembari menyalami Sekar, ibunda Sasya.
"Oh iya, kamu ini siapanya Sasya ya?" tanya Sekar penasaran.
"Saya pacar Sasya, tante."
Sekar langsung membulatkan mata, dia tidak marah tapi hanya terkejut. Lagi pula untuk apa marah karena ini menjadi lampu yang baik untuk sang putri, Sasya sudah dewasa dan sudah saatnya mengenal lawan jenis. Tujuannya membawa pulang Sasya agar dia tidak terus terkurung dalam keputusasaan rumah sakit, jika dia punya teman pasti akan sangat baik. Dan ternyata Sasya sudah punya pacar sekarang, "Pacarnya Sasya?" ulang Sekar.
"Iya tante, baru saja saya tembak Sasya dan diterima. Jadi, gak apa-apa kan kalau saya jadi pacar Sasya, tante?"
"Gak... maksudnya gak apa-apa, boleh kok!" Sekar menyambut baik pemuda itu. "Lagipula Sasya juga sudah dewasa, sudah boleh untuk berpacaran asalkan tidak berbuat yang macam-macam. Kalau cuma jalan atau makan bersama boleh banget, kebetulan temannya Sasya cuma Danila dan Marko."
"Tante malah senang kalau kamu jadi pacar Sasya."
Yes! Andra bersorak dalam hatinya, lampu hijau berhasil ia dapatkan dengan mudah dari ibunda gadis itu. Hanya tinggal bertemu dengan ayah dan kakak-kakaknya saja. Andra tidak peduli dengan tanggapan mereka, yang pasti apapun itu ia tetap bisa mengikuti ekspedisi Puncak Jayawijaya yang sudah di depan mata.
Omong-omong soal ekspedisi itu, dia dan Icak juga beberapa orang lagi dari UKM Mapala sudah membayar biaya pendaftaran dan melakukan persiapan untuk akomodasi dan transportasi selama berada disana. Semua ini tak lepas dari peran Sasya yang bagai ATM berjalan untuk pemuda itu, gadis itu bahkan memberinya lebih di setiap kali mentransfer uang. Masih saja Andra dibuat ternganga tiap kali saldo ATM yang biasa kosong itu terisi dengan nominal yang besar.
"Kalau gitu saya pamit dulu, tante. Sudah malam juga, dan Sasya harus istirahat." pamit Andra.
"Oh iya, hati-hati ya, jangan ngebut santai saja!"
"Terima kasih tante."
Andra melangkahkan kakinya meninggalkan teras dengan pintu besar yang diisi oleh Sasya dan ibunya itu, "Siapa mah? Kok Sasya baru pulang?"
Suara tegas dan berat itu menggagalkan perjalanan Andra, baru beberapa langkah saja dan ia langsung berbalik saat mendengar suara itu. Seorang pria setengah baya keluar dari dalam rumah dengan kacamata yang bertengger di matanya. Mau bagaimana lagi karena sudah kepergok juga, kalau tetap melanjutkan langkah itu namanya tidak sopan, jadi Andra memilih kembali dan menyalami ayah Sasya.
"Ini mas." Sekar meraih bahu Andra dengan senyum cerah, "Dia pacarnya Sasya, baru saja jadian."
Wajah Aji, ayah Sasya, tampak kaku dan mengamati penampilan Andra dari atas sampai bawah. Untuk beberapa detik lamanya pria itu tidak berbicara apapun hanya tetap diam, Andra sudah mempersiapkan diri jika ia akan dimaki malam ini.
"Kalau gitu, kita ngobrol dulu di dalam ya?" tawar Aji.
"Iya, minum-minum teh dulu ya, tante tadi bikin kue bolu yang enak." Tak menunggu jawaban Andra, Sekar dan Aji menggiring pemuda jurusan elektro itu untuk masuk ke dalam rumah besar Hariyono.