"Pak, bu, bisa kita bicara sebentar? Ada yang ingin saya sampaikan mengenai keadaan pasien." tanya seorang dokter yang sejak dua tahun lalu menjadi dokter utama untuk Sasya, dia adalah Dokter Budianto, spesialis saraf.
Kedua orang tua Sasya saling tatap, "Ada apa yang dokter?"
"Apa kita sebaiknya berbicara di ruangan saya saja?" tawar sang dokter, apa yang ingin dikatakan mengenai Sasya. Sekalipun gadis itu terlihat damai terlelap di ranjangnya, tapi boleh jadi ada yang mendengarnya.
Aji Hariyono, ayah Sasya mengangguk. Ia berjalan mengikuti sang dokter meninggalkan kamar inap Sasya. Sekar pun ikut pergi setelah menaikkan selimut yang membungkus tubuh putri bungsunya.
Sampai di luar, kedua orang tua Sasya memilih untuk berhenti di depan pintu. "Kita bicara disini saja dokter, lagipula koridor juga sepi." ujar sang ayah.
Dokter pun mengangguk, apa mau dikata kalau kedua orang tua Sasya tidak mau mengikutinya sampai di dalam ruangan. Sang dokter bisa memahami lewat raut wajah mereka bahwa trauma dan ketakutan terbesar itu selalu membayangi mereka. "Mengenai kondisi Sasya, apakah anda yakin akan membawanya pulang? Tidak ada tanda-tanda kesembuhan untuknya saat ini, saya harap bapak dan ibu bisa mempertimbangkan hal ini sekali lagi. Sasya membutuhkan perawatan dan obat-obatan yang lengkap di rumah sakit." jelasnya.
"Kami ... kami sudah sepakat dokter, kami akan membawa Sasya pulang."
"Tapi, pak, apakah anda bisa menjamin Sasya akan sembuh kalau dia pulang sekarang? Saya pun tidak bisa menjamin, tapi yang paling penting kita bisa memberikan perawatan yang maksimal." jawab sang dokter lagi.
"Kami sudah sepakat untuk membawa Sasya pulang saja, dokter." ujar Aji.
"Apa bapak dan ibu sudah menyerah untuk Sasya?" tanya sang dokter hati-hati.
"Maksud dokter?"
"Saya tahu Glioblastoma itu sangat berbahaya pak, bu. Tidak hanya menyerang fisik tapi juga mental, bukan hanya mental penderita tapi juga orang-orang terdekatnya." Dokter Budianto telah menangani kasus kanker ganas ini untuk waktu yang sangat lama, totalnya hampir dua puluh tahun ia menjadi dokter spesialis saraf. Dia sudah sangat berpengalaman untuk hal ini, sudah banyak pula menyaksikan bagaimana manusia dipermainkan oleh takdir.
"Saya sudah banyak melihat pasien ataupun keluarga pasien menyerah dengan penyakit ini, jadi saya bisa maklum." lanjut pria setengah baya dengan jas putih itu.
"Saya hanya ingin melihat putri saya kembali bahagia, rumah sakit ini hanya membuatnya semakin murung dan sedih." Sekar berucap dengan sendu, ketiga orang itu sama-sama tahu bahwa tidak ada lagi harapan untuk si gadis jelita bisa bertahan di hidupnya yang sangat singkat. Mengingat hal itu, Sekar kembali menitikkan air mata, putri bungsunya harus menderita sedemikian sakit hanya karena penyakit. "Seperti yang anda bilang dokter, tidak ada lagi harapan untuk putri kami hidup bukan? Jadi biarlah di sisa waktu ini, kami berusaha membuatnya bahagia."
"Sekar..." Aji merangkul tubuh ringkih sang istri.
"Saya yakin dokter pasti bisa memahami hati seorang ibu yang anaknya mengidap kanker." Air mata itu berjatuhan tanpa bisa ditahan lagi, Aji hanya bisa menahan tubuh sang istri yang berulang kali hendak limbung. "Dokter pasti bisa memahami ini, kan?"
"Bukan hanya Sasya, tapi saya juga lelah dengan semua ini." racau Sekar. "Ibu mana yang tega melihat anaknya menemui ajal, seandainya bisa, saya rela menukar nyawa untuk Sasya, dokter."
Dokter Budianto terdiam, kesedihan yang melingkupi keluarga ini tidak terbendung lagi. Keputusasaan mereka tidak akan bisa diubah lagi, bukan tidak menyayangi, tapi terlalu memaksakan juga tidak baik. Sasya sudah hancur karena penyakit ini, lingkungan rumah sakit juga semakin membuatnya lebih buruk.
Jika tidak bisa lebih lama, mereka hanya meminta waktu seminggu atau dua minggu agar Sasya bisa pulang. Kembali ke rumah yang sudah ditinggalkannya selama hampir dua tahun, tentu bukan waktu yang singkat. Gadis jelita itu selalu mengatakan bahwa ia ingin pulang dan membaca buku di balkon kamarnya, gadis itu ingin merasakan masakan rumah, mencium aroma harum dari dapur, dan bersantai di kasurnya.
"Kalau memang ini sudah menjadi keputusan bapak dan ibu, saya akan mempersiapkan kepulangan Sasya dan obat rawat jalan untuknya."
"Iya, dokter." jawab Aji. "Terima kasih banyak."
"Sama-sama pak, tapi saya harap saat keadaan Sasya kembali memburuk, anda bisa cepat membawanya ke rumah sakit."
"Tentu dokter." jawab sang ayah.
Dokter Budianto pamit untuk melanjutkan pekerjaannya, ada jadwal operasi satu jam lagi dan pria tua itu harus bersiap.
Sekar menatap sang suami dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, guratan sedih, lelah, kecewa dan putus asa tercampur dalam manik coklat itu. "Mas, kita sudah membuat keputusan yang benar bukan?"
"Iya, Sekar."
"Sasya tidak akan menderita lagi kan?"
Sang suami dengan ragu menggeleng, "Tidak, Sasya akan hidup dengan bahagia bersama kita. Kita akan memberikan semua perawatan yang baik untuknya, kamu tidak perlu khawatir lagi."
"Apa, apa putri kita akan segera pergi?"
"Sekar kamu ini ngomong apa, kita harus yakin Sasya bisa sembuh. Tidak ada yang tidak mungkin, keajaiban itu pasti ada." ujar Aji mencoba membangun semangat pada diri sang istri, sekalipun dirinya sudah sangat patah dan hancur.
Di balik pintu kayu itu, di dalam kamar rawat inap, seorang gadis dengan topi rajut tengah bersandar di pintu dengan tatapan kosong. Maafkan Sasya karena lagi-lagi telah mencuri dengar, sesuatu yang seharusnya tidak perlu ia dengarkan lagi, karena dia pun sudah tahu. Seperti ini kah rasanya menghitung waktu sampai hari dimana kematian menjemput, terasa hampa dan kosong. Orang bilang level tertinggi kesedihan adalah hampa, bukan lagi tentang air mata yang terus menerus menetes, tapi tentang rasa sedih yang tidak mampu tergambarkan.
Sasya berjalan kembali ke ranjangnya, air mata seolah sudah kering untuk menjatuhkan setitik air sebagai mereda gundah. Gadis itu meraih buku note miliknya, "Menikah? Apa aku punya cukup waktu untuk itu?"
"Ya Tuhan, aku juga ingin menikah dan punya anak." ujar Sasya pada dirinya sendiri, "Tapi, jika waktu ku tidak cukup. Izinkan aku merasakan indahnya cinta, hanya itu saja."
Semoga Andra adalah orang yang tepat, semoga pemuda itu adalah orang yang dikirim Tuhan untuk membuatnya bahagia di sisa waktu yang tidak lama lagi. Tak mau terus bersedih, Sasya memilih untuk menghubungi pemuda itu. Seharusnya, Andra sudah pulang, melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul empat.
Gadis itu menggulir layar ponselnya dan mencari nama Andra disana.
Rasanya masih sangat canggung untuk tiba-tiba menelepon pemuda itu. Malam itu setelah Sasya mentransfer sejumlah uang lalu menghubungi Andra, pemuda itu terdengar kaku saat berbincang dengannya. Tapi, kepribadian Andra yang menyenangkan dan mampu mencairkan suasana membuat Sasya merasa nyaman, sekalipun pemuda itu masih membangun tembok yang sangat tinggi dan tidak akan bisa gadis itu lewati. Kali ini, apakah Andra akan menjawab panggilannya?
Sasya memencet ikon panggilan berwarna hijau, menunggu beberapa menit sebelum telepon mereka tersambung.
"Ha-halo, Sya?" suara Andra terdengar saat panggilan diterima, grusak-grusuk seperti tengah melakukan sesuatu. "Ada apa, Sya? Kakak masih di kampus ini."
Gadis jelita itu membasahi bibirnya, "O-oh iya, gak apa-apa kok. Kalau gitu aku tutup aja teleponnya, takut ganggu."
"Eh, gak apa-apa, ini kakak udah mau pulang kok." ujarnya dari seberang panggilan.
"Apa, kakak sibuk sore ini?" tanya Sasya hati-hati.
"Enggak kok, ada apa emangnya?" balas Andra. "Kamu mau dibeliin sesuatu, dek?"
"Gak perlu, kak, udah gak usah deh."
"Lho kenapa? Bilang aja Sasya, jangan sungkan sama kakak ya, kamu minta ditemani ngobrol atau apa?"
"Iya." Sasya mengangguk sekalipun masih ragu, "Boleh?"
Tawa renyah Andra terdengar samar, "Ya boleh lah, Sya. Tunggu sepuluh menit ya, kakak on the way."
"Aku tunggu kakak di taman atap ya."