Chereads / Desember Yang Belum Usai / Chapter 4 - Di balik cerita

Chapter 4 - Di balik cerita

Cerita Marko berlanjut hingga kisah yang menjadi awal dari kesedihan yang mendera hati, kisah itu terpusat pada seorang gadis cantik sepupunya. Siapa lagi jika bukan Sasya, putri bungsu yang sedang mati-matian berjuang melawan kanker ganas. Benar seperti yang dikatakan Andra bahwa harapan hidup untuk penderita kanker ganas sangatlah sedikit, mengingat bagaimana penyakit itu begitu berbahaya dan menyerang jaringan tubuh lainnya.

Marko menerawang jauh ke masa-masa dimana Sasya baru saja memulai kuliahnya, dialah yang mengantar gadis ceria itu untuk mendaftar di universitasnya. Akan lebih mudah jika ada yang bisa diandalkan untuk memantau Sasya kedepannya, tapi sangat disayangkan, belum juga bisa merasakan bangku kuliah atau mendapatkan teman baru. Kanker itu datang menyerangnya, mengambil seluruh waktu yang seharusnya digunakan untuk menuntut ilmu jadi terfokus pada kesehatan.

"Pulang? Pulang gimana?" tanya Marko kepada si gadis cantik pagi tadi, tepatnya saat ia berkunjung ke rumah sakit.

Sasya mengangguk, "Iya, pulang. Pulang ke rumah."

"Kok pulang?"

"Kamu gak senang aku pulang?" tanya Sasya sedih, "Katanya tante mau masakin rica-rica buatku."

"Iya senang, tapi...."

"Kata dokter aku boleh pulang dan rawat jalan, jadi gak perlu lagi tinggal di rumah sakit. Pengobatan bisa dari rumah, aku cuma perlu rutin pemeriksaan seminggu sekali katanya."

Marko hanya bisa mengangguk kala itu, semua pertanyaan di otaknya tidak lagi bisa tersampaikan melihat senyum manis yang terus saja mengembang itu. Dia tahu betapa Sasya ingin pulang. Bayangkan saja harus tinggal di rumah sakit berbulan-bulan untuk menjalani pengobatan yang sangat melelahkan, belum lagi biaya rumah sakit yang tak sedikit. Sasya memang berasal dari kalangan atas dan tergolong mampu, tapi pasti punya titik lelah untuk semua itu.

Sekar meninggalkan Marko bersama Sasya, Manda kembali ke kantornya tanpa sepatah kata dan hanya terfokus pada layar ponsel.

Sebuah buku harian kecil mengalihkan perhatian Marko, terlebih saat buku tak terduga itu dikeluarkan dari laci oleh pemiliknya tadi. Baru tahu juga kalau selama ini Sasya rajin menulis diary, ya, itu pasti salah satu cara untuk mengatasi rasa bosan. Marko mengerutkan kening, wajah pucat yang terus tersenyum cerah itu kini berubah sendu, dari sorot matanya syarat akan kesedihan dan putus asa. "Kenapa, Sya?" tanya Marko.

"Gak apa-apa."

"Itu buku apa?"

"Ini buku diary, tapi di dalamnya juga ada list yang ingin aku wujudkan sebelum pergi."

Kerutan di dahi Marko semakin tercetak dengan jelas, "Pergi kemana? Pergi dari rumah sakit ini maksudnya?"

Si gadis menoleh lalu tersenyum, "Pergi untuk selamanya, Ko."

"Maksudnya?!"

"Aku penderita kanker ganas stadium dua, gak ada harapan hidup untuk aku Ko." ujar gadis itu sambil menatap lekat pada manik mata sang sepupu. Tanpa berkata pun, semua rasa sedih itu terpancar jelas di bening teduh sorot itu. "Pulangnya aku, itu bukan karena sembuh tapi karena mama yang meminta. Aku salah memang, tapi gak sengaja curi dengar saat mama bicara sama dokter."

Marko hanya bisa terdiam, di ruangan sunyi itu hanya detak jarum jam yang terdengar sebelum si gadis kembali membuka suara. Marko masih mencoba membaca arah percakapan mereka, merasa linglung dengan perubahan suasana hati Sasya, tadi gadis itu bahagia, tapi mengapa sekarang justru sebaliknya. "Aku gak ngerti, Sya."

"Kamu gak perlu mengerti Ko, kamu cukup ada disampingku saja." jemari lentik yang kurus nan pucat itu meraih tangan Marko, menggenggamnya erat untuk mencari kehangatan pada dekap tangan itu. "Dokter bilang gak ada harapan hidup untuk aku, sel kanker itu bukannya hilang justru semakin bertambah. Sekarang mulai mempengaruhi otak dan jaringan lainnya. Kamu pasti tahu maksud dari kepulanganku, dokter dan perawat sepertinya sudah tidak sanggup lagi mengusahakan kesembuhan."

"Tapi kamu tenang saja, aku sudah ikhlas menerima semua ini. Sakit itu melelahkan, kalau dengan pergi aku akan tidak sakit lagi, maka aku ikhlas, Ko."

"Jadi aku membuat list ini sebagai sepuluh hal sederhana yang ingin aku wujudkan sebelum benar-benar pergi. Aku juga pengen merasakan kehidupan yang normal dan baik sekalipun hanya sebentar saja. Tapi, Ko, kurang satu saja yang belum tercentang dari listku."

"Ko? Kamu mau kan bantu aku wujudkan semua list ini?"

Marko hanya mengerjap pelan, dirinya dibuat mematung dengan serangkaian ucapan penuh putus asa itu. Ah, dasarnya kapasitas otak Marko ini sangat sedikit sehingga sulit menangkap maksudnya, tapi kalau masalah game online atau pun banyolan, Marko langsung cepat tanggap.

Pemuda itu dibawa untuk melihat sepuluh list sederhana yang dibuat oleh Sasya, kesembilan list itu sudah diberi checklist yang mana artinya sudah tercapai dengan baik. Hanya tinggal satu saja, yaitu punya pacar. Marko langsung menatap Sasya penuh tanya, "Punya pacar?"

Gadis itu mengangguk, "Ya, aku pengen punya pacar sebelum pergi."

"Yakin ini? Gimana cara mewujudkannya?"

"Makanya aku tanya kamu, gimana caranya?"

"Aku..... aku gak tahu, Sya."

Si gadis menunduk sedih, dia menatap buku harian itu dengan gamang. Keinginannya untuk punya pacar adalah salah satu yang paling Sasya inginkan sejak lama, seperti apa rasanya punya pacar? Seperti apa rasanya jatuh cinta, cemburu, dan patah hati? Sasya ingin merasakannya walaupun hanya satu kali seumur hidupnya. "Kamu kan punya banyak teman, Ko, mau tidak mereka jadi pacarku? Sebulan saja, hanya satu bulan saja."

"Teman-temanku?"

"Iya, kamu kan populer di kampusmu. Pasti punya banyak teman-teman kan."

"Ya iya sih." Marko menggaruk kepalanya yang tidakk gatal, mau menjelaskan tentang konsep pacaran kepada Sasya tapi itu tidak akan ada gunanya. Yang diinginkan hanya punya pacar paling tidak untuk satu bulan, itu memang bukan waktu yang lama. Tapi siapa yang mau menjadi pacar Sasya, itulah yang jadi permasalahannya. "Gimana kalau aku aja yang jadi pacarmu? Aku kan jauh lebih mengerti kamu, Sya. Aku lebih cakap untuk melindungimu, kan."

Ide yang bagus, tidak perlu cinta juga karena keinginan Sasya hanya punya pacar. Seorang pemuda dengan status kekasihnya, jika itu Marko pasti akan mudah untuk mengawasi kesehatan dan kesembuhan gadis itu juga. Tapi Sasya menggeleng tegas, "Aku gak mau kalau orang itu kamu, kan, kita saudara sepupu. Ya gak asik dong, kamu kan sudah mengenalku sejak kecil. Aku ingin mengenal orang baru, Ko, siapapun asalkan dia mau jadi pacarku."

"Pacar sewaan dong jatuhnya." celetuk Marko.

"Pacar sewaan? Memang seperti itu ada?"

Marko mengangguk, "Ada saja lah, kamu hanya perlu membayar sejumlah uang untuk menyewa seseorang agar mau menjadi pacarmu. Lagi pula, kamu hanya ingin punya pacarkan, bukan untuk membuatnya jatuh cinta kan."

"Aku saja yang jatuh cinta, dia jangan sampai!" Sasya mengangguk setuju dengan ide dari Marko, bagaimana lagi caranya seorang gadis yang tak punya circle pertemanan mau mendapatkan pacar dalam waktu dekat. Salah satu cara yang paling cepat dan masuk akal adalah menyewa seorang pemuda untuk menjadi pacarnya, dalam satu atau dua bulan, dan Sasya akan membayar untuk sewa jasanya.

Yang penting kan, bisa merasakan punya pacar dan jatuh cinta, itu saja. "Idemu bagus juga, Ko, kamu ada pandangan?"

"Ada beberapa sih, tapi ini benar ya kamu mau membayar untuk sewa pacar?" tanya Marko memastikan, "Jaman sekarang mana ada yang mau jadi pacar tanpa rasa cinta, kalau alasannya bukan uang, Sya."

"Kamu tahu kan, Ko, uang gak pernah jadi masalah buatku."

"Aku akan carikan pacar sewaan untukmu, Sya, dijamin tidak akan mengecewakan kali ini." ujar Marko dengan penuh percaya diri, dia bagaikan makcomblang. Masalah yang terpilih untuk mendapatkan jackpot itu urusan nanti, yang terpenting adalah cakap, bisa melindungi, dan memberikan kasih sayang selayaknya seorang kekasih kepada Sasya.

Kedatangan Marko ke sekre salah satunya untuk mendapatkan pandangan, siapa orang yang dia kenal dengan baik dan bisa menjaga Sasya sebaik dirinya. Entah mau bilang ini kebetulan atau memang sudah menjadi takdirnya, saat dia sibuk memilih kandidat yang cocok. Andra datang dengan keluh kesah tidak punya uang, biaya untuk ekspedisi tidak akan sanggup didapatkan Andra jika hanya part time di cafe atau restoran.

Icak menjentikkan jarinya setelah mendengar cerita panjang kali lebar dari Marko, "Kenapa lo gak jadi pacarnya sepupu Marko aja, Ndra?!" celetuknya lancar.

Andra membulatkan mata, "Jangan ngadi-ngadi deh, bang!"

"Gak apa-apa, Ndra, dia berani bayar berapa pun buat sewa lo jadi pacarnya. Mau part time dimana buat cari kurangan uang sebanyak itu, katanya lo mau mewujudkan mimpi mendaki puncak Jayawijaya. Ini kesempatan emas ada di depan mata, Ndra, lumayan." Icak mulai meracuni akal sehat Andra dengan tawaran yang menggiurkan, tatapan Marko pun terlihat setuju dengan hal itu.

"Gak ah!"

"Yakin lo? Gak nyesel?"

"Yakin kok...."

Icak mengendikkan bahunya, "Ada pekerjaan bagus ditolak, yaudah, Ko. Cari yang lain aja, Andra gak mau soalnya."

"Padahal kalo sama Andra gue jadi tenang mau ninggalin Sasya sama dia, yah, harus cari cowok lain deh." ujar Marko penuh kecewa, "Berapa pun lo minta juga dikasih, Ndra. All bills on her, kalau kalian mau jalan. Sepupu gue ini, anak orang kaya, lo jangan takut diporotin sepupu gue."

Andra mendengus mendengar ucapan Marko, bukan sepupu pemuda itu yang memeras uangnya, melainkan Andra nantinya kan. Jika tawaran itu diterima, rasanya Andra ini sedang menjual dirinya untuk menjadi pacar secara cuma-cuma, dibayar lagi. Pride sebagai pria akan lenyap begitu saja, Andra memang butuh uang, tapi tidak sudi jika harus menjual harga diri. Tergiur? Jelas sangat menggiurkan, tapi ragu-ragu dengan egonya.

"Yakin lo gak mau?"

Andra menggeleng, "Gak."

"Sekali lagi gue tanya, yakin lo gak mau?"

"Emang tugas gue apaan nantinya?"

Icak dan Marko sontak tertawa melihat Andra mulai goyah, sok jual mahal padahal aslinya tergiur juga dengan tawaran itu, "Gue gak sudi ya kalau harus melayani lahir dan batin, gue masih suci!"

"Sembarang lo! Lo pikir sepupu gue gak suci!" tangan Marko terangkat untuk memberi jitakan keras di jambul kesayangan Andra. "Yang perlu lo lakukan hanya membahagiakan dia di saat-saat terakhirnya, kayak yang lo bilang tadi, sepupu gue gak punya harapan hidup. Ya, dia tahu soal itu, makanya sebelum pergi dia pengen ngerasain punya pacar."

"Yang lo lakuin simple, Ndra, kayak pacaran pada umumnya, ajak ngobrol, cerita-cerita, makan, jalan-jalan di taman, nonton bioskop, lo cuma perlu pura-pura memberikan kasih sayang sama sepupu gue. Biar sekali aja dalam hidupnya merasakan jatuh cinta."

"Kalau lo mau, lusa deh gue kenalin sama dia." ujar Marko, "Satu hari besok lo pikir matang-matang untuk menerima tawaran ini atau menolak, lo punya hak untuk menolak kok."

"Gue pikir dulu deh."

"Okey!"

"Btw, namanya siapa?"

"Sasya, Larasya Rosaline Hariyono."