Chereads / Desember Yang Belum Usai / Chapter 14 - Saran dari Icak

Chapter 14 - Saran dari Icak

"Lo yakin bang ini akan berhasil? Tapi receh banget gak sih?" tanya Andra dengan kening berkerut. Pemuda itu baru saja menyelesaikan urusannya dengan dosen pembimbing skripsi, dan Icak tiba-tiba menelepon memintanya ke sekre dengan cepat.

"Nanti jadi aneh gak? Ntar Sasya ilfil lagi."

"Yaelah, Ndra, gak akan, semua cewek itu suka bunga. Percaya deh!" jawab Icak, "Lagian ini bukan cuma ngajak makan di restoran dan kasih bunga, enggak, ini adalah atraksinya juga. Dijamin ini pasti bakalan berkesan buat Sasya."

"Tapi, Sasya mana tertarik dengan ide itu."

"Siapapun pasti suka, Ndra, cewek manapun pasti suka." Icak tetap pada pendiriannya.

"Ah, gak ah bang, gak keren!" tolak Andra lagi.

Icak menghela napas jengah, ia memutar bola matanya malas sebelum memukul kepala belakang Andra dengan buku yang digulung. "Nih anak kebiasaan ya, udah dikasih ide juga. Ndra, lo tuh harus segera nembak Sasya dan melakukan banyak hal seperti layaknya orang pacaran. Sebelum terlambat buat lo menunaikan kewajiban dan biar lo gak terus-terusan makan gaji buta! Kasihan juga sepupunya Marko itu, mau lo dicap gak bertanggungjawab?" sarkas Icak pada kalimat terakhirnya.

Andra menghela napas, ia menyandarkan punggungnya pada dinding sekre UKM Mapala yang dingin. Dia pun tak kalah pusing dengan acara tembak menembak yang harus romantis ini. Perlu diketahui bahwa Sasya sedikit pun tak pernah meminta untuk semua hal yang sedang Andra bingungkan.

Usut punya usut, Icak ternyata menemukan cara yang anti mainstream untuk Andra menyatakan cinta kepada Sasya. Pemuda itu, Marko, dan sekarang Ismail jadi ikut antusias dengan hubungan simbiosis mutualisme antara dirinya dengan si gadis kaya raya. Selama hampir seminggu ia belum meresmikan hubungan mereka, padahal di dalam surat perjanjian itu tertulis untuk menjadi pacar. Itu artinya benar apa yang dikatakan oleh Icak, bahwa Andra makan gaji buta.

Tapi, ide Icak itu terasa... aneh? Andra tidak bisa membayangkan apakah ini akan berhasil atau tidak. Idenya cukup mudah. Andra hanya perlu memanjat tebing dan berteriak dari atas tebing menggunakan toa untuk menyatakan cinta kepada Sasya, lalu setelahnya ia meluncur dari tali webbing dengan membawa bunga. Klise? Ya, benar sekali.

"Bang, tebingnya dimana coba?" tanya Andra. "Masa iya mau pakai papan panjat kampus aja?"

"Ya, gak dong, Ndra." Icak menggeleng, "Gak ada sentuhan alamnya, gak romantis!"

"Wah, ada apa nih?!"

Marko datang sambil merangkul Ismail yang tampak sangat tidak nyaman bersama pemuda itu, terbukti dari wajah Ismail yang tertekuk. Setelah sampai di depan sekre, Ismail segera melepas rangkulan Marko dengan kasar.

"Kenapa sih Is?" tanya Icak dengan nada malas.

Ismail menunjuk Marko yang tampak santai, "Aku lagi godain cewek sama Bang Marko main ditarik aja, kan kesel!"

"Yaelah, cewek aja, nanti cari lagi masih banyak!" balas Marko enteng, ia memang sengaja melakukan itu agar adik tingkatnya itu menjadi kesal dan merajut sampai sore nanti. Kasihan juga para gadis yang selalu jadi korban mulut manis Ismail dan berakhir ditinggal begitu saja tanpa ada kabar.

Mengalihkan perhatian, Marko melipat tangannya dan menatap Andra. "Gimana Ndra? Udah ada kepastian mau nembak Sasya?"

Andra menggeleng.

"Cih, katanya mantan buaya, disuruh nembak cewek aja gak bisa, payah lo!" cibir Marko, "Mending ya, lo gak usah pikirin romantisnya deh, yang penting berkesan aja lah, lagian ini pertama kalinya buat Sasya ditembak cowok, jadi pasti berkesan buat dia."

"Nah, gimana kalau makan malam yang romantis di pinggir pantai? Ada lampu-lampu cantik gitu kan bagus." saran Ismail.

Marko menggeleng, "Sasya gak bisa kena angin Is, dia sakit, lo mau bikin dia tambah sakit?"

"Terus gimana?"

"Saran Bang Icak?" tanya Andra.

Marko juga menggeleng, dua pemuda yang baru bergabung itu tahu karena mereka berempat membuat grub di aplikasi chatting untuk membahas seputar ini. Icak sudah mengirimkan idenya dengan sangat terperinci, "Gak bisa bang, Sasya gak bisa ke gunung lah. Kalo mau di papan panjat kampus takutnya Rika tahu dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kalian kan tahu kalau Rika masih cinta mati sama Andra."

"Terus gimana ya?"

Ismail menjentikkan jarinya, "Tembak di depan orang tuanya aja lah, bang!"

"Jangan gila lo, gue ini cuma pacar sewaan, nanti kalau orang tuanya tahu gue cuma dibayar gimana? Kan bisa jadi masalah kalau gaji gak cair." jawab Andra sangat rasional.

"Tapi nih ya," Ismail melipat kedua tangannya sambil mengerutkan kening, "Nembak orang yang sama-sama gak ada perasaan cinta itu memangnya bakalan berkesan?"

"Iya juga ya." balas Icak.

"Iya sih, tapi mau gimana lagi? Kita udah tanda tangan hitam di atas putih." jawab Andra.

Ismail menghela napas, "Complicated sekali masalahmu anak muda!"

Keempatnya dibuat terdiam dengan keadaan, berpikir dan terus berpikir untuk mencari solusi terbaik. Marko pun demikian, dia yang paling lama mengenal Sasya, jadi dia memutar otaknya untuk mencari tahu apa yang paling disukai gadis itu. Bisa dibilang Sasya ini sangat jarang keluar rumah, ia selalu menghabiskan hari-hari di dalam rumah. Lalu, dimana lagi tempat yang sering dikunjungi gadis itu selain pusat perbelanjaan dan perpustakaan kota.

Langkah lunglai seorang wanita muda menginterupsi mereka, meminta perhatian pada kejanggalan yang terjadi dengannya. Biasanya dia akan sangat ceria dan berisik, tapi mengapa saat ini tampak diam. Dan, lihatlah mata sembab itu, sungguh memilukan.

"Andra?" panggil Rika dengan nada lemah, "Bisa bicara berdua gak? Ada... ada yang mau aku omongin sama aku."

"Tentang apa Rik? Gue gak ada waktu." jawab Andra, sebenarnya ia masih tidak tega tiap kali Rika menampilkan wajah ini. Selalu ada dorongan dalam hatinya untuk merengkuh tubuh lemah yang sedang bersedih itu untuk menenangkannya, sekalipun terkadang itu hanya palsu, tapi dulu Andra selalu rela menjadi rumah.

"Aku mohon sebentar aja, aku gak enak ada teman-teman kamu disini, Ndra."

"Udah ngomong disini aja Rik, mereka bukan orang lain buat gue." balas pemuda tampan itu, "Kalau memang mau ngomong yang buruan, gue sibuk hari ini."

Rika menghela napas pelan, ia menyeka air mata yang mengalir dari kelopak matanya. Rika membasahi bibirnya yang terasa kering, sebelum meemantapkan hati untuk bicara. "Aku bingung Ndra, aku sakit dan gak mau terus-terusan seperti ini."

"Emangnya ada apa?" tanya Andra mulai meluluh.

"Bastian terus-terusan kasar sama aku," jawab Rika, ia tercekat karena menahan tangisan yang terdengar sangat pilu. Jika saja mereka melupakan perangai wanita itu dulu, pasti siapapun akan iba dengannya. Bastian adalah pacar baru Rika selama dua bulan belakangan, kabarnya mereka saling mengenal karena Bastian adalah teman futsal Andra. "Aku... aku gak tahu kenapa dia bisa berubah, padahal dulu dia baik banget, kemarin kita berantem dan dia berani main tangan sama aku."

Rika memperlihatkan memar yang nyaris tak terlihat di pipinya, "Kamu lihatkan, dia nampar aku kemarin, Ndra."

"Aku takut, Ndra, aku gak ngerti harus gimana." ujar Rika sesenggukan, berulang kali ia menyeka air mata yang terus membasahi pipinya.

"Rika maaf, kalau ini masalah lo sama Bastian, kenapa lo ngadu ke Andra?!" tanya Marko tak habis pikir, "Harusnya lo selesaikan sendiri sama Bastian, toh, yang memutuskan untuk pacaran kalian berdua kan. Ini gak ada sangkut pautnya sama Andra, Rik!"

"Harusnya lo tahu diri Rika, Andra itu udah jadi mantan sekarang. Dia bukan rumah lo lagi, dia bukan orang yang akan selalu ada saat lo bu---"

"MARKO!" bentak Andra. "Bisa lebih sopan gak lo?!"