"Yakin ini, Ko?"
"Kayaknya gue masih ragu deh, Ko." ujar Andra lagi.
"Apa sebaiknya gue batalin aja dan cari kerja di tempat lain ya, gue bisa kok jadi barista, lap-lap meja juga bisa." Andra masih mencoba meyakinkan dirinya sendiri, kalau ada opsi lain yang bisa dipilih jika saja ternyata ia berubah pikiran. "Atau jadi part time di restoran Padang juga bisa, gue bisa bawa piring banyak-banyak kayak pramuniaga disana."
"Gue kayaknya gak yakin, Ko." ujar Andra meragu.
"Apanya sih, Ndra? Dari tadi cuma yakin yakin aja, yakin tuh sama Tuhan bukan sama manusia, apalagi sama gue yang sesat ini." kata Marko jengah, sejak tadi Andra terus saja mengatakan kata itu. Yakin? Entah Andra benar bertanya atau hanya sedang meyakinkan diri sendiri. Ya, Marko paham ini soal hati, tapi tidak perlu serius juga, kan. Lagi pula hanya dua bulan saja kontrak kerja mereka.
Sebagai balasan, Andra hanya menepuk kuat bahu Marko. "Musyik gue kalo percaya sama lo."
"Ya, makanya, jangan yakin yakin terus." ketus Marko, "Katanya lo butuh uang, katanya mau ikutan ekspedisi Puncak Jayawijaya, ya ini adalah jalan yang diberikan sang pencipta untukmu, Andra."
"Iya, iya." jawab Andra terpaksa.
Andra menghentikan langkahnya saat mereka sampai di ruang rawat inap, lorong yang tidak terasa asing untuk dilalui Andra. "Kayaknya gue pernah kesini deh." guman Andra yang masih mampu didengar oleh Marko.
"Kapan?" tanya Marko penasaran.
"Emm.... waktu itu budheku patah tulang terus dirawat disini." jawab Andra, ia kembali melangkahkan kaki mengikuti Marko yang hafal dengan baik seluk beluk rumah sakit besar ini.
Sepulang kuliah, tepatnya pukul empat sore, Marko mengajaknya untuk menemui sepupu pemuda itu yang bernama Sasya. Sesuai dengan janji yang telah terucap untuk memperkenalkan Andra dengan calon klien yang akan menyewanya, begitu kata Icak. Andra mendengus sebal saat sang senior mengatakan hal semenyakitkan itu dengan gampangnya, dia merasa tak punya harga diri tersisa setelah mendengarnya. Tapi apa mau dikata, sepertinya menerima pernawaran Marko sudah menjadi takdir bagi Andra yang butuh sekali uang untuk berangkat ekspedisi.
Marko memutar bola matanya saat Andra diam termenung, bisa ditebak apa yang sedang pemuda tampan itu pikirkan. "Udahlah, Ndra. Kalau lo gak mau disebut sebagai pacar sewaan atau apalah itu, anggap saja lo sedang membantuku membahagiakan Sasya diakhir hidupnya." ujar Marko bersungguh-sungguh sambil merangkul bahu lebar Andra.
"Tapi, apa lo yakin gue bisa untuk membahagiakan sepupu lo?" Andra menatap sangsi, "Gue ini... lo tahu sendiri gimana bodohnya gue yang dipermainkan berulang kali sama Rika, tapi tetap mau-mau aja dijadikan 'rumah' penuh omong kosong itu. Gimana kalau nantinya gagal bikin dia bahagia dan berakhir menyakiti sepupu lo karena gue gak siap? Katanya keadaannya mengkhawatirkan, kalau dia makin drop gimana?"
"Lo gak perlu khawatir soal itu, bikin cewek bahagia itu mudah kan? Lo kan mantan playboy di semester satu dulu."
Andra memutar bola matanya mendengar jawaban Marko yang mengingatkan kembali pada masa awal menjadi mahasiswa, sumpah, Andra sangat terkenal saat itu karena paras tampan yang luar biasa menarik di mata para wanita. Kala itu, Andra senang sekali haha hihi dengan mahasiswi satu tingkatan atau pun berbeda tingkatan semester dengannya. Puncaknya saat pemuda itu masuk UKM Mapala, kadar ketampanan Andra langsung melonjak tajam, belum lagi dia sering membagikan foto-foto keren saat sedang mendaki puncak gunung. Foto terbarunya di puncak Lawu, mendapatkan ribuan like dari pengguna akun di Instagram.
"Ck, sialan lo!" umpat Andra.
"Hahaha, santai aja kali Ndra. Gue bakal bantuin dengan memberikan kiat-kiat PDKT kalau-kalau lo udah lupa caranya." balas Marko, pemuda itu menjentikkan jarinya. "Ada si Iis juga yang bisa ikutan bantuin, dia lumayan terkenal loh di kampus. Katanya banyak yang naksir sama dia tapi ditolak, yaa, si Iis kan sukanya sama Mira."
"Ismail, Ko, dia marah loh kalau namanya diganti Iis." koreksi Andra.
"Lah, kan lo juga yang pertama kali manggil Iis." Marko masih ingat pertama kali saat Ismail ditatar di halaman kampus oleh si killer Andra, pemuda itu menunduk lesuh dengan wajah tertekuk, terlebih saat Andra memanggilnya dengan nama Iis bukan Ismail.
"Emang iya? Kayaknya enggak deh." sanggah Andra.
"Dih, pura-pura lupa."
Langkah kedua pemuda itu sampai di ruang rawat inap nomor empat, ruangan yang berjejer dengan ruangan lainnya. Marko memberi kode untuk sedikit menjauh, pemuda itu tampak melihat dari celah kaca kecil yang ada di pintu. Setelah memastikan tidak ada orang lain yang berkunjung, dan Sasya ada di dalam. Marko segera mengetuk pintu itu dan melangkah masuk, diikuti Andra di belakangnya.
Ruangan rawat inap itu tampak bersih dan rapi, bau obat di dalamnya masih kuat menyengat indera penciuman Andra. Aroma yang membuat pemuda itu nyaris pusing, aroma khas rumah sakit. Saat pertama kali masuk, hal pertama yang pemuda itu lihat adalah seorang gadis terbaring menyamping dengan posisi membelakangi mereka.
Marko memberikan kode kepadanya untuk diam, sungguh, sejak tadi Andra belum membuka mulutnya.
"Sasya?" panggil Marko sambil mengguncang pelan bahu sepupunya.
"Sasya?"
"Sasya, bangun dulu Sya!" ujar Marko sedikit lebih keras.
Melihat Sasya yang sepertinya sangat nyenyak dalam tidurnya, Andra jadi tidak enak hati, pemuda itu menepuk bahu Marko. "Udah, Ko, gak apa-apa lain kali aja. Sepupu lo kasihan kalau tidurnya diganggu."
Baru saja Marko hendak berdiri, tapi gadis dengan infus yang terpasang di tangannya itu menggeliat lalu mengucek kedua matanya. Saat dia berbalik, gadis itu sempat terkejut melihat kehadiran Marko bersama seorang pemuda sebaya dengannya. Kening Sasya berkerut, "Ko? Kok kesini?"
"Iya, Sya. Ini ada yang mau ketemu sama kamu!" Marko menunjuk seorang pemuda yang berdiri mematung tak jauh dari mereka. Saat pandang mereka bertemu, dua pasang mata itu saling membulat.
"Loh! Kamu....."
"Kakak yang di kantin itu kan?"
Apa Marko yang tidak mengerti atau dia memang ketinggalan sebuah informasi yang penting tentang pertemuan Andra dengan Sasya yang tidak terduga. Mereka tampak saling kenal dari reaksi masing-masing saat bertemu pandang. "Kalian saling kenal?" tanya Marko bingung.
Sasya menggeleng sambil memperbaiki duduknya, ia juga memperbaiki sejenak topi rajut yang sedang ia kenakan. "Gak kenal, tapi dulu pernah ketemu Ko. Kakak ini dulu bantuin aku beli susu di kantin." jawabnya.
"Eh, iya Ndra?" Marko meminta jawaban.
"Iya, gue kan bilang budhe pernah dirawat disini. Hari itu pas mau ke kantin gue tersesat, terus kita ketemu, gak taunya dia sepupu lo Ko." balas Andra.
Sebuah takdir yang baik bukan? Mereka sudah pernah bertemu sebelumnya bahkan saling tolong menolong dalam kebaikan. Tentu ini akan menjadi awal yang baik.
"Jadi, kesini mau ngapain?" tanya Sasya pada Marko.
"Kamu ingat list terakhir di note kan? Yang pengen punya pacar itu."
"Oh iya, ingat!"
"Nah, aku kan bilang waktu itu kalau mau bantuin kamu buat cari pacar sewaan aja. Gimana kamu masih belum berubah pikiran kan, Sya?"
Andra hanya diam, ia duduk di kursi samping ranjang Sasya sementara Marko duduk di sebelah gadis itu. Ternyata dia adalah gadis berwajah pucat yang dia temui kala itu. Bukankah Andra sudah pernah bilang kalau dia sangat cantik sekalipun wajahnya pucat? Hari ini pun wajah itu masih pucat tapi tetap sangat cantik, belum lagi ekspresi yang ditunjukkan Sasya saat mendengar cerita Marko terlihat sangat lugu dan manis, lucu sekali bagaimana mata indah itu hilang tiap kali ia tersenyum atau bahkan tertawa.
"Gimana, Ndra?"
"Ndra?!" sentak Marko saat pemuda itu justru terpaku pada sang sepupu, dasar Andra! Belum apa-apa dia sudah terpesona dengan Sasya. Jadi? Dimana yang katanya tidak yakin itu.
Pemuda dengan kemeja flanel itu mengerjap bingung menatap sang sahabat, "Hah? Apa, Ko?"
"Jadi, gimana Ndra?" ulang Marko, "Lo setuju kan untuk jadi pacar Sasya selama dua bulan ke depan?"
"Eh..."
"Iya kan, Ndra?" desak Marko.
"I-iiya... iya, mau!" jawab Andra tergagap.
Marko dan Sasya sontak tertawa melihat ekspresi cengo pemuda itu, lucu sekali, tapi Andra malah merasa malu. Pemuda itu menggaruk kepala belakangnya sambil menyengir lebar, "Sorry, gak fokus, belum makan." jujurnya.
"Lah, lo belum makan dari tadi?"
"Mana sempet Ko, tadi dari sekre kan langsung kesini." Andra menunduk lesuh untuk menjawab pertanyaan Marko, agar dia merasa bersalah untuk perut keroncongan Andra dan otaknya yang sejak tadi mengirimkan signal untuk terus menguap. Andra tipikal manusia yang akan mengantuk saat lapar.
"Yaudah, kalau gitu gue beli makan dulu ya Sya buat Andra." ujar Marko sambil meletakkan tasnya dan mengambil dompet berlogo buaya itu. Tampak tipis kosong tak berisi karena Marko tidak banyak membawa uang cash, lebih senang menggunakan kartu kredit yang diberikan kedua orang tuanya. "Kalian kenalan dulu aja, nanti gue balik lagi, cuma sebentar kok!"
"Sasya mau nitip gak?" tanya pemuda itu sebelum menghilang dari balik pintu.
Gadis itu menggeleng, "Gak Ko, gak mau apa-apa."
"Oke!"
Hilangnya Marko membawa canggung melingkupi kedua remaja beranjak dewasa itu, mereka saling diam dan mati gaya. Ah, rasanya tidak, hanya Andra saja yang merasa berlebihan. Sasya tampak santai sambil memandang pemuda itu dengan senyum manis, jangan seperti itu Sya! Andra justru semakin mati kutu.