Apa yang paling dirindukan orang-orang saat pergi terlalu lama, untuk Sasya, dia sangat merindukan rumah. Rumah adalah dunianya, dia tidak banyak mengenal dunia luar karena penyakitnya. Mungkin sesekali pergi jalan-jalan, berwisata, ke mall, ke perpustakaan kota, atau ke taman kota. Tapi itu tidak lama, hanya sebentar saja dan harus dalam pengawasan ketat. Awalnya semua itu terasa seperti penjara, dia bak putri kerajaan yang dijaga ketat di kastil paling tinggi dan jauh dari rumah penduduk.
Bertahun berada disana, mungkin ini juga yang orang sebut dengan zona nyaman. Hingga rasanya tidak ingin berpaling dan memilihh terkurung di dalam rumah itu. Setelah hampir dua tahun menjadikan rumah sakit sebagai rumah kedua, Sasya akhirnya diperbolehkan pulang. Sekalipun bisa ia baca raut wajah Dokter Budianto dan beberapa perawat yang telah merawatnya, dengan samar menunjukkan tidak sepenuhnya setuju untuk ia pulang.
Lucu bukan? Dia dan semua orang tahu kalau Sasya masih butuh perawatan tapi sudah dipaksa pulang. Ada yang janggal tapi biarlah semua itu tetap menjadi rahasia. Sasya tersenyum sambil menatap pemandangan di luar jendela mobil sang ayah, jalanan sudah jauh lebih padat sejak dua tahun lalu, banyak bangunan berubah atau beralih fungsi.
"Sya, mau mampir kemana dulu gak?" tawar sang ayah di kursi kemudi, ada ibunya juga disampingnya. Sementara Sasya duduk sendirian di belakang.
"Mau mampir kemana, pa?"
"Lho, kan papa tanya kamu." jawab sang ayah, "Kalau-kalau ada yang pengen kamu beli atau pengen mampir di restoran misalnya."
Sasya menggeleng lemah, tidak mungkin pergi dengan penampilan seperti ini. Ia baru saja keluar dari rumah sakit dengan pakaian tebal dan kepala tertutup topi rajut, wajah pucat dan tubuh yang kurus. Tidak! Sasya tidak ingin menjadi objek orang-orang sok kasihan kepadanya, dia tidak semenyedihkan itu.
"Gak usah papa, kita langsung pulang saja." ujar gadis itu, "Sasya udah kangen banget sama orang-orang rumah, kamar tidurku, kasur dan banyak lagi."
"Yaudah kalau gitu kita langsung pulang ya." ulang sang ibu.
"Iya mama."
Sasya menyandarkan punggungnya di sofa, ia kembali mengamati beberapa pengendara yang juga berhenti di lampu merah. "Wah, bangunan disini sudah jadi taman ya? Pasti nyaman banget di taman itu ya."
"Baru beberapa bulan belakangan Sya." balas sang ayah, "Papa juga terlibat dalam pembangunan taman itu."
"Yang bener pa? Kok bisa? Kan, papa biasanya membangun gedung-gedung tinggi."
Aji, ayah Sasya adalah seorang arsitek yang banyak terlibat dalam pembangunan gedung pencakar langit yang ada di ibukota itu. Sebelumnya, dia sibuk dengan kompleks bangunan elit yang sedang ia kerjakan bersama para rekannya, maka dari itu Sasya antusias begitu mendengar taman ini garapan sang ayah.
Sang ayah terkekeh pelan, lucu melihat ekspresi yang ditunjukkan putrinya itu. "Ya bisa nak, itu semacam proyek selingan. Dekat situ kan ada kompleks perumahan elit yang sedang papa garap, nah taman itu juga bagian dari kompleks itu."
"Boleh main kesana gak pa?" tanya si gadis cantik.
"Bolehlah, mau main sekarang?"
"Gak pa, kapan-kapan aja."
"Kalau mau mampir sekarang gak apa-apa nak." ujar sang ibu sambil memutar tubuhnya menghadap Sasya. "Kita bisa mampir sebentar kok, papa gak sibuk hari ini."
Lagi-lagi si gadis memilih untuk menggeleng, "Gak perlu mama, masih ada banyak waktu kan, jadi aku bisa berkunjung ke taman pakai baju yang bagus. Baju ini gak cocok buat jalan-jalan di taman."
"Baju gak jadi masalah sayang, nanti mama belikan yang baru deh. Atau mau beli sekarang saja?"
"Jangan mama, baju aku di lemari masih banyak banget. Gak perlu juga beli lagi."
"Kalau ke restoran, makan dulu, mau?" tawar Sekar, ibunda Sasya.
"Aku sudah kenyang ma, lagian nanti mau makan masakan Bik Atun, udah kangen banget pengen makan ayam bumbu balado." jawab Sasya lagi.
Sekar terlihat sangat berlebihan karena sejak mereka keluar dari rumah sakit, sang ibu terus saja menanyakan apakah Sasya ingin ini atau ingin itu, banyak hal yang cukup terasa menjengkelkan, karena dulu Sekar sangat melindungi sang putri bungsu hingga terkesan over protective, tapi sekarang justru membolehkan apapun yang Sasya inginkan.
Perjalanan mereka sampai di penghujung waktu dimana mereka akan segera sampai di deretan rumah yang dihuni oleh orang-orang serba berkecukupan. Bisa dibilang perumahan elit karena dilihat dari bentuk rumahnya saja sudah sangat terlihat jelas.
Rasanya sangat senang dan antusias untuk kembali pulang ke rumah, setelah mobil terparkir dengan baik, Sasya segera membuka pintu mobil sang ayah. Dibantu oleh Bik Atun dan beberapa asisten rumah tangga disana. "Non Sasya, selamat datang kembali, non!" sambut Bik Atun dengan raut wajah penuh bahagia, air mata pun sampai menggenang di pelupuk matanya.
"Iya, bik. Sasya juga senang sudah bisa pulang ke rumah." jawab si gadis, "Pak Damar?"
"Iya, non, Pak Damar ada disini." jawab seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai sopir di rumah itu.
Bik Atun dan Pak Damar bagai orang tua kedua bagi Sasya, karena sejak kecil mendapat asuhan dari mereka. Orang tua Sasya terlalu sibuk bekerja meskipun tahu jika anaknya memiliki fisik yang lemah, baru-baru ini saja sejak gadis itu mengidap kanker ganas, ia jadi mendapatkan perhatian yang luar biasa, terutama dari sang ibu.
Syukurlah rumah ini tidak banyak berubah, hanya beberapa sudutnya saja yang diganti dengan beberapa ornamen yang tampak hampa. Kenapa terasa kosong? Padahal penghuni rumah seharusnya ada di dalam rumah itu.
Seorang pria menuruni tangga dengan setengah berlari, dari penampilannya tampak casual dibalut celana bahan dan kemeja hitam. Pria itu tersenyum tipis sambil merentangkan kedua tangannya setelah sampai di hadapan Sasya, menunggu gadis itu untuk masuk ke dalam dekapan hangatnya. Dia adalah Ganindra, kakak sulung dari Sasya, pria berusia dua puluh delapan tahun yang sibuk membangun kembali bisnis warisan sang kakek berupa rumah makan. Di samping itu, Gani masih aktif bekerja di perusahaan berita.
"Selamat datang kembali, Sya!" sambutnya sambil mengurai pelukan mereka, pria itu mengusap sayang kepala sang adik yang berbalut topi. "Gimana perjalanan ke rumah? Menyenangkan?"
Sasya mengangguk, "Ada banyak yang berubah setelah dua tahun ya." jawabnya sambil tersenyum manis. "Sasya kangen kakak, kenapa gak pernah ke rumah sakit lagi?"
"Maaf dek, kakak sibuk banget soalnya." ujar Gani tidak enak hati.
"Gak apa-apa kok, aku bisa mengerti."
Sasya menoleh pada seorang wanita berusia dua puluh lima yang berdiri di belakang Gani dengan tangan terlipat di dada, ia tampak acuh dan raut wajahnya tampak dingin. Sasya tersenyum ke arahnya, "Hai, Kak Manda." sapanya.
"Iya." jawab Amanda singkat.
"Kakak gak kangen aku?"
"Gak." jawab wanita itu, jawaban singkat yang membuat hati Sasya mencelos. Tapi bagaimana pun Amanda memang seperti itu, tidak tahu juga mengapa ia begitu membenci Sasya. Yang paling penting adalah dia tetaplah kakak kandungnya.
Kedua orang tua mereka masuk, memecah pertemuan singkat itu dengan perintah agar Sasya segera beristirahat di kamarnya. Si gadis mau tak mau menurut, perutnya juga belum lapar dan belum masuk waktu makan siang. Kamar tidur adalah tujuan yang bagus untuk segera beristirahat, pasti kamarnya juga merindukan dirinya.
Sasya menaiki anak tangga dengan lancar, pulang membuatnya bersemangat dan merasa hidup kembali. Rasanya sangat senang bisa berjumpa dengan keluarga lagi, Sasya sampai melupakan penyakitnya untuk beberapa waktu. Sampai di anak tangga terakhir, Sasya menghentikan langkahnya untuk sekedar mengambil napas.
"Kenapa lo pulang?"
Sasya menoleh saat pertanyaan itu datang dari Amanda, "Bukannya lo masih sakit?" tanya wanita itu lagi.
"Emm... iya sih, tapi kata dokter udah boleh pulang, kak." jawab Sasya berbohong dengan lancar, dia pikir semua orang sudah tahu dengan alasan sebenarnya mengenai kepulangan Sasya.
"Kenapa lo gak mati aja, Sya?"