Sasya hanya bisa menatap punggung Amanda yang mulai menjauh untuk kembali masuk ke dalam kamarnya, gadis berwajah pucat itu tersenyum menatapnya. Ternyata Amanda tidak berubah, dan ia senang bahwa ada orang yang mengingatkannya tentang kematian, disaat semua orang membuainya dengan pengharapan untuk tetap hidup.
Terkadang, Sasya menjadi iri dengan orang-orang lain di luar sana yang bisa bercengkrama dan tampak baik dengan kakak perempuan mereka. Sementara dirinya dengan Amanda tidak begitu sejak kecil. Sasya tidak tahu pasti mengapa Amanda begitu membencinya, mungkin juga karena Sasya terlahir dengan fisik yang lemah dan Amanda tidak suka orang yang lemah.
"Sya?" panggil Sekar.
Si gadis menoleh melihat sang ibu berdiri di ambang pintu kamarnya, "Ayo sini nak, istirahat dulu! Kamu pasti capek banget kan, nanti biar Bik Atun antar makanan ke kamarmu aja, makan di kamar." ujar Sekar.
"Kok gitu ma? Tapi Sasya pengen makan di meja makan aja."
"Gak perlu nak, kita semua udah makan. Nanti malam saja ya, kakak-kakak mau berangkat kerja, mama dan papa juga." Sekar menghampiri sang putri yang berdiri tak jauh darinya, ia meraih mencium keningnya dengan sayang. "Gak apa-apa ya mama tinggal dulu, mama lama banget gak ke toko lagi."
Sasya mengangguk, "Iya mama, bisa kok."
"Obatnya jangan lupa diminum ya sayang!"
"Iya mama."
"Yaudah mama pergi dulu ya nak, papa juga salam pergi, tadi buru-buru gak bisa pamit sama kamu." ujar Sekar sembari terfokus pada layar ponselnya.
Sekar berjalan pergi setelah mendapatkan panggilan telepon, meninggalkan Sasya sendiri dengan kosongnya rumah. Setelah sang ibu, Gani dan Amanda pun menyusul. Hari yang sibuk ternyata, tapi syukurlah tidak ada yang berubah dari semua orang di rumah ini. Dulu pun mereka sibuk, dan sekarang tetap saja sibuk.
Sasya tersenyum masam merasakan kehampaan rumah itu lagi, seharusnya ia sudah tahu akan seperti ini. Lalu mengapa tadinya ia berharap akan diadakan penyambutan dan makan bersama dari keluarga kecilnya.
Dering ponselnya mengalihkan perhatian gadis itu, ia segera masuk ke dalam kamarnya dan mencari benda pipih yang tersimpan di dalam tas. Ia melihat siapa yang menelepon di pagi yang cerah ini, Sasya tercekat untuk beberapa saat. Itu telepon dari Andra, cepat-cepat ia menggulir layar ponselnya untuk menjawab. "Ha-halo, Kak Andra?"
"Halo, Sya." jawab Andra dari seberang telepon, "Kata Marko kamu pulang hari ini, gimana? Udah sampai di rumah?"
"Udah kak, baru saja." Sasya merebahkan tubuhnya di kasur empuk nan nyaman sambil menatap langit-langit.
"Kak Andra gak ada kelas? Tumben banget pagi-pagi udah telepon." ujar gadis itu.
Andra terkekeh pelan, suara lucu pemuda itu sampai di telinganya dengan merdu. "Iya ya, jarang banget kakak telepon kamu. Maaf ya, akhir-akhir ini lagi sibuk revisi skripsi lagi, ada yang kurang ternyata. Kakak ada kelas sih tapi siang, ini udah di kampus. " jawab Andra.
"Sekarang udah selesai?"
"Udah, Sya, tinggal sidang aja tahun depan habis ekspedisi."
"Giman---" terdengar suara grusak-grusuk dari seberang telepon, Sasya sampai menahan kalimat yang hendak ia ucapkan.
"Apa bang? Tali webbing ya ada di lemari lah, kemarin dipakai buat wall climbing disimpen lagi kok." ujar Andra entah dengan siapa di seberang telepon. "Gak ada? Gak ada gimana, ya ada dong harusnya!"
"Sya, maaf, kakak matiin ya, ini mau cari tali webbing dulu."
"Eh, i-iya kak!"
Setelahnya panggilan Andra terputus begitu saja, Sasya menatap layar ponselnya dengan gamang. Mungkin ia harus menyelesaikan kalimatnya di pesan teks saja. Tangan lentiknya tak sengaja menyentuh foto profil Andra, dan disana pemuda tampan itu sedang berdiri di puncak gunung seraya membawa bendera merah putih dengan bangga. Sasya tersenyum tanpa sadar, ia mengusap seseorang di dalam foto itu bagai remaja yang sedang kasmaran.
Hal itu tak lepas dari pengamatan seorang gadis dengan potongan rambut cepak berwarna blonde, ia melipat tangannya sambil menyandar di kusen pintu. Gadis itu tinggal tepat di depan rumah Sasya, usia mereka sama dan bisa dibilang dia adalah satu-satunya teman yang Sasya miliki selama hidupnya. Dia bernama Danila Nandarini, mahasiswi jurusan akuntansi semester awal yang sedang giat-giatnya mengikuti UKM Mapala. Nila adalah panggilan akrab dari gadis itu, ia sampai rela memotong cepat rambutnya agar terlihat tomboy dan tidak mengganggu saat sedang berkegiatan.
"Hem... ada yang sedang jatuh cinta nih!" celetuk Nila.
Sasya sontak menoleh, gadis itu bangkit dengan susah payah. "Nila?"
"Iya Nila lah, masa ikan mas?" sarkasnya.
Melihat sang sahabat telah datang, Sasya segera berlari menubruk tubuh Nila dan memeluknya sangat erat. Ia sangat merindukan Nila lebih dari apapun, sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali Nila datang mengunjunginya di rumah sakit, mereka hanya bertukar pesan karena Nila sibuk dengan kuliahnya. "Nila, aku kangen kamu!" ujar Sasya dengan nada manja.
"Sama Sya, aku juga kangen banget loh!" Nila mulai membalas pelukan erat dari Sasya, dia pun rindu dengan sahabatnya ini.
"Kamu apa kabar, Ni? Gimana kuliahnya?" tanya Sasya seraya membawa tangan Nila untuk masuk ke kamarnya, seperti biasa, mereka akan duduk di kasur yang empuk sambil bercerita.
"Semuanya berjalan lancar Sya, yaa, meskipun ada satu dua mata kuliah yang kayaknya harus ngulang lagi tahun depan."
"Kok gitu?" tanya Sasya penasaran.
Nila tersenyum masam, ia duduk bersila sambil memangku bantal. "Sibuk soalnya aku, lebih sibuk di UKM daripada di kelas. Kamu kan tahu dari dulu aku gak suka belajar di kelas, aku lebih suka kegiatan outdoor yang menantang." jawab Nila, "Kamu tahu gak, aku sekarang jadi bagian UKM Mapala loh!"
"Oh ya?"
"Iya, bahkan aku kenal pemuda yang kamu telepon tadi." tunjuk Nila dengan dagunya pada ponsel Sasya yang saat ini masih menyala memasang foto Andra.
Si gadis pemilik ponsel membulatkan mata, ia segera mengambil dan mematikan layar ponsel itu. "Eh, dia, ini temannya Marko." jawab Sasya.
"Aku udah tahu Sya, dia Kak Andra, seniorku di Mapala yang galaknya kayak setan! Tapi ganteng banget sih, eh, kamu kok bisa kenal sama dia?" tanya Nila penasaran. Sejak awal kedatangannya, dimana Sasya tengah berbincang dengan seorang pemuda, dari suaranya dan memanggil Icak, Nila langsung tahu bahwa itu adalah Andra.
"Ceritanya panjang Ni."
"Ceritain lah!" desak Nila.
"Yakin kamu mau dengar?"
Nila mengangguk cepat, "Yakin banget!"
Meskipun ragu, Sasya tetap menceritakan segala yang terjadi antara dirinya dengan Andra yang tidak lepas dari peran Marko. Cerita Sasya mengalir dengan lancar seperti biasanya karena ini adalah Nila, sahabat terbaik yang ia miliki. Sehingga tidak perlu ada yang ditutupi atau dikurangi dari awal kisah Sasya dan Andra.
Sasya bisa membaca raut wajah Nila, seperti terkejut, bingung, penasaran, tidak percaya, dan sedih di waktu yang bersamaan. "Maksudnya gimana sih, Sya? List terakhir apa? Kamu itu pasti sembuh." ujar gadis itu dengan wajah kecewa.
Sasya hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat tangannya, "Aku pun berharap begitu Ni, tapi sel kanker ganas di kepalaku gak bisa mati dan semakin berkembang merusak organ yang lain. Dokter sendiri ya bilang bahwa aku mungkin gak akan bisa bertahan sampai tahun depan."
"Terus kenapa kamu keluar dari rumah sakit, Sya? Aku kaget saat mamaku bilang kamu keluar dari rumah sakit, aku senang karena kupikir kamu sudah sembuh, tapi kenapa jadi begini?"
"Ni? Apa aku terlihat seperti orang yang sembuh?" tanya Sasya sambil tersenyum masam, lalu dia menggeleng tegas. "Aku gak sembuh, mama dan papaku membawa pulang karena ingin aku menikmati waktu terakhir bersama dengan keluarga Ni, itu saja, mereka ingin aku bahagia. Di rumah sakit rasanya sepi dan tiap harinya aku cuma ingin segera mati, di rumah, paling tidak aku punya hal menyenangkan selain berbaring dengan infus kan."
Nila terdiam untuk beberapa saat, ia masih mencoba mencerna ucapan dari Sasya. Dia tahu dan sangat tahu bagaimana perjuangan gadis itu untuk sembuh dan sehat, untuk pertama kalinya ia melihat Sasya begitu putus asa dan hilang pengharapan. Nila tidak mau memperkeruh keadaan, jika pun memang ini waktu terakhir bagi sang sahabat, menjadi tanggungjawabnya juga untuk membuat Sasya bahagia.
"Jadi, kamu punya list terakhir dan itu adalah punya pacar?"
"Iya Nila." jawab Sasya.
"Dan orang itu adalah Kak Andra?"
Sasya mengangguk, "Benar sekali, Marko yang mengenalkan kami."
"Kamu bayar dia dan dia jadi pacarmu selama dua bulan kedepan?" tanya Nila lagi, "Tapi bukannya Kak Andra punya pacar ya?"