Sepanjang langkah menyusuri taman, jalinan tangan itu tidak sekalipun terlepas, bahkan senyuman pun tidak sekalipun luntur dari wajah cantik si gadis. Hatinya senang dan selalu berdebar saat hangat genggaman tangan Andra melingkupi tangannya yang dingin. Jadi seperti ini rasanya jatuh cinta? Seperti senang yang meluap-luap, perasaan yang membuncah, dan rasanya Sasya ingin membekukan waktu agar Andra abadi bersamanya.
Taman sudah mulai ramai, ada yang sedang berolahraga, ada anak-anak bermain, ada juga yang hanya berjalan-jalan seperti kedua insan manusia itu.
Andra itu sangat tampan dengan garis wajah yang tegas, terkesan dingin tapi sebenarnya cukup ramah dan banyak bicara. Sasya nyaman berada di dekatnya karena kepribadian pemuda itu yang selalu menyenangkan, jadi ia tidak merasa canggung seperti biasanya ketika harus berinteraksi dengan orang lain. Setelah pembicaraan ambigu di mobil tadi, mereka tidak saling diam, justru Andra terus mengajaknya bicara dan menceritakan banyak hal. Bercerita dan tertawa bersama, adalah satu hal yang tidak bisa ia dapatkan di rumah.
"Capek, Sya?" tanya Andra.
Sasya menggeleng, "Belum kak."
"Duduk disitu yuk!" ajak Andra, pemuda itu menunjuk sebuah kursi kayu yang kosong.
"Gak mau." tolak si gadis seraya menggelengkan kepalanya lucu.
"Kenapa?"
"Aku mau duduk di rumput." tunjuk Sasya pada rerumputan terjaga di bawah pohon Angsana yang rimbun. "Boleh ya?"
"Apa gak apa-apa duduk dibawah pohon? Kamu gak kedinginan?" tanya Andra ragu untuk mengiyakan, yang selalu ia tanamkan dalam kepalanya adalah Sasya itu sakit. Jadi ia akan otomatis menghindari sesuatu yang berpotensi membuat calon pacarnya tambah sakit. "Duduk di kursi aja ya, dek."
"Gak apa-apa kok, cuma duduk sebentar gak akan bikin aku sakit, kakak percaya deh sama aku."
Belum sempat menjawab, tangan Andra sudah lebih dulu ditarik oleh gadis itu. Mau tak mau Andra menurut, ia ikut duduk di rerumputan bersama Sasya. Pohon Angsana di dekat mereka ternyata sangat besar sehingga area yang rindang juga cukup luas, di sudut yang lainnya, banyak orang juga duduk-duduk sembari menikmati sore.
Sasya meluruskan kakinya, tadinya ia tidak merasa lelah karena begitu bahagia akhirnya bisa berjalan-jalan di taman lagi. Tapi setelah beristirahat, kakinya mulai terasa sakit. Jalan sore seharusnya baik untuk kesehatannya, tapi apa mau dikata saat tubuhnya tidak bisa menyesuaikan dengan baik. Sasya selalu merasa sedih karena tubuhnya yang lemah dan gampang terserang penyakit, sehingga ia tidak bisa bebas menjalani aktivitas seperti orang normal.
"Kakimu sakit ya? Mau dipijit?" tawar Andra.
Sasya sontak mendongak, ia menggeleng sebagai jawaban. "Jangan kak, gak perlu, gak apa-apa kok. Mungkin karena aku jarang jalan-jalan jadi gampang capek."
"Tapi, kakak pintar mijit loh, seandainya gak kuliah pasti udah buka panti pijit." canda Andra.
Si gadis terkekeh pelan, "Gak percaya aku!"
"Kok gak percaya sih?"
"Kalau tukang pijit, kok tangannya kasar?"
Andra tertawa sambil menggaruk kepalanya, "Yaa gini kalau anak Mapala tuh, kakak hobi panjat tebing soalnya jadi tangannya kasar. Dulu aja kakak pernah ikutan Pelatnas loh!"
"Serius? Wahh, pelatnas panjat tebing?" tanya Sasya antusias.
"Iya, tapi gak lama." balas Andra berubah sendu.
Pemuda itu menikmati hembusan angin yang lembut menyapa wajahnya, seraya menerawang jauh pada kecintaannya terhadap panjat tebing. Itu juga yang membuat Andra memilih UKM Mapala, dan itu juga yang membuatnya jatuh cinta pada mendaki gunung. "Dulu kakak suka panjat tebing, hampir setiap hari latihan gila-gilaan. Gak cuma di papan panjat, tapi kakak juga sering manjat di tebing asli sama teman-teman. Tapi ada satu insiden yang mengharuskan kakak mundur saat itu."
Andra menoleh kepada gadis yang duduk di sampingnya untuk melihat seperti apa reaksinya, Sasya cukup kooperatif dan dia pendengar yang baik. "Kakak jatuh?"
"Iya, kakak jatuh." Andra mengangguk untuk membenarkan, "Sebenarnya cuma cedera ringan, patah lengan, tapi waktu itu pemilihan atlet nasional tinggal beberapa hari dan kakak terpaksa gugur."
Pemuda tampan jurusan teknih elektro itu kembali menoleh saat tangan halus Sasya mengelus pundaknya, sentuhan yang hangatnya terasa sampai ke hati. Andra mendadak kelu, semua cerita yang ingin ia sambung hilang entah kemana. "Pasti itu waktu-waktu yang berat ya kak. Kenapa kakak gak coba lagi?"
"Pengen coba lagi, tapi kesempatannya selalu gak ada." Andra tersenyum masam, perasaan patah yang selalu ia coba berdamai itu terbuka kembali. "Hari-hari itu berat, karena itu juga salah satu mimpiku tapi dipaksa menyerah oleh keadaan."
"Terus gimana kakak bisa suka mendaki gunung?" tanya Sasya mengalihkan topik sedih Andra, dan itu berhasil karena wajah mahasiswa jurusan teknik elektro itu kembali cerah.
"Itu awalnya karena kakak sering ke tebing curam buat latihan, adanya selalu di lereng gunung jadi harus mendaki dulu beberapa hari sampai nemu titik yang cocok." jawab Andra, pemuda itu menghadap sepenuhnya kepada si gadis. Bersiap dengan segala cerita hidup yang akan ia ceritakan kepada Sasya, Andra yakin Sasya bahkan tidak pernah menyusuri bukit apalagi mendaki gunung. Jadi, akan ia ceritakan betapa suka duka mendaki satu persatu puncak tertinggi.
"Awalnya juga karena ikutan Mapala jadi suka naik gunung, naik gunung itu penuh suka duka Sya. Banyak perjuangan yang harus dilakukan untuk bisa berdiri tegak di puncak, banyak hal seru dan sedih di sepanjang track mendaki. Tentang kerja sama tim, tentang ciptaan Tuhan, dan tentang kemanusiaan. Banyak pengalaman berharga yang bisa kakak dapat saat mendaki."
"Dulu, kakak suka ikut bapak ke bukit-bukit di sekitar rumah. Sampai akhirnya suka mendaki gunung." tandas Andra.
"Termasuk mendaki puncak Jayawijaya?" tanya Sasya.
"Benar sekali! Itu jadi salah satu mimpi terbesar seorang pendaki sejati Sya. Puncak tertinggi Indonesia, kakak akan menulis jurnal perjalanan terakhir sebelum fokus sidang skripsi. Dan ya, jurnal itu adalah Puncak Jayawijaya." jawab Andra.
"Kakak punya jurnal seperti itu?"
Andra mengangguk bangga, itu beberapa hal darinya yang bisa ia banggakan. Yakni tentang jurnal-jurnal perjalanan mendaki yang dikagumi banyak anak-anak Mapala di kampusnya. "Iya, ada beberapa."
"Wah, aku jadi pengen baca juga, pasti keren banget ya kak?!"
"Keren dong, jurnal kakak banyak dikagumi mahasiswa di kampus kakak loh." jawabnya dengan senyuman secerah mentari, deretan gigi rapi Andra menambah ketampanannya jadi berkali-kali lipat. "Nanti deh, kakak bawain jurnalnya, atau kamu mau main ke kampus kakak aja."
Kampus? Entah mengapa tiap kali mendengar kata itu selalu saja terasa perih. Kampus bagi gadis itu adalah sebuah kebebasan, karena setelah sekian lama bersekolah di rumah, ia akhirnya mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan di tempat yang seharusnya. Sasya banyak bermimpi tentang bagaimana kehidupannya berubah setelah di universitas, ia akan punya banyak teman dan mengikuti banyak kegiatan yang bermanfaat. Bertemu dosen, membaca diktat, dan mengerjakan skripsi.
Menyadari raut wajah sendu dari lawan bicaranya, Andra jadi sadar bahwa ia baru saja mengucapkan kalimat yang tidak seharusnya. "Sya?" panggil Andra.
"Iya?"
"Ada yang salah? Kok kamu jadi diam." tanya Andra.
Gadis itu menggeleng, "Gak ada kak, aku cuma sedih aja tiap kali ingat kampus. Seandainya aku gak sakit, mungkin aku jadi salah satu pengagum jurnal kakak." jawabnya sambil memaksakan untuk tetap tersenyum.
Andra meraih tangan dingin nan kurus sang gadis cantik, tangan yang dulunya selalu terpasang jarum infus. Bahkan bekasnya masih ada disana, Sasya menutupnya dengan plester luka. Andra memang belum mengenal Sasya lebih jauh, tapi bagi dirinya gadis itu adalah orang yang kuat karena bisa bertahan sampai sejauh ini. Melawan kanker itu sangat berat, sebagian besar banyak yang menyerah karenanya. Pasti sangat berat untuk bisa menerima dengan tegar, bagaimana penyakit itu terus membuatnya putus asa.
"Menurut kakak, kamu salah satu orang terkuat yang ada di bumi ini, Sya." ujar Andra bersungguh-sungguh. "Apa yang kamu alami itu tidaklah mudah, kamu hebat bisa bertahan sampai sejauh ini. Jadi, jangan pernah menyerah untuk memperjuangkan hidup Sya. Ada masa depan yang panjang menanti untuk diarungi, ada banyak keajaiban terjadi di dunia ini."
"Apa..." Sasya menjeda kalimatnya, ia membasahi bibirnya yang terasa kering. Serangkaian kalimat itu bagai pelita dalam gelap keputusasaan, menghadirkan coretan warna dalam lembaran hitam, Sasya hampir percaya dengan masa depan dan keajaiban yang dituturkan Andra.
"Apa masa depan itu ada untukku?" tanya gadis itu.