Chereads / Desember Yang Belum Usai / Chapter 20 - Yes, I will

Chapter 20 - Yes, I will

Mobil itu terus melaju membelah jalanan, membawa dua orang yang menumpanginya menuju suatu tempat uang menjadi tujuan perjalanan. Angin sore ini semakin sejuk seiring mobil membelah jalanan pegunungan. Sasya berpikir mungkin Andra akan membawanya ke Bandung atau Bogor, barangkali pemuda itu ingin menunjukkan tempat yang cantik seperti panorama pegunungan. Berwisata ke Bogor atau Bandung terdengar sangat umum dilakukan masyarakat ibukota, tapi tidak untuk Sasya, ia jarang berwisata karena kedua orang tuanya takut ia akan sakit sepulang dari berwisata.

Kaca mobil sengaja diturunkan agar angin sejuk itu menerpa wajahnya, menerbangkan helaian rambut pada wig yang ia kenakan. Sasya tidak mau banyak bertanya karena Andra juga tidak mau memberitahukan tujuan mereka, "Kak, apa masih jauh?" tanyanya.

"Kenapa? Bosen ya?"

Gadis itu mengangguk sambil menyandarkan kepalanya di kursi, ia terus menatap Andra yang sibuk dengan setir mobil. Lagi-lagi, tangan kekar itu mengambil atensinya.

"Mau disandarin lagi kursinya biar kamu bisa tiduran? Perjalanan tinggal sebentar lagi sih, paling sepuluh menit sampai disana kok. Kalo kamu mau tidur, tidur dulu aja. Nanti kakak bangunkan."

Sasya menggeleng sebagai jawaban, "Aku udah tidur siang kak, aku mau menemin kakak aja."

Andra menoleh dan tersenyum lembut, tangannya yang bebas terangkat untuk menyentuh pipi si gadis dan mengusapnya pelan. Itu satu hal yang sering Andra lakukan selama mereka menjalani kedekatan yang didasari oleh ikatan kontrak ini. Andra sering membelai pipinya, mengusap puncak kepala, atau menggenggam tangannya. Itu manis sekali, terlebih saat pemuda itu memberikan senyuman manis yang sanggup mendebarkan seluruh jiwa dan raga.

Ucapan Andra terbukti, setelah sepuluh menit kemudian, mereka sampai di tujuan. Andra membawanya ke sebuah bukit dengan hamparan kebun teh yang sangat menyejukkan mata, rasanya sangat menyenangkan melihat matahari yang mulai tenggelam dari balik bukit. Jam lima sore, itu artinya belum waktunya untuk terbenam.

"Apa kita sudah sampai?" tanya Sasya.

Pemuda itu melangkah mendekat dan menarik si gadis untuk merapikan helaian rambutnya yang berantakan diterpa angin. "Belum, kita harus jalan kaki ke balik bukit itu." Tunjuk Andra.

"Disana ada apa?"

"Nanti kamu tahu." Balas Andra misterius, "Kamu masih kuat jalan kaki kesana? Mau kakak gendong aja?"

"Jangan, kalau cuma jalan aku bisa kok." Ujar Sasya, ia menatap Andra dengan sendu. Andra dan sekian banyak orang yang dikenalnya selalu memperlakukan gadis itu layaknya orang yang sedang sakit parah. Itu memang benar, tapi Sasya benci jika diperlakukan demikian. Ia masih sanggup melakukan sesuatu dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Gadis cantik itu meraih tangan Andra dan menggenggamnya erat, "Kakak, aku ada permintaan."

"Apa, Sya?"

"Tolong jangan perlakukan aku menyedihkan seperti ini, aku memang sakit parah tapi aku gak mau dianggap lemah dan tidak bisa melakukan apapun. Aku masih sanggup, aku tahu batasanku, aku akan bilang kalau aku tidak sanggup." Ujar gadis itu bersungguh-sungguh. "Kakak, aku mohon kali ini saja, jangan perlakukan aku seperti orang sakit, jangan kasihani aku, jangan terlaku mengkhawatirkan hal-hal kecil."

Mendengar itu Andra hanya bisa mengangguk dua kali, ia tidak ingin menimpali karena semuanya sudah mampu ia pahami. Kadangkala perlakuan orang lain yang berlebihan memang sangat menjengkelkan, dulu saat Andra sakit dan budhenya juga memperlakukan Andra selayaknya anak kecil, ia juga marah. Andra menarik gadis itu untuk mengikuti langkahnya, tujuan mereka ada di balik bukit, dimana Marko dkk sudah mempersiapkan segalanya untuk sore ini.

Sasya menatap takjub, dibalik bukit itu ada sebuah tepian yang diapit tebing, tapi pemandangan kebun teh jauh lebih indah dari sana. Matahari yang hendak terbenam pun terlihat jauh lebih indah dari sini, disana ada sebuah meja dengan sepasang kursi yang diatasnya ada banyak makanan. Andra menarik salah satu kursi itu, "Duduk sini, Sya!"

"Ini apa kak? Hari ini bukan ulang tahunku deh."

"Memang bukan."

"Lalu?" Sasya mengerutkan keningnya. "Semua ini untuk?"

"Ini makan malam spesial yang kakak siapkan untuk kamu meskipun belum malam, tapi semoga saja hari ini akan jadi hari yang berkesan untuk kamu."

Sasya tidak bisa menyembunyikan senyumnya untuk terbit, ini seperti yang sering ia baca di serial novel remaja. Sebuah makan malam romantis yang hangat, jika sudah begini pasti tokoh pria akan menyatakan cinta kepada wanitanya. Tapi sejauh yang ia jalani, setelah melahap beberapa kue kecil yang disiapkan Andra, pemuda itu asik mengobrol dan menceritakan banyak hal. Tidak ada bunga atau gerak gerik gugup yang mencurigakan, semuanya tampak normal seperti biasanya saat mereka bertemu.

Matahari benar-benar tenggelam, menyisakan rona jingga yang indah, tempat mereka duduk saat ini menghadap langsung pada matahari. Wajah cantik itu semakin berseri diterpa cahaya jingga, belum lagi saat senyuman cerah yang tak luntur darinya semakin menambah kecantikan Sasya.

Andra hanya bisa tertegun sambil mengagumi kecantikan yang diberikan Tuhan kepada gadis itu, gadis entah darimana yang tiba-tiba datang di hidup Andra dengan tak terduga. Tangan pemuda itu mengetikkan sebuah pesan untuk seseorang yang berada di atas tebing untuk segera melancarkan aksinya.

Hingga sesaat kemudian, wajah cantik itu tampak tercekat kaget melihat tebing di belakang Andra. "Kak, itu?"

"Pernah lihat pertunjukkan panjat tebing, Sya?"

"Memangnya ada pertunjukkan panjat tebing?"

"Ada, ini sebentar lagi akan dimulai, sini!"

Andra bangkit dari duduknya, ia menarik gadis itu untuk berdiri lebih dekat ke tebing dan menyaksikan langsung apa yang sudah anak-anak Mapala persiapkan. Mulanya dua orang pemanjat turun dari atas tebing dengan tali, mereka membawa kalung bunga di tangan masing-masing. Dua pemanjat itu lalu turun tanpa menapak tanah, mereka mengalungkan rangakaian bunga indah itu kepada Sasya dan kembali naik. Selanjutnya, empat orang kini turun bersamaan, tapi mereka hanya sampai di tengah-tengah saja, mereka terlihat sibuk dengan sehelai kain yang sangat panjang dan lebar. Sasya menatap takjub saat kain itu terbuka sempurna, ia bisa melihat jika gambar yang ada di kain lebar itu adalah dirinya. Belum juga sempat mengambil napas tenang, kini ia kejutkan dengan Andra yang sudah berlutut seraya memberikan buket bunga.

"Larasya Rosaline Hariyono, would you be mine?" tanya Andra dengan lantang.

"Kak?"

"Ayo jawab, Sya."

Sasya mematung, ia mendekap hatinya yang berdebar dengan kencang, rasanya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan menggelitik perutnya. Perasaan membuncah yang luar biasa bahagia, kedua tangannya sampai bergetar karena moment ini akhirnya terjadi di hidupnya. Seorang pangeran dari negeri seberang datang untuk menyatakan cinta kepadanya, apakah seperti ini rasanya jatuh cinta? Seperti ini bahagianya saat menyatakan cinta?

"Yes… yes, I will."

Sorakan riuh tepuk tangan dan taburan bunga langsung menghujani kedua insan yang saling melempar senyuman cerah mereka, kelopak bunga tertebaran memenuhi keduanya. Anak-anak Mapala yang menyebarkannya ikut bersorak girang, mereka terenyuh menyaksikan senior mereka yang paling galak dan dingin akhirnya bisa melakukan hal seromantis ini.

Andra bangkit saat buket bunga itu diambil oleh pemiliknya, ia melebarkan kedua tangan menyambut Sasya ke dalam pelukannya. Dan tentu saja gadis itu segera berlari mendekap tubuh tinggi yang selalu membuat jantungnya berdebar-debar. "Terima kasih kak, aku bahagia, akhirnya aku bisa merasakan indahnya jatuh cinta, terima kasih."

"Sama-sama, sayang."