Terus terkurung dalam kesedihan dan keputus-asaan itu adalah sesuatu yang buruk, pada akhirnya nanti hanya akan ada kegelapan di akhir bukan cahaya yang selama ini ingin dicari. Tapi, adakah harapan untuk Sasya di kehidupan ini? Adakah lebih banyak waktu yang bisa ia miliki untuk merangkai cerita kehidupannya.
Gadis dengan wajah pucat itu menatap beberapa butir obat di tangannya, lalu beralih pada segelas air yang diberikan sang ibu. Pagi ini ia harus minum lima butir obat, siang nanti tiga butir, dan malamnya kembali lima butir. Seperti itu terus selama lebih dari satu tahun setelah dokter memberi diagnosis bahwa gadis malang itu mengidap Glioblastoma atau yang umumnya disebut kanker ganas yang bersarang di otaknya. Serangkaian operasi dan pengobatan telah ditempuh, termasuk terapi yang melelahkan juga sudah dilakukan. Tapi kesembuhan bagaikan hal yang semu bagi Sasya. Bukannya sembuh, kanker itu malah semakin tumbuh hingga stadium dua, kian mengikis harapan hidup bagi si gadis jelita.
Namanya Sasya, lengkapnya Larasya Rosaline Hariyono, gadis cantik berusia dua puluh tahun yang menghabiskan hari-harinya di rumah sakit. Sosok ceria dan rendah hati itu harus mengambil cuti kuliah untuk fokus pada kesembuhannya. Sejak didiagnosis penyakit mematikan ini, kedua orang tuanya benar-benar memprioritaskan kesembuhan sang putri bungsu lebih dari apapun. Sasya terlahir dengan fisik yang lemah sejak kecil, oleh karenanya ia mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang tuanya. Dibandingkan kedua kakaknya yang terlahir baik, kedua orang tuanya lebih memfokuskan diri pada perawatan si bungsu. Hal ini lah yang membuat kedua kakaknya sering kali merasa iri, terutama sang kakak perempuan.
Sejak sekolah dasar, gadis malang itu harus bersekolah di rumah karena kesehatannya. Dia sangat mudah jatuh sakit dan memerlukan waktu yang lama untuk sembuh. Home schooling mungkin terdengar keren, tapi percayalah itu sangat membosankan, baru saja hendak menghirup aroma bangku perkuliahan, Sasya sudah tidak bisa ikut merasakan masa kuliah karena penyakitnya.
"Ayo, Sya, minum obatnya dulu."
"Harus ya mah?"
Pertanyaan itu membuat sang ibu membulatkan mata, "Ya harus dong nak, biar cepat sembuh kan." ujarnya sambil mengelus puncak kepala sang putri. Beberapa rambut Sasya mulai tumbuh kembali setelah menjalani kemoterapi yang melelahkan, tapi gadis itu harus tetap memakai topi beanie untuk membuat kepalanya tetap hangat. Tidak percaya diri juga saat harus keluar dari ruangan itu dengan keadaan botak, Sasya akan terlihat menyedihkan, dan dia benci tatapan kasihan dari orang-orang di rumah sakit itu kepadanya.
"Kalau Sasya gak sembuh gimana mama?"
"Hush! Kamu ini ngomong apa, kamu pasti sembuh sayang. Mama janji kamu akan sembuh, akan cantik lagi, akan kuliah lagi."
Gadis bernama Sasya itu tersenyum manis, "Iya mama."
Hanya jawaban itu yang keluar dari sekian kalimat yang ingin ia sampaikan kepada sang mama, malaikat yang selalu mendampingi Sasya menjalani hari-hari berat sebagai penderita kanker. Jika saja tidak ada Sekar Widari, ibunya, Sasya sudah memastikan diri untuk menyerah saja dari sakit ini. Setiap kali rasa sakit itu kambuh, rasanya seperti ingin mati saja agar tidak lagi merasakan sakit. Hanya Sekar yang tetap tabah menemani putri bungsunya terapi dan pengobatan.
Sasya menenggak obatnya satu persatu, terasa pahit dan ingin muntah setiap kali obat keras itu masuk ke dalam tubuhnya.
"Pahit!" keluh Sasya.
"Ya iyalah pahit, itu obat bukan gula."
"Manda, jangan gitu ihh!" ujar Sekar, ia menoleh kepada anak keduanya yang duduk sambil menumpukan kakinya di meja, Amanda namanya, kakak kedua dari Sasya.
Manda memutar bola matanya malas, lalu kembali fokus pada layar ponselnya. Jika bukan karena permintaan sang mama, dia tidak akan mau repot-repot meninggalkan kantornya untuk berkunjung ke rumah sakit. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu adalah seorang pengacara, setelah lulus dengan predikat terbaik di universitasnya. Universitas yang seharusnya menjadi tempat Sasya mengejar mimpi untuk menjadi seorang dokter. "Ya habisnya, bodoh banget! Udah tahu obat itu dimana-mana ya pahit, kalau manis itu namanya gula."
"Manda, tolong bicaranya sedikit dijaga, nak."
"Kenapa sih mah? Emangnya Sasya bakalan mati sama ucapanku? Yang bisa bikin dia mati itu penyakitnya bukan aku."
"Manda!"
Sekar hendak memberi peringatan kepada putrinya, tapi tangannya digenggam oleh putrinya yang lain. Sasya tersenyum lembut, "Gak apa-apa mama, mungkin kakak lagi datang bulan." ujarnya lirih dengan jenaka. "Biasalah cewek kalau lagi pms emang gitu, kayak macan, roarrr!"
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Sekar, sang mama pun melangkahkan kakinya untuk membuka pintu. Jika harus menunggu Manda berinisiatif, pasti sampai pintu itu berlubang tidak akan mau.
Rupanya Marko, pemuda dengan senyum ceria itu datang berkunjung sebelum berangkat menuju kampusnya, kampus yang sama dengan Manda dulu.
"Ehh, Marko, ayo masuk!" ajak Sekar.
"Iya, tante!"
"Kamu gak kuliah?"
"Kuliah tante, tapi masuknya siang." jawab Marko, sepupu Sasya itu juga datang bersama tas kosongnya. "Nanti sekitar jam satu baru mulai kelasnya tante, jadi kesini dulu sekalian lihat si cantik, Sasya."
Sasya hanya memutar bola matanya, kehadiran Marko akan menambah warna dari suramnya kamar inap pagi ini. "Yaudah kamu duduk dulu, udah sarapan belum?"
"Sudah tante, tadi mama masak rica-rica pedes banget!"
"Wah, enak itu!"
"Enak banget tante." jawab Marko sambil memberikan kedua jempolnya, masakan sang mama adalah yang paling enak di dunia, berdasarkan lidah otentik Marko Stevian Haryo, anak jurusan teknik elektro semester akhir.
Hadirnya Marko membuat Sekar tenang, lebih baik meninggalkan sang putri bungsu bersama Marko daripada Manda. "Tante mau ke kantin dulu sarapan, kamu mau nitip apa?"
"Eh, gak usah tante."
"Kalau Sasya mau nitip apa nak?"
"Susu aja mama."
Sekar pun pergi dari ruangan itu, disusul oleh Manda yang terlihat sibuk sambil mengangkat panggilan teleponnya. Rupanya menjadi pengacara memang sesibuk itu ya, ada banyak kasus yang berhasil ditangani oleh pengacara hebat seperti Amanda.
Marko mendekat, duduk manis di kursi samping ranjang si gadis cantik. Usia mereka terpaut tiga tahun, dan Marko selalu menganggap Sasya sebagai adiknya sendiri. "Apa kabar?"
"Kemarin kamu datang lo, aku baik-baik aja."
"Iya ya, lupa!" Marko tersemyum memamerkan deretan giginya yang rapi. "Udah minum obat belum?"
Sasya mengangguk, kunjungan Marko tidak lain hanya untuk menanyakan kabar dan mengobrol seperlunya. Tapi itu sudah cukup untuk mengobati rasa bosan dan kesepian yang selalu hadir saat menghabiskan hari-hari di rumah sakit. Ayah dan ibunya sibuk, sekalipun sang ibu selalu menyempatkan waktu, tapi itu hanya di pagi atau malam hari. Kedua kakaknya apalagi, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Biasanya Sasya hanya mengobrol bersama dokter dan perawat, juga temannya yang lain di bangsal perawatan kanker.
"Capek deh, Ko, minum obat terus." keluhnya.
"Yah, gak boleh capek Sya, kan biar cepat sembuh."
"Gak sembuh-sembuh." guman Sasya.
"Nanti juga sembuh." Marko meraih kedua tangan kurus itu, dingin dan tak bertenaga. Tangan Sasya langsung lenyap terkurung tangannya yang besar. "Sabar ya, percaya deh, nanti juga sembuh. Pasti bisa sembuh! Kan mau main ke rumahku lagi, nanti dimasakin rica-rica sama mama."
"Rica-rica terus..."
"Yaa, mama bisanya bikin rica-rica." jawab Marko. Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, itu artinya Sasya baru saja selasai sarapan dan meminum obatnya. Marko menatap botol obat dan si gadis yang terduduk dengan santai di ranjangnya, "Obatmu tambah lagi?"
Sasya mengangguk, "Iya, sebentar lagi kata dokter aku boleh pulang untuk rawat jalan. Aku udah membaik dan rambutku juga mulai tumbuh."
Topi rajut itu dibuka, dan menampilkan beberapa bagian di kulit kepala Sasya yang mulai tumbuh. Marko hanya bisa tersenyum dan kembali memasangkan topi milik sang sepupu dengan benar, "Iya, berarti sebentar lagi kamu ke rumahku buat makan rica-rica."
Entah mengapa kalimat penuh binar bahagia itu terasa menyakitkan, sepertinya pulang yang dimaksud Sasya bukan berarti bahwa gadis itu telah sepenuhnya sembuh. Sel kanker itu masih ada dan terus berkembang di kepalanya, tapi tidak tahu juga mengapa dokter mengizinkannya melakukan rawat jalan.
Marko pun mulai menceritakan kisah seputar hari-harinya di kampus, tentang UKM Mapala kebanggaannya, juga tentang diktat memusingkan yang harus dipelajari untuk bahan skripsi. Setidaknya itu bisa membuat Sasya kembali merasa hidup dan melupakan rasa sakitnya.