"Bang Andra?"
"Bang Andra Bagaskara?"
"Woii, Bang Andra?"
"Apa sih Is?" Andra menoleh dengan alis menukik tanda kesal, ia sedang fokus berpikir sambil bertopang dagu. Tapi juniornya itu terus saja mengganggunya.
Tujuannya datang ke tempat ini tidak lain adalah untuk merenung, memikirkan sesuatu yang seharusnya ia pikirkan. Andra butuh ketenangan, tapi saat ada Ismail, memang suasana tidak pernah menjadi tenang. Selalu ada saja tingkah jenaka pemuda itu untuk mencairkan suasana.
Ismail pun mengerutkan keningnya, "Bang Andra kenapa sih? Sewot banget dari pagi, jangan bilang lagi PMS ya. Ini lagi pakai acara galau di siang bolong. Awas loh bang, kebanyakan melamun bikin kesambet loh."
"Kemarin temen aku ya gitu pas banget di kelas matematika, katanya baru pulang dari Cihampelas, Bandung. Dari rumah neneknya, dia banyakin melamun, tahu-tahu jadi maung dia. Aing Maung! Aing Maung! gitu, bang, mana di kelas ada banyak banget orang lagi." cerita Ismail.
"Ck, diem deh lo!" ketus Andra sama sekali tidak tertarik dengan cerita Ismail. "Gue lagi mikir ini! Atau mending lo bantuin gue mikir aja deh."
"Mikir apa? Bukannya skripsi tinggal sidang?"
"Bukan skripsi Is." balas Andra, "Yaa ada lah pokoknya."
Ismail mendekati Andra, ia ikut duduk bersama sang senior di lantai sekre UKM Mapala beralaskan tikar. Tikar serbaguna yang sudah menjadi penghuni tetap sekre sejak lima generasi. "Bang, lo yakin gak mau sidang tahun ini aja? Siapa tahu tahun depan udah bisa wisuda kan."
"Gue mau ikutan ekspedisi Is, itu jauh lebih penting dari sekedar gelar sarjana teknik. Ini tentang impian dan cita-cita, lo gak akan paham deh pokoknya."
Ismail mencebih dengan jawaban Andra yang terdengar sangat naif, "Bang, dimana-mana orang kuliah mimpinya ya wisuda dengan baik dan cepet lulus cepet dapat kerja, ini malah diulur-ulur kayak makan permen karet lima ratusan. Lagian ya bang, ekspedisi bukannya bisa kapan aja ya? Asal ada dananya ya tinggal jalan."
"Gak bisa lah Is."
"Kenapa gak bisa?" tanya Ismail.
"Pokoknya gak bisa."
"Ya kenapa?" desak Ismail. "Ekspedisi kan ada setiap tahunnya, Bang Andra."
Kedua tangan Andra terkepal, sudah gemas ingin menampol kepala Ismail, sang junior yang sangat pengertian. Andra memilih untuk menarik napas dalam dan menghembuskannya, ingin menjelaskan lebih lanjut tapi terlalu malas untuk bicara. Andra sedang galau memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menembak seorang gadis yang sama sekali belum pernah berpacaran, atau bahkan mengenal lawan jenis yang bukan bagian dari keluarganya. Ini rasanya lebih pusing daripada membuat rangkaian listrik.
Syukurlah Marko datang menghampiri mereka bersama Icak, keduanya juga mendengar dengan jelas percakapan membingungkan itu. "Gini Is, gue jelasin dengan sejelas-jelasnya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, lo dengerin ya!" ujar Icak.
Ismail pun mengerjap kebingungan, ia mengalihkan perhatiannya dari Andra. "Jelasin apa, Bang?"
"Udah lo dengerin aja, ini senior mau bicara tahu!" Marko menepuk bahu Ismail, karena dia yang paling dekat dengannya. Marko pun mengarahkan telunjukkan ke depan mulut sebagai kode untuk Ismail agar mau diam.
"Jadi gini, seperti yang lo tahu, ekspedisi puncak Jayawijaya itu impiannya Andra dari kecil. Makanya dia getol banget pengen ikutan, padahal udah tinggal secuil langkah lagi dia wisuda. Yaa, Andra ini kan mahasiswa berotak minyak ikan Kod, jadi sidang pasti gak sulit buat dia kan." Icak membuka penjelasannya dengan hal paling mendasar tentang Andra.
"Tapi ya gimana ya Is, namanya mimpi tuh harus diwujudkan selagi ada kesempatan. Nah, ini ada kesempatan nih, sama gue lagi. Jadi Andra pasti ambil kesempatan itu." tambahnya. "Soalnya, sekarang masalah dana si Andra udah gak pusing lagi."
Ismail manggut-manggut mendengar penjelasan yang sebenarnya masih kurang jelas itu, tapi tidak mau memperpanjang ceramah Icak jadi ia memilih pura-pura mengerti. "Terus kenapa sekarang Bang Andra galau di siang bolong?" tanyanya.
Sepertinya ini giliran Marko yang berbicara, dia pun mengambil atensi Ismail untuk menghadap kepadanya. "Gini Is, ini giliran gue jelasin kalau yang ini." ujarnya.
"Oh ya, gimana bang?"
"Andra itu dapat uang dari sepupu gue yang sakit itu."
Kening Ismail sontak berkerut tanpa diminta, "Gimana maksudnya, bang? Kok bisa dapat uang dari sepupu abang sih? Yang sakit kanker ganas kan? Warisannya jatuh ke tangan Bang Andra gitu ya."
Ismail mengaduh saat kepalanya ditampol oleh tangan Marko, pemuda kaya raya itu tertawa renyah. "Lo kebanyakan nonton sinetron rebutan warisan ya Is, gak gitu juga kali."
"Terus gimana?"
"Jadi, Andra sepakat buat jadi pacar sewaan sepupu gue, dan dia dibayar. Karena sepupu gue pengen punya pacar sebelum dia meninggal dunia, dan Andra adalah orang yang cocok, lagipula di butuh uang juga buat ekspedisi. Sepupu gue ini anak orang kaya, gak susah buat bayar seberapa pun si Andra mau."
Hening untuk beberapa detik sebelum Ismail menatap ketiga pemuda itu bergantian, Andra hanya bisa pasrah pada tanggapan Ismail tentang dirinya, ia memilih membuang muka.
Ismail sendiri bingung juga harus memberi tanggapan seperti apa, rasanya belum pernah ia menjumpai keberuntungan tapi di satu sisi ada kemalangan itu. Andra memang pemuda yang baik, bahkan Ismail pun menyarankan beberapa sepupunya untuk mendekati Andra. Ia juga percaya kalau sepupu Marko anak orang kaya, Marko saja selalu membawa mobil bagus ke sekolah, hanya penampilan pemuda itu yang seperti gembel tapi sebenarnya berduit.
"Uwahhhh!" pekik Ismail heboh. "Keren banget gak sih, bang!" ujarnya pada Andra.
"Keren gimana?" tanya Andra.
"Kerenlah, Bang Andra kan lagi butuh uang, nah ini ada rejeki nomplok yang jatuh dari langit buat abang. Kebetulan yang membagongkan!" Ismail bertepuk tangan heboh setelah memahami situasi dengan baik.
"Bisa dibilang gitu sih, Is!" Icak membenarkan.
Perhatian Ismail kini beralih kepada Andra, pemuda tampan yang memiliki kisah cinta bak sinetron televisi. "Jadi gimana, bang, sepupunya Bang Marko pasti cantik banget ya? Udah ngapain aja?"
"Ck, pikiran lo kotor Is!"
"Bukan gitu, maksudnya udah jalan kemana aja? Udah nonton berapa film? Udah makan di restoran mana aja?" koreksi Ismail pada pertanyaan sebelumnya yang terkesan negatif, tapi ia percaya bahwa Andra bukan orang yang akan berperilaku seperti itu. "Aku ada banyak rekomendasi restoran enak tapi murah, tempatnya cozy juga bang. Hasil jalan sama Violetta!" bangganya.
"Violetta siapa?" tanya Icak.
"Mantan pacar Bang Marko, anak Fakultas Kedokteran Gigi." jawab Ismail. "Ahh, lupakan, sekarang fokusnya sama Bang Andra aja."
Sang pemuda tampan yang menjadi objek pembicaraan pun menghela napas sedalam mungkin, "Bingung gue, ada saran gak buat nembak cewek dengan romantis dan berkesan tapi gak pakai banyak uang. Dari kemarin gue mikir gak nemu idenya, barangkali lo bertiga ada saran nih." keluhnya.
"Ooh, jadi ini yang bikin Bang Andra galau di siang bolong. Kenapa gak bilang daritadi sih." balas Ismail sambil melipat kedua tangannya, jika sudah berkaitan dengan asmara dan percintaan, Ismail cukup membanggakan diri. Dari segi tampang memang ia kalah dari Andra, dari segi keuangan juga ia kalah dari Marko, tapi jika disuruh merayu wanita Ismail jagonya.
Pemuda itu menampilkan senyuman bangga yang terkesan tengil, ketiga seniornya sudah menahan diri untuk tidak melempar benda terdekat kepada Ismail. "Jaman sekarang nembak pakai bunga di restoran mewah itu udah biasa banget bang, apalagi nyamar jadi boneka terus tiba-tiba kasih bunga, itu udah jadul."
"Terus gimana yang gak biasa, Is?" tanya Marko.
"Bang Andra kan, anak Mapala nih, ajak ke gunung aja."
Marko dan Icak kompak memberikan pukulan tanpa henti kepada Ismail dan otak kacaunya. Pemuda itu melindungi diri sambil terus memohon ampun, "Aduhh, ampun bang! Ampun woy, ini kekerasan nih, gue laporin dekan ya."
"Laporin aja, habis gila sih lo!" balas Icak.
"Eh!" Marko mengamit leher pemuda itu dengan lengannya, "Sepupu gue sakit parah woy! Lo suruh naik gunung bagaimana ceritanya, lo mau bikin dia jemput ajal lebih cepat."
"Gak gitu juga bang, denger dulu!" Ismail meronta minta dilepaskan, dia segera mengambil napas kasar setelah berhasil terlepas. Kedua seniornya telah membuat jambul kesayangannya itu tak beraturan. "Kalau memang mbak sepupunya Bang Marko gak bisa ke gunung, ya cari daratan yang kayak gunung, yang penting bisa lihat pemandangan. Okay!"
"Aku bakalan bantu biar suasana jadi lebih romanti bang, yang penting ada niatnya." tandas Ismail.