Marko tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi saat ia pergi ke kantin untuk membeli makanan, mungkin juga pemuda itu sengaja berlama-lama disana untuk memberi ruang bagi Andra dan Sasya saling berkenalan. Dia tahu akan sangat canggung nantinya jika ada orang ketiga di dalam ruangan, ya, sekalipun bukan pertemuan pertama, tapi perkenalan ini akan berlangsung dengan aneh. Karena mereka sama-sama tahu kemana arah perkenalan mereka.
Setelah perjanjian tertulis itu selesai ditandatangani dan disepakati oleh kedua belah pihak, Andra pamit karena waktu yang semakin senja. Jam lima sore tepatnya, entah apa saja yang ia bicara dengan Sasya tadi hingga waktu berjalan cepat. Mereka lebih banyak diam dan bertanya secukupnya, Marko benar kalau Sasya sepertinya sulit untuk berkomunikasi dengan orang asing karena sejak kecil home schooling. Gadis itu lebih lugas dan cenderung pendiam. Tapi, tidak seburuk itu juga, dia cukup kooperatif dan berusaha nyambung dengan obrolan yang coba Andra bangun.
"Lo makan batu apa gimana sih? Lama banget." keluh Andra saat menemukan Marko tengah melahap makanannya dengan santai, di meja itu ada banyak sekali bungkus makanan ringan dan dua mangkuk yang sudah kosong.
Andra menjatuhkan tubuhnya di kursi berhadapan dengan sang sahabat, tatapannya seolah ingin menguliti Marko. Tapi, berteman dengan Andra sejak awal kuliah, hal semacam ini tidak mempan untuknya. Marko justru santai yang terus memakan camilanny. "Sengaja banget ya lama-lama, mana katanya mau beliin makanan? Ini malah beli sendiri, dasar pelit!"
"Ini itu bukan pelit, beneran tadi niatnya beliin makanan kok, Ndra." sanggah Marko, "Cuma ya gitu tiba-tiba gue kepikiran aja, ada niat lain yang jauh lebih penting selain beliin makanan, yaitu memberi waktu buat kalian saling kenal."
"Halah, alasan aja!" ketus Andra.
"Omong-omong, gimana sudah kenal?" tanya Marko memberikan perhatian.
Andra mengangguk, "Sasya yang kenal gue, gue mah belum."
"Maksdunya? Ya kenalan lah kalau belum kenal tuh."
"Iya, lo kan udah kasih tahu garis besar hidup gue sama Sasya." jawab Andra.
"Iya juga sih!" Marko mengangguk-angguk, sepupunya itu telah ia berikan semua informasi yang harus diketahui mengenai hidup Andra. "Bagus dong kalau gitu ya, kalian gak perlu perkenalan lagi dan lagi karena sudah saling tahu. Mending langsung pacaran aja, Ndra."
Helaan napas pasrah terdengar dari mahasiswa jurusan elektro itu, "Masalahnya Ko, gue gak tahu apapun soal Sasya, gimana bisa bagus."
"Dan, lagi, gue terlanjur bilang kalau kita akan pdkt dan nembak dia kayak orang pacaran pada umumnya." aku Andra gamang, seharusnya ia berpikir dulu tentang setiap kata yang terucap dari mulutnya, sehingga tidak berakhir pusing seperti ini. Inginnya bersikap cool dan berpengalaman soal cinta, tapi dia dibuat kelimpungan dengan janjinya. "Gimana caranya nembak Sasya coba, dia pengennya ditembak kayak gimana, Ko?"
"Lah, kok lo tanya gue, ya mana gue tahu." jawab Marko.
"Katanya lo mau bantuin tadi, gimana sih." kesal Andra melihat tingkah menyebalkan sang sahabat.
"Yang sederhana tapi berkesan aja Ndra, yang penting tetap romantis."
Sederhana dan berkesan, tolong beri Andra gambaran untuk itu. Ada banyak momen menyatakan cinta dari beribu manusia di bumi ini, dan yang mana yang berkesan untuk Sasya. Katanya Sasya ini akan orang berada, apakah Andra perlu membelikan sesuatu yang mewah? Atau mempersiapkan sebuah kejutan mewah berhadiah mobil? Ah, bagaimana ini, Andra mana punya cukup uang untuk membeli barang-barang mewah.
"Ndra?" panggil Marko tampak serius.
"Ya?"
"Gue mau berpesan sama lo." ujarnya pemuda itu serius, kali ini dari tatapan dan gerak-geriknya Andra bisa membedakan mana Marko serius mana Marko bercanda. Pemuda itu menghela napas untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengutarakan apa yang ada di benaknya. "Lo tahu kan penyakit Sasya parah?"
"Iya, tahu."
"Gue hanya berpesan, dalam perjanjian lo ini, jangan sampai jatuh cinta ya."
Andra tidak bodoh untuk mengerti maksud dari kalimat itu, tapi sejak awal pun tidak ada sama sekali rasa tertarik atau niat untuk benar-benar menyukai gadis itu. Apa yang dikatakan Marko benar, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi Andra sudah terlanjur masuk ke dalam permainan. Jika nanti ada yang tidak diharapkan terjadi, maka ia pun harus mempersiapkan diri. Kuncinya adalah jangan pernah jatuh cinta kepada Sasya. Itu saja maka hatinya akan aman.
Andra mengangguk, "Iya, lagian gue belum move on dari Rika, kok." jawabnya.
"Bagus kalau lo tahu, bukan maksudnya gimana Ndra, hanya saja lo pasti tahu alasan gue ngomong gini." Marko menunduk sedih, ia ingat kembali apa yang selalu diucapkan kedua orang tua Sasya kepada keluarga besar. Dulu, Marko selalu menyangkal saat orang-orang mulai merelakan hati untuk Sasya, tapi kini ia bisa mengerti. Berjuang melawan kanker itu bukanlah hal yang mudah, setiap harinya terasa seperti sebuah ketidakpastian akan hidup. Semangat untuk sembuh harus tetap menggelora di hati, tapi bagaimana pun manusia pasti punya titik lelah. Dan kedua orang tua Sasya merada di titik itu.
Percakapan kedua sahabat berakhir karena matahari yang mulai tenggelam, sebelum sinarnya benar-benar meredup dan hilang, mereka harus sampai di rumah tepat waktu. Bagi Andra kosan sudah seperti rumah dan tempat ternyaman seantero bumi.
Dan disini lah Andra merebahkan diri, di kasur empuk berteman ponsel yang terhubung ke kabel pengisi daya. Sepertinya teman-teman kosannya juga baru saja pulang, terlebih Ismail yang menyempatkan diri untuk menggedor pintu kamar Andra beberapa kali tapi tak mendapat jawaban.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya, dari Larasya. Cepat-cepat Andra membuka isi pesan itu, dia segera membulatkan mata setelah membaca apa yang tertera disana. "Gila nih cewek, dia udah kirim uang?" monolog Andra.
'Kak, aku sudah kirim uang ya, itu untuk DP dan uang untuk jalan, nanti aku tambah lagi.' Setidaknya begitu isi pesan dari Sasya yang membuat Andra nyaris berteriak saking senangnya, ini lebih gila karena Sasya mengirimkan sepuluh juta langsung ke rekeningnya tanpa menunggu hari esok. Apakah ini rasanya berpacaran dengan anak orang kaya?
Andra terduduk, ia menggulir layar ponselnya mencari nomor telepon Marko. Ada yang harus ia diskusikan dengan pemuda itu,
"Ko, Sasya transfer uang!" ujar pemuda itu langsung saat panggilan telepon mereka terhubung.
"Sabar, Ndra, sapa dulu kek!" ketus pemuda itu dengan suara serak khas bangun tidur, sudah bisa dipastikan Marko langsung tidur setelah sampai di rumah tadi. "Jagi gimana, Ndra?"
"Sasya kirim uang sepuluh juta, Ko. Katanya buat DP." ulang Andra.
"Ya bagus dong, berarti dia gak bercanda." jawab Markko enteng, pemuda itu mengulet di kasurnya. Ada-ada saja Andra ini, mengganggu tidurnya hanya untuk mengatakan bahwa sepupunya telah mengirimkan sejumlah uang. "Terus masalahnya dimana, Ndra?"
Andra terdiam untuk beberapa saat, benar juga, memang salahnya dimana, bukankah ini yang Andra inginkan. Mendapatkan uang untuk biaya ekspedisi seperti yang tertulis dalam perjanjian mereka, "Iya sih, tapi gue kaget aja, belum juga kerja tapi udah dibayar tuh gimana, Ko."
"Gak apa-apa, Sasya kan udah bilang kalau itu DPnya, terima saja Ndra." jawab Marko enteng, "Udah balas terima kasih belum?"
Andra menggeleng sekalipun Marko tidak akan bisa melihatnya, "Belum sih."
"Yaudah, bilang terima kasih sana."
"Okelah!" Andra mematikan teleponnya sepihak, di seberang panggilannya Marko sudah mengabsen nama-nama binatang untuk sang sahabat yang selalu seenaknya.
Gamang rasanya, harus menelepon atau membalas dengan pesan saja. Mau menelepon takut mengganggu, mau membalas dengan pesan rasanya kurang etis jika hanya mengetikkan kalimat terima kasih. Andra menatap room chat di ponselnya, menunggu sampai tulisan waktu terakhir dilihat itu berganti jadi online. Yap! Akhirnya online.
Baru saja hendak memencet ikon telepon, ada sebuah panggilan masuk ke ponselnya dari Rika, disusul dengan pesan bertuliskan.
'Tolong angkat, Ndra, ini penting banget. Plis, tolongin aku!'