Part 27 Pengantin Baru
"Tyas, coba kamu, bicara, Bapak, pasti mendengar. Ayo, Nduk, bicaralah!" titah sang paman. Dengan menahan tangis, Tyas pun berkata.
"Bapak, lihat! Hari ini, aku, nikah, minta doa restunya ya, Pak." Selesai berkata Tyas tak lagi mampu membendung airmatanya. Ayuni memeluknya, Manika mengelus lengannya.
Tak lama kemudian terdengar dokter mengucap syukur, karena detak jantung Bapaknya Tyas kembali terdengar.
Tak mau membuang waktu, proses akad nikah pun langsung dilaksanakan, paman Tyas mewakili sang kakak yang menikahkan, suasana haru ketika semua yang hadir mengucapkan kata sah.
Thoriq mencium pucuk kepala Tyas, yang baru saja sah menjadi istrinya, dengan melafalkan doa. Tyas membalas dengan mencium punggung tangan suaminya.
"Bapak, saya berjanji, akan menjaga dan menyayangi, Tyas selamanya," ucap Thoriq dalam bahasa Indonesia. Ia memang belajar dari Tyas mengucapkan kata itu, agar sang mertua merasa tenang melepas anak gadisnya.
"Yas, Bapak, nangis loh, pasti baliau bahagia karena, tahu anaknya sudah menikah," ucap sang paman.
"Bapak, cepet sembuh yah." Tyas berucap dengan suara bergetar, tak urung airmata kembali menetes. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening.
Tak lama kemudian, dokter kembali melakukan tugasnya. Namun sudah berupaya semaksimal mungkin sesuai prosedur, akhirnya dengan berat hati, sang dokter menyatakan, bahwa pasien telah meninggal dunia.
Tyas yang tak kuat menghadapi kenyataan, pun jatuh tak sadarkan diri, beruntung sang suami sigap langsung memeluknya. Semua orang ikut menitikkan air mata. Thoriq membopong sang istri menuju kamarnya. Manika dan Ayuni mengikutinya. Mereka bahu membahu menyadarkan Tyas.
***
Sementara itu di lain tempat, Larasati tengah merenungi nasibnya. Penyesalan yang datangnya terlambat. Kabar tentang dirinya telah di cerai oleh suaminya, ia bisa menerima dengan lapang dada, karena ia sadar dirinyalah yang bersalah. Dan merasa tak pantas lagi buat Bayu.
Namun kabar kematian kedua orang tuanya, yang membuat ia merasa sangat berdosa, Dan sulit memaafkan diri sendiri. Laras membayangkan, betapa khawatir kedua orang tuanya, saat ia tak pernah memberi kabar. Dan betapa malunya mereka setelah mengetahui kabar tentang dirinya yang menikmati kebebasan.
Kembali Laras menangis, tak ada yang bisa ia lakukan, selain merutuki diri sendiri, karena perbuatannya di masa lalu, yang banyak melakukan dosa.
Dalam kepedihannya, Laras mencoba kembali menghubungi sang kakak, namun ternyata akun miliknya telah di blokir. Itu semakin membuatnya merasa frustasi. Jatuh ke dalam derita batin yang teramat sangat menyiksa.
Hari demi hari Laras semakin tak peduli dengan dirinya sendiri. Rasa bersalah yang mendalam, membuatnya sering mengurung diri di kamar. Hari libur pun sekarang tak lagi keluar, memilih merenung sendiri di dalam kamarnya.
Beruntungnya ia masih memiliki kewarasan. Walau jiwanya sempat terguncang, bahkan sempat ingin mengakhiri hidupnya. Namun wajah kedua orang tuanya melintas di benaknya, seolah memberi nasehat agar ia tak lagi menambah beban dosa bagi mereka.
Tubuh Laras semakin kurus, membuat sang majikan merasa heran dan bertanya. "Lala, kamu, sakit?"
"Nggak kok, saya, baik-baik saja," jawabnya.
"Tapi, kamu, makin kurus, lebih baik periksa ke dokter, besok aku antar yah!"
"Tidak usah, Bu, saya, sehat kok."
"Biar, kamu, merasa sehat, periksa juga nggak masalah, cuma cek kesehatan, agar tahu. Jadi kalau ada sesuatu cepat bertindak, bukankah menjaga lebih baik, dari pada mengobati?"
"Baiklah," balas Laras akhirnya.
"Nah gitu dong." Sang majikan pun menghubungi dokter langganannya, membuat janji untuk cek kesehatan buat Laras, sekaligus dirinya.
***
"Sayang, kamu nggak boleh sedih terus. Harus ikhlas, doakan, Bapak, agar beliau tenang dan Allah mengampuni dosa-dosanya." Thoriq menggenggam tangan Tyas, yang masih berduka.
Tyas sadar seminggu lebih, ia menjadi istri Thoriq. Namun ia masih tenggelam dalam kesedihan, atas meninggalnya sang bapak. Hingga ia lupa kewajibannya. Dipandanginya wajah lelaki, yang kini telah sah menjadi suaminya, kemudian berkata.
"Maafkan, aku, yah, sudah mengabaikanmu."
"Tidak perlu meminta maaf, kamu nggak salah, sayang. Aku hanya ingin, kamu, jangan terus bersedih, kasihan, Bapak."
"Iya, aku, janji nggak akan sedih lagi, agar, Bapak, tenang di sana."
"Alhamdulillah, nah gitu dong, itu baru anak sholehahnya, Bapak. Dan istri sholehahku." Thoriq mengecup pucuk kepala istrinya. Tyas menjatuhkan kepalanya di dada sang suami sambil memeluknya erat. Untuk beberapa saat, pasangan pengantin baru itu saling memeluk. Hingga akhirnya Tyas mendengar bunyi perut sang suami.
"Lapar yah?" tanyanya pada sang suami. Thoriq hanya tersenyum.
"Ya sudah aku masak dulu yah?" ucap Tyas.
"Tidak usah, biar, aku pesan saja, masaknya besok-besok." Thoriq langsung mengambil ponselnya untuk memesan makanan. Tyas pun hanya menurut.
"Sebentar lagi masuk maghrib, mandi dulu yuk!" ajak Thoriq.
"Kamu, dulu deh, lagian nanti yang anter makanan datang gimana?" Nampak Tyas menunduk malu. Thoriq tersenyum melihat sang istri malu-malu.
"Ya sudah, aku, duluan mandi, kalau makanannya datang, uangnya ambil saja di dompetku yah, itu ada di meja!" Setelah menunjukkan di mana dompetnya berada pada istrinya, Thoriq pun menuju kamar mandi.
Kendati masih berduka, namun Tyas berusaha untuk mulai menata hati dan hidupnya. Ia menyadari semua sudah kehendak yang mahakuasa. Sekarang saatnya untuk memulai hidup baru. Sambil terus berdoa penerbangan kembali di buka. Karena ingin segera pulang ke kampung halamannya, berziarah ke makam bapaknya.
"Sayang, tolong ambilkan handuk! Maaf aku lupa," seru Thoriq dari dalam kamar mandi. Tyas bergegas mengambil handuk, dan mengetuk pintu kamar mandi.
"Makasih, sayang, maaf merepotkanmu." Thoriq menjulurkan tangannya untuk mengambil handuk. Sesaat kemudian ia keluar hanya dengan memakai handuk.
"Sayang, cepetan mandi!" titah Thoriq pada sang istri.
"Iya." Tyas menutupi wajahnya dengan handuk saat melihat suaminya, dan bergegas menuju ke kamar mandi. Thoriq tersenyum melihat tingkah sang istri, yang masih malu-malu.
Selesai membersihkan diri, Tyas bergegas menata sajadah untuk shalat maghrib. Sementara Thoriq sedang menerima paket pesanan makanannya.
Sepasang suami istri itu pun, melaksanakan shalat berjemaah. Setelahnya, Tyas mencium punggung tangan sang suami. Thoriq pun mengecup ubun-ubun sang istri.
"Ayo, makan!" ajak Thoriq, yang sedari tadi sudah merasa lapar.
Tyas segera melepaskan mukenanya. Thoriq memandangi sang istri tak berkedip, karena memakai baju tidur yang tipis. Tyas yang sadar suaminya sedang menatapnya, ia pun jadi malu, dan mengambil kain untuk menutupi badannya.
"Katanya mau makan, ayo nanti keburu dingin!" ucap Tyas.
"Kenapa mesti malu." Thoriq menyingkirkan kain dari tuhuh istrinya, dan merangkulnya. "Ayo makan dulu! Biar ada energi sebelum …." Thoriq sengaja tak melanjutkan kalimatnya.
Tyas mencubit perut suaminya, lalu berjalan mendahuluinya. Mengambil peralatan makan. Berdua menikmati makan malam bersama.
"Jangan melihatku, seperti itu, aku, kan malu," ucap Tyas menunduk.
"Yeh, suami, melihat istri sendiri kok nggak boleh."
"Bukan nggak boleh, tapi makan dulu!"
"Iya, ini juga mau sambil makan, lagian pakai bajunya seksi banget menggoda."
"Ya sudah aku ganti baju dulu deh." Tyas hendak berdiri, namun sang suami melarangnya.
"Jangan! Biarkan suamimu ini, menikmati pemandangan yang ia sukai." Thoriq tersenyum.
Tyas pun tersenyum malu-malu, ia memang sengaja memakai baju tidur itu, walau sangat malu, namun ia selalu mengingat, ceramah dari beberapa ustazah, agar seorang istri harus bisa menyenangkan suaminya.
Keduanya pun memilih fokus menikmati makan malam tanpa suara. Namun Thoriq sering mencuri-curi pandang ke arah sang istri.
Selesai makan Tyas mencuci piring. Thoriq memerhatikan dari belakang. Tyas begitu terkejut, hampir saja piring yang ia Pegang terjatuh, ketika tiba-tiba sang suami memeluknya dari belakang.
"Maaf, kaget yah?" tanya Thoriq berbisik di telinga sang istri. Membuat Tyas merinding.
"Aku selesai kan cuci ini dulu yah," ucap Tyas.
Thoriq pun melepaskan pelukannya dan membantu membilas cucian piring agar cepat selesai.
Setelah mengelap tangannya dan tangan sang istri. Thoriq memandangi istrinya dari jarak yang sangat dekat.
"Boleh kan, kalau malam ini …." belum selesai Thoriq bicara, Tyas sudah memotomgnya.
"Iya." Sambil menunduk menahan malu.
Thoriq langsung membopong tubuh sang istri. Tyas yang tak menduga sang suami akan membopong bobotnya, ia pun melingkarkan tangannya, di leher suaminya. Thoriq melangkah menuju ke kamarnya. Bersiap menunaikan hak dan kewajiban sebagai suami istri, untuk pertama kalinya.
***
"Ay, besok ke tempat Tyas?" tanya Manika.
"Kira-kira mengganggu, mereka, nggak yah?" balas Ayuni.
"Iya, yah, kemarin aja, kita telepon dia masih sedih."
"Gini aja, Nik, tunggu Tyas nelpon duluan, ke kita."
"Ok, iya takutnya, kita mengganggu. Siapa tahu kan mereka baru menikmati malam penganten."
"Kapan giliran, kita yah, ngrasain indahnya malam penganten?"
"Cie-cie yang udah pengin, sabar Ay!"
"Emang, kamu nggak pengin, Nik?"
"Nggaklah, nggak pengin. Tapi, pengin banget." Manika tertawa begitu pun Ayuni.
Kedua sahabat itu pun ngobrol tentang pasangan masing-masing. Dan rencana menikah. Namun mereka menyerahkan semua pada yang mahakuasa kuasa. Karena tak ingin mendahului takdir, yang sudah di tetapkan untuk mereka.
Malam semakin beranjak, Manika dan Ayuni masih mengobrol. "Ay, Tyas nelpon nih!" seru Manika.
"Ya udah gabungin," balas Ayuni.
Telepon pun tersambung. "Hallo penganten baru!" seru Ayuni dan Manika kompak.
"Hm, kalian, lagi ngobrol rupanya," ucap Tyas.
"Iya nih, kamu, belum tidur, Yas?" tanya Manika.
"Belum."
"Lah suamimu mana?" Ayuni bertanya.
"Ada di kamar, aku, lagi ambil air minum. Oiya besok, kalian mau libur kemana?"
"Belum tahu," balas Ayuni dan Manika hampir bersamaan.
"Ya sudah, kalau nggak ada acara, ke tempatku saja."
"Nggak enak ah, kamu, kan masih penganten baru, takut ganggulah," sahut Manika.
"Iya, eh ngomong-ngomong udah belah duren belum nih?" goda Ayuni.
"Ih, pengin tahu aja," ucap Tyas.
"Kayaknya, sih menurut feeling yang kupunya, aromanya sudah deh," sahut Manika.
Terdengar Thoriq memanggil Tyas. "Eh udah dulu yah, suamiku manggil," cicit Tyas.
"Kayaknya mau ngajak gulat tuh suamimu!" ledek Ayuni.
"Tahu aja, ya udah yah, jangan nganan oke?" Canda Tyas sambil tertawa sebelum menutup sambungan teleponnya.
"Kok nganan sih!" gerutu Ayuni.
"Dari pada ngiri," sahut Manika. Mereka pun kembali tertawa, tak lama kemudian menyudahi obrolan di telepon, bersiap menjemput mimpi.
***
Hari yang cerah, walau masih ada pembatasan berkerumun, namun tetaplah ramai lalu lalang orang, seperti minggu kali ini, karena masih pagi Manika memilih berjalan kaki, seperti biasa menyusuri tepi sungai. Sambil berolah raga, seperti warga lokal yang melakukan jalan sehat setiap hari, di tempat itu, yang selalu ramai.
Manika sudah berada di dalam kereta, tiba-tiba ia melihat sosok yang sepertinya, pernah bertemu sebelumnya. Manika sedang berpikir, mengingat-ingat siapa gerangan, sosok yang saat ini juga sedang menatapnya. Ketika ia hendak membuka suara, orang itu lebih dahulu menyapa, dengan senyum ramah.
Siapa yah sosok yang bertemu Manika?
Terima kasih sudah mampir, ikuti terus kelanjutannya, jangan lupa tinggalkan jejak. Menerima krisan yang membangun.
Bersambung.