"Udah deh, Rik, capek, mending pergi deh!"
"Kita tuh gak ada titik temu lagi, mending pergi aja. Cari cowok lain yang bisa menerimamu dengan baik."
"Tapi aku maunya kamu, Ndra." ujar gadis cantik dengan lesung pipi itu, tangannya tidak tinggal diam saat Andra meronta minta untuk dilepaskan. Tidak sampai Andra mau kembali menjadi kekasihnya. "Cuma kamu!"
"Tolong berhenti, Rik! Aku capek."
"Gak!" Rika menggeleng keras, tidak akan mau melepaskan pemuda itu sampai kapanpun. Di koridor deretan ruang UKM yang ramai, Rika malah mengajak Andra untuk memainkan drama mereka lagi. Ah! Mau ditaruh dimana wajah tampan Andra di anak Mapala yang terkenal galak kepada para junior. "Kamu itu rumah aku, aku cuma mau kamu, Andra."
"Udah gila lo!"
Andra semakin tertekan dengan tingkah gila gadis itu. Mantan pacar kelimanya yang masih berharap untuk menjadi kekasihnya, salah siapa dulu Andra ditinggalkan, kini pemuda itu tidak akan sudi untuk kembali bersama dengannya. "Pergi!"
"Gak!"
"Pergi, Rik! Jangan menguji kesabaran gue!"
"Gak, Andra kita bisa jadi pacar lagi. Aku janji akan berubah, janji!"
"Pergi!" Andra menyentak kuat tangannya hingga cekalan tangan itu terlepas. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memberikan serangkaian ucapan yang menyayat hati Rika. "Gue gak sudi balikan sama lo, sampai mati pun!"
Andra pernah sangat bodoh dengan menjadi seseorang yang gadis cantik itu sebut sebagai 'rumah' tempatnya untuk kembali setelah lelah berpetualang. Empat kali Andra ditinggalkan dengan alasan bosan, lalu pemuda itu akan menunggu Rika untuk kembali. Tiga kali mereka balikan, dan yang terakhir ini Andra sudah tidak sudi lagi. Baru tersadar ia dari cinta buta yang tidak sejalan dengan bahagia itu, baru sadar bahwa selama ini telah dibohongi oleh mulut manis dari Rika Maharania, mantan kekasihnya. Gila memang, omong kosong yang gadis itu sebut sebagai rumah adalah kebohongan terbesarnya.
Pemuda itu melangkah pergi tanpa mau menengok lagi, siang yang terik ini tujuannya adalah sekre UKM Mapala, dimana dia baru saja akan mendapatkan berita gembira. Begitu kata seniornya, Bang Icak namanya, ya, Andra sudah semester akhir tapi masih punya senior yang belum lulus. Kalian pasti bisa menebak sendiri alasannya. Icak adalah salah satu yang paling dikagumi oleh Andra karena jiwa petualangan pemuda itu yang tidak pernah ada matinya. Icak hampir mendaki semua puncak tertinggi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, beberapa gunung di Sumatra dan puncaknya ia akan mengikuti sebuah ekspedisi yang menjadi mimpi terbesar bagi ribuan pendaki yang ingin menapakkan kaki di puncak tertinggi bumi pertiwi.
Tepatnya sekitar dua bulan lagi, sebuah ekspedisi akhir tahun akan dilaksanakan dengan penuh suka cita, yakni Ekpedisi Puncak Jayawijaya di Papua. Itu adalah mimpi Andra sejak masih kecil, ketertarikan pemuda itu pada mendaki sudah terbentuk sejak kecil, tepatnya saat sang ayah sering mengajaknya berpetualang mendaki puncak bukit di sekitar kampung tempat tinggalnya.
"Gimana, Ndra?" tanya Icak saat Andra sampai di sekre dengan wajah masam, ah, sudah tertebak keributan apa yang mengganggu tidurnya di depan koridor tadi. Semua pasti bersumber pada Andra dan Rika.
"Gak tahu, bang." jawab Andra.
"Kok gak tahu?"
"Iya, gak punya biaya buat ikutan ekspedisi, pasti juga biayanya gak murah kan?"
"Duh, iya sih, kita bakalan stay beberapa hari juga disana." jawab Icak memahami Andra yang kesulitan ekonomi, juniornya itu bukan berasal dari keluarga yang kurang berada, tapi sepertinya untuk kali ini kedua orang tuanya keberatan. Mau menyarankan bekerja pun tidak pasti juga apakah cukup untuk semua yang Andra butuhkan disana. Biaya untuk ekspedisi kali ini memanglah tidak murah, sama sekali tidak murah, hingga Icak pun harus menguras habis tabungannya.
Andra menghela napas lelah, "Ayah sama ibu gak keberatan untuk bayarin satu semester lagi yang tertinggal, tapi kalau ekspedisi itu, mereka gak sanggup. Abangku baru aja pindah rumah sama istrinya, butuh biaya yang banyak."
"Sabar ya, Ndra."
"Kenapa gak part time aja sih, Ndra?" celetuk Dino, sekretaris UKM Mapala satu angkatan dengan Andra. Nasibnya sama, masih enggan untuk meninggalkan kampus dan mendapat gelar sarjana.
"Ide bagus tuh!"
Andra menoleh kepada Marko yang baru saja sampai di sekre, dia dengan wajah sendu langsung menimpali saran dari Dino. "Boleh dicoba tuh, Ndra, siapa tahu bisa nambahin uang buat ekspedisi lo kan. Btw, tabungan lo ada berapa?"
"Tabungan?"
"Iya, tabungan lo berapa?"
Icak dan Dino ikut mengalihkan perhatian mereka dari layar ponsel.
"Palingan cuma lima jutaan, Ko."
"Waduhh!" Marko menepuk dahinya sendiri, "Masih kurang banyak banget yak, minimal lo pegang uang belasan juta buat memastikan ikut ekspedisi dengan baik tanpa kekurangan suatu apapun, yakan Bang?"
Icak ikut mengangguk, "Ya iya sih, Ndra."
Masalah Andra sudah jelas sangat pelik, waktunya hanya dua bulan untuk mempersiapkan segalanya, dan itu tidak akan cukup. Andra menunduk sedih, tapi yang paling terlihat sedih justru Marko. Pemuda ceria itu entah mengapa datang dengan raut wajah sedih, tingkah banyolnya hilang, dan canda jenaka itu juga tidak muncul siang ini.
Tak hanya Icak yang penasaran, Andra pun demikian, dia malah melupakan masalahnya dan fokus pada diamnya Marko. Untuk sejenak, Andra dan sang senior saling tatap, memberi kode untuk meminta satu sama lain bertanya. "Ko?"
"Ya?"
"Kok lo kelihatan sedih gitu?" tanya Andra, "Lo diputusin pacar atau gimana?"
"Gue mana punya pacar sih, Ndra."
"Terus kenapa lo mode AFK gitu?"
Marko menghela napasnya sebelum menatap Andra dan Icak bergantian, beginilah resiko menjadi orang yang selalu periang, termenung sedikit saja sudah sangat terlihat jelas. Pemuda tampan itu menimbang lagi apakah akan menyampaikan keluh kesahnya kepada kedua sahabat baiknya, apakah mereka bisa mengerti?
"Lo tahu kan, sepupu gue sakit kanker?"
Icak dan Andra menggeleng.
"Ck! Udahlah, males."
"Yeee, lo gak pernah cerita. Gimana kita bisa tahu!" jawab Icak, "Ya kan Ndra, gak pernah cerita kan?"
"Lo gak pernah cerita, Ko." balas Andra.
Marko menatap ke luar sekre lewat pintu dan jendela kecil di sampingnya, di luar ada banyak mahasiswa berlalu-lalang melintas di koridor. Mereka saling berbincang dan bercanda tawa, membahas segala hal yang menarik untuk dibicarakan. Senang pasti rasanya memiliki banyak teman, satu hal yang tidak Sasya miliki sejak kecil. Ada satu, namanya Danila, tetangga sekaligus teman satu-satunya Sasya. Tapi Nila pun sedang sibuk dengan perkuliahannya.
"Kayak dua tahun lalu deh, sepupu gue didiagnosis kanker ganas." ujar Marko sendu, "Udah menjalani serangkaian pengobatan, operasi, terapi, tetap aja gak ada hasilnya. Kata dokter sel kankernya justru tumbuh semakin banyak dan menyebar di otak."
"Tadi pagi gue datang ke rumah sakit buat jengukin, mendadak katanya, lusa atau minggu depan udah boleh pulang. Gue bingung padahal kata mamanya, sepupu gue kanker ganas stadium lanjut."
"Pulang?!" Dino membulatkan matanya mendengar cerita dari Marko, "Dia udah sembuh berarti ya? Bagus dong!"
Icak menepuk bahu Dino keras, hingga sang sekretaris Mapala itu mengaduh sakit. "Dia kanker ganas, stadium dua loh!"
"Iya, No. Harapan hidup untuk penderita kanker ganas dalam lima tahun kedepan bisa turun sampai tujuh puluh persen, di stadium dua." tambah Andra, ia mendapatkan pengetahuan karena rajin membaca mading yang kebetulan pernah memuat seputar kanker.
"Makanya, gue bingung, kenapa dia boleh pulang." ujar Marko, "Apa rawat jalan emang udah bisa dilakukan buat sepupu gue ya?"