Bagaimana rasanya, saat kau ingin menangis tapi air matamu sudah kering. Kata orang penawar kesedihan itu hanyalah air mata, yang bisa meringankan segala gundah luka lara di dalam hati. Kini gadis itu tak punya lagi, jangankan untuk menangis, bernapas saja rasanya nyaris tercekat. Angin sore ini terasa dingin saat hembusannya sampai menerpa tubuh lemah Sasya, hiruk pikuk jalanan penuh polusi di bawah tampak ramai, mungkin bertepatan dengan jam pulang kerja.
Syukurlah rumah sakit ini punya taman yang bagus di roof topnya, jadi Sasya bisa menikmati udara sore dengan nyaman disana. Meskipun seharusnya pasien dengan keadaan yang sangat parah seperti dirinya tidak diperbolehkan berkunjung ke taman itu. Alasannya sudah jelas bukan, jika saja terjadi hal yang tidak diinginkan seperti tiba-tiba drop pasti akan menyulitkan saat dilakukan evakuasi.
Sebuah jaket tersampir di bahunya, Sasya menoleh dan menemukan wajah datar tapi meneduhkan milik Andra. Pemuda itu menumpukkan kedua sikunya di pagar pembatas roof top, pandangannya menerawang jauh entah kemana. "Kakak cari kamu di taman bawah, tapi gak ada, lupa kalau kamu tadi bilang di atap rumah sakit."
"Ini baru pertama kali sih kesini, ku pikir gak ada taman sebagus ini di roof top."
"Tapi, apa gak dingin, Sya?" tanya Andra sambil menoleh ke arah gadis cantik yang sejak tadi setia mengunci mulutnya. Andra bisa melihat dari ekor matanya bahwa Sasya tak mengalihkan pandangan sejak pertama kali ia datang.
"Dingin." jawab gadis itu tercekat.
Andra memberikan perhatiannya kepada si gadis dengan topi rajut di kepalanya, "Kalau dingin, kenapa kamu gak bawa jaket tadi. Untung aja kakak bawa jaket kan."
Sasya hanya tersenyum tipis, wajahnya yang selalu pucat entah mengapa jadi tambah pucat sore ini. Saat seperti ini, apa yang seharusnya Andra lakukan? Pemuda itu menggaruk kepalanya karena mendadak blank, padahal sebelumnya dia sudah membaca banyak kiat-kiat untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita.
Taman itu semakin sepi, mungkin juga karena hari semakin larut. Tapi melihat matahari terbenam dari atap gedung ini sangatlah cantik. "Kamu sudah lihat matahari terbenam Sya?" tanya Andra.
"Suka." jawab Sasya.
"Kakak juga suka, tapi kakak suka lihat sunset di gunung."
Sasya mulai menatapnya dengan binar yang cerah, "Gimana rasanya naik gunung kak?"
"Sangat menyenangkan, tapi juga melelahkan." jawab Andra, pemuda itu melipat kedua tangannya sambil bersandar pada pagar pembatas. Memunggungi matahari terbenam yang katanya indah itu. "Kamu tahu kan, kakak gak berasal dari Jakarta?"
Si gadis mengangguk.
"Rumah kakak ada di desa lereng gunung yang cukup jauh dari kota besar, disana setiap hari cuma bertani dan bertani. Kalau musim penghujan ya menanam padi, kalau musim kemarau yang menanam palawija. Tanah di desa kakak ini subur, ada hamparan sawah luas berhektar-hektar yang salah satunya punya keluargaku. Di dekat sana juga banyak bukit-bukit kecil, kakak sering diajak bapak ke bukit lihat matahari terbenam, sejak saat kakak jadi suka naik gunung, Sya."
"Setiap naik gunung rasanya seperti pulang ke rumah. Kakak suka petualangan dan selalu haus akan tantangan, mendaki gunung salah satunya." jelas Andra panjang lebar, "Tapi yang jelas perasaan mendaki itu gak bisa dilukiskan dengan kata-kata deh, kamu harus merasakan sendiri pengalamannya baru kamu akan tahu."
"Pasti menyenangkan, ya." ujar Sasya.
Andra mengangguk dengan pasti, "Sangat! Emm... kamu pernah mendaki gunung Sya?"
Gadis cantik itu menggeleng, "Gak pernah kak."
"Sekali pun? Bahkan bukit?"
"Sekali pun, bahkan bukit." ulang Sasya sambil terkekeh pelan, "Sejak kecil aku sering sakit-sakitan kak, kakak kan tahu aku home schooling jadi ya darimana mau mendaki gunung."
"Maaf, kakak gak tahu soal itu." ujar Andra tidak enak hati.
"Gak apa-apa."
Andra tidak menimpali lagi, ia sibuk menelisik setiap sudut wajah si gadis yang sangat cantik. Boleh jadi dia adalah wanita tercantik yang pernah Andra temui selain sang ibu di kampung, sekalipun pucat dan tak berseri tapi tetap menawan.
"Cantik ya, kak!" puji Sasya pada semburat jingga yang menghiasi langit, pandangannya terpaku pada cahaya kuning yang tidak menyilaukan itu.
"Iya cantik." puji Andra, tapi bukan kepada matahari, melainkan gadis dengan tiang infus di sampingnya itu. "Ada apa Sya? Kenapa kamu minta kakak kesini?"
Gadis itu mengerjap perlahan, sorot matanya mulai meredup dan kembali kosong. Ia terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya menatap Andra dengan senyuman masam. "Gak apa-apa kok kak." jawabnya. "Aku cuma sedih aja, dan gak tahu harus gimana biar gak sedih lagi."
Tangan Andra terangkat untuk mengusap bahu lemah si gadis, "Kamu bisa cerita sama kakak, Sya. Kakak akan setia mendengarkan keluh kesahmu." jawabnya, bukankah memang itu tugasnya, Andra dibayar untuk menjadi pacar sewaan bagi si gadis tak lain untuk membuatnya bahagia.
"Aku... aku gak akan bisa bertahan. Kata dokter aku cuma punya beberapa minggu lagi untuk hidup." ujarnya begitu pahit.
"Dokter pasti salah, kamu harus yakin kalau kamu akan hidup lebih lama dari yang kamu pikirkan, Sya!"
"Gak kak." gadis itu menggeleng, "Aku tahu, aku bisa merasakan kalau semakin hari aku semakin dekat dengan ajalku. Gak ada kesembuhan untukku lagi, bahkan setelah menjalani semua operasi, terapi, dan pengobatan. Sel kanker itu gak berhenti untuk berkembang."
"Sya!" Andra meraih tangan halus gadis itu, "Jangan patah semangat, takdir itu gak ada yang tahu apakah besok atau mungkin entah kapan ajal akan datang. Bisa jadi bukan kamu yang lebih dulu pergi, bisa jadi kakak, kita gak ada yang tahu."
"Aku pun ingin tetap berjuang kak, tapi papa dan mama sudah menyerah."
Andra hanya bisa terdiam mendengar jawaban itu, dia jadi terbius dengan kesedihan dan kegundahan yang tersirat dalam mata bening tanpa cahaya itu. Menyelami kelamnya, Andra merasa hatinya mendadak sesak tanpa sebab. Kanker bukan penyakit ringan, tak hanya penderita tapi juga orang-orang disekitarnya ikut diuji untuk bertahan atau menyerah.
Gadis itu ingin menangis tapi tidak ada air matanya yang menetes, kesedihannya justru semakin menumpuk memenuhi hati. Sasya menyentuh dadanya yang terasa sesak, kenyataan ini masih saja menyakitkan padahal ini bukan kali pertama ia mendengar berita buruk ini.
Mulai sekarang, Sasya harusnya tidak lagi mencuri dengar agar setidaknya ia bisa melindungi hatinya. "Aku... aku seharusnya gak boleh pulang karena kondisiku bahkan tidak ada perkembangan apapun."
"Tapi papa dan mama memintaku pulang dan rawat jalan, siapa pun tahu kalau mereka sudah menyerah kak."
"Aku juga sudah lelah." tandas Sasya.
Tidak ada kata yang mampu terucap dari pemuda jurusan teknik elektro itu, semua yang ingin ia sampaikan tertahan di kepala. Andra menarik gadis cantik itu ke dalam pelukannya, yang mungkin tidak menghangatkan tapi paling tidak Sasya tahu ada orang yang akan selalu mendukungnya.
Sasya memejamkan mata menghirup aroma maskulin yang bercampur dengan mint, menenangkan dan candu. Ia menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Andra seraya menikmati usapan halus di punggungnya. Di dalam hangat pelukan ini, Sasya merasa nyaman dengannya. Anehnya, semua sedih dan lara yang mendera hatinya berangsur menghilang, hatinya kembali ringan dan nyaman. Seolah ada secuil harapan yang menjadi pelita di dalam kegelapan putus asa.
"Semua akan baik-baik saja, Sya." ujar Andra mendayu bagai melodi penghantar tidur untuk si gadis cantik. "Kakak akan selalu disini saat kamu butuh tempat untuk bersandar."
Andra mengurai pelukan mereka, tapi ia masih memberikan dekapnya untuk Sasya. Wajah pucat itu, terasa sangat halus saat jemari Andra menyusuri pipinya. "Mulai sekarang, kamu bisa membagi semua keluh kesah kamu, kesedihan, bahagia dan rasa apapun itu sama kakak. Kakak akan selalu berusaha untuk membantu."
Sial, mengapa kalimatnya yang Andra ucapkan jadi bergetar seperti ini. Dan mengapa pula detak jantungnya menggila padahal tidak sedang lomba lari. Andra mengambil napas dalam dan menggandeng tangan gadis itu. "Balik ke kamarmu ya?"