Kembali ke kosan sebelum jam tiga sore rasanya cukup aneh, para pemuda yang menghuni sebagian kamar disana juga belum pulang. Kebanyakan masih berada di kampus untuk menyibukkan diri di UKM, atau sedang nongkrong di cafe dengan teman-teman. Kehidupan mahasiswa perantauan tidak jauh-jauh dari itu, Andra sendiri menghuni kosan itu sekitar dua tahun. Setelah sebelumnya pindah dari kosan yang jaraknya cukup jauh dari kampusnya. Rata-rata penghuni kosan itu adalah mahasiswa dari kampus Andra dimana mereka merupakan junior dari berbagai tingkatan semester, ada juga dua senior yang tidak kunjung lulus.
D'Boejangan, nama kosan yang dihuni Andra. Berisi dua belas kamar dan terdiri dari dua lantai, kamar Andra berada di lantai bawah. Katanya, tak mau repot kalau harus mengangkat galon melewati tangga. Kos itu relatif dekat dengan kampus, berjalan bisa, naik sepeda bisa, naik motor juga bisa. Khusus untuk Andra, pemuda itu hanya punya sepeda yang menjadi temannya menuju kampus, beberapa orang lagi juga punya, dan mereka sering pergi bersama. Andra akan pulang hanya ke kampung halamannya saat libur semester saja, atau ada hari-hari penting dengan kereta. Lebih mudah dengan kereta, murah dan nyaman.
Sepi sekali sore ini, hanya satu pintu yang terbuka, yaitu pintu kamar Ismail. Mahasiswa teknik mesin semester empat yang santai. Salah satu juniornya juga di Mapala, Andra sudah sering bersikap galak dan killer kepadanya, tapi Ismail tetap saja santai bahkan cenderung berani kepadanya. Memang anak itu harus ditatar lagi.
"Bang Andra?"
"Kenapa Is?" tanya Andra tanpa menoleh, pemuda itu sibuk dengan kunci kamarnya yang tidak kunjung terbuka.
"Baru pulang, bang?"
"Baru bangun, Is?" pertanyaan Ismail dijawab Andra dengan pertanyaan juga, dilihat dari ekor matanya, Ismail tampak bersandar di pintu sambil mengucek matanya. Muka bantal itu adalah bukti bahwa juniornya itu baru saja terbangun dari tidur.
Ismail menguap lebar sambil menggaruk kepalanya, "Iya."
"Gak ada kelas?" pintu berhasil terbuka, Andra segera melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu dengan rapi. Kalau tidak dirapikan, pasti Ismail atau temannya yang lain akan iseng dengan memasukkan jangkrik ke dalam sepatunya. "Jam segini udah bangun tidur, pulangnya jam berapa?"
"Tadi jam sebelas, ada kelas pagi, terus siangnya kosong. Jadi pulang aja tidur." jawab Ismail.
"Padahal tadi dicariin Mira di sekre."
Kedua mata Ismail langsung terbuka sempurna mendengar nama Mira, gadis jelita yang menjadi pujaan hatinya beberapa bulan belakangan. Mira sendiri selalu menolak iktikad baik Ismail untuk mengenal lebih jauh, tapi ya namanya wanita pasti suka tarik ulur. "Seriusan ini?"
"Iya." jawab Andra, "Mana dia pakai baju, bwehhh, seksi banget hari ini."
"Aduhhh!"
"Eh, itu kayak si Mira gebetan Ismail, tapi kok ke sekre mana kelihatan bingung cari-cari sesuatu. Akhirnya kutanya, kan. Ngapain Mir ke sekre Mapala?" cerita Andra.
"Cari aku, bang?" tanya Ismail antusias, dia sampai mengikuti setiap gerakan Andra sampai masuk ke kamar kosannya.
Andra menggeleng sebelum menutup pintunya, "Enggak, cari solatip."
"Ihh!" baru saja hendak mengayunkan tangannya untuk menampol sang senior, tapi pintu sudah lebih dulu ditutup oleh Andra. Dia tahu pasti Ismail mencak-mencak di luar kosan, sayang sekali pemuda itu tidak bisa melihat Mira hari ini. Ismail pernah bercerita bahwa dia menyukai Mira karena badannya yang seksi dan berisi, dia merupakan tipe ideal wanita bagi seorang Ismail Adiguna.
Kembali ke dalam kos, Andra segera merebahkan tubuhnya di kasur berukuran sedang tempatnya mencari kenyamanan menuju alam mimpi. Andra menatap gamang pada langit-langit, tangannya meraih ponsel yang tersimpan di saku kemeja.
Beberapa menit lalu, Marko mengirimkan sebuah pesan, berisi foto dan nomor Whatsapp milik seorang gadis bernama Sasya. Andra membuka foto itu, dia pun menyimpan nomornya tanpa ragu. Larasya Rosaline Hariyono, terdengar berkelas dari kalangan atas. Ya, memang Marko juga notabene anak orang kaya, hanya saja senang berpenampilan gembel kalau kata Icak. Pemuda itu mengamati foto Sasya, cantik secantik namanya, tapi tunggu! Mengapa Andra merasa pernah melihat wajah ini sebelumnya, tapi dimana, ia lupa.
"Halo, Ko?" Andra menempelkan ponselnya ke telinga saat Marko menelepon.
"Halo, Ndra, gimana tawaran gue?" jawab Marko lewat panggilan teleponnya. Pemuda itu terdengar grusak-grusuk lalu kembali tenang, "Jangan lama-lama mikirnya Ndra, ini Sasya keburu berubah pikiran."
Andra memutar bola matanya malas, janji Marko akan menunggu jawaban Andra lusa, dia memberikan kesempatan berpikir dengan matang. Tapi apa sekarang, belum juga genap satu hari berlalu, Marko meneleponnya meminta jawaban. "Lo kenapa ngebet banget sih, janjinya kan gue jawab lusa."
"Sekarang aja kenapa sih? Lebih cepat lebih baik kok, Ndra." Marko berdecak sebal, itu terdengar sampai ke panggilan telepon mereka. Seandainya Andra bisa melihat, pasti Marko sedang jengkel. "Gini deh ya, gue yakinkan sekali lagi. Sasya itu anak bungsu tante gue, dia anak orang kaya kalau lo ragu nantinya biaya sewa lo gak dibayar cash. Tenang aja, semua biaya saat jalan atau pun makan ditanggung sama sepupu gue. Lo gak perlu ragu juga buat jalan sama dia, asal lo janji untuk jaga dia dengan baik."
"Bukannya gitu, Ko, gue ngerasa kayak... jual diri."
"Hush! Mulutnya dijaga ya, ini tuh bukan jual diri." ujar Marko penuh penekanan, Andra sampai menjauhkan ponselnya karena suara pemuda itu begitu lantang. "Denger ya, Ndra, gue cuma pengen sepupu gue merasakan senengnya punya pacar sebelum sisa waktunya habis."
"Memangnya keadaan dia separah itu?"
"Ya lo pikir sendiri aja lah, kanker ganas, udah stadium dua lagi." jawab Marko tegas, "Tugas lo tuh cuma satu, bikin dia bahagia itu aja, lo gak harus melayani dia lahir dan batin kayak yang lo bilang. Pacaran biasa, Ndra, kayak ABG aja pacarannya, yang alay gitu juga gak apa-apa."
Andra terdiam mendengar penuturan Marko, bimbang dan ragu rasanya kalau harus menerima semua itu dengan cepat. Dia memang butuh uang untuk biaya ekspedisi, tapi bukan dengan cara yang tak pernah terpikirkan seperti ini. Andra hanya sangsi, dia merasa jual diri karena tidak melakukan pekerjaan seperti seharusnya seorang laki-laki. Sebagai seorang laki-laki yang menjunjung tinggi pride, Andra tidak mau dicap sebagai cowok matre.
"Gue pilih lo, karena cuma lo yang bisa diandalkan untuk jaga Sasya, Ndra." ujar Marko setelah mereka lama terdiam, "Gak ada yang lebih bisa dipercaya selain lo, gue saranin Sasya untuk milih lo karena gue tahu lo orang baik. Ini adalah hari-hari terberat untuk dia, gue minta tolong satu ini aja Ndra, buat dia bahagia. Lo gak harus jatuh cinta juga, pura-pura juga gak apa-apa."
Ucapan Marko terasa menggorok hatinya yang beku, tembok patriarki yang dibangun tinggi kini mulai membuka celah. Andra lemah jika sudah dirayu seperti ini, oleh sebab itu juga Rika mudah sekali meruntuhkan hatinya. "Oke.... gue mau!" jawab Andra.
"Beneran?!"
"Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Gue harus ketemu dulu sama sepupu lo, baru gue bilang syaratnya apa."
"Itu bukan masalah besar pak bos, beres! Kalo lo minta hitam diatas putih pun kita sanggup." jawab Marko dari seberang panggilan, "Besok kita ke rumah sakit buat ketemu Sasya."