Part 30 Rasa Khawatir
Seketika Manika merasa hampa. Memainkan ponselnya asal, tak tahu apa yang ia ingin kan. Tiba-tiba saja ia terkesiap, begitu melihat nomor ibunya. Di lihatnya kontak sang ibu, juga photo profilenya, betapa terkejutnya Manika. Rasa tak percaya dengan penglihatannya.
Berkali-kali Manika mengerjap kan kedua netranya, namun masih tetap sama. Berbagai tanya bermunculan dalam benaknya. Apakah hanya sekadar pencitraan, atau memang telah insaf. Manika hanya diam mematung, di hatinya masih ada luka, yang menganga.
Hingga beberapa lama Manika merenung, ponselnya tetap sepi, tak ada yang menghubunginya. Entah mengapa ia merasa saat ini tak ada yang peduli dengannya. Akhirnya memutuskan untuk tidur, dengan mendengarkan murotal, berharap segera terlelap.
***
Suatu hari, ketika Laras sedang berjalan pulang, dari supermarket habis berbelanja. Melihat seseorang sedang duduk sendirian di bangku taman, yang nampak mengalami depresi, ketika Laras bertanya, perempuan yang masih muda itu hanya diam, tatapannya kosong. Karena yakin itu sesama orang Indonesia, Laras pun kembali bertanya.
"Dek, kamu kenapa, apa yang terjadi?" Laras menarik nafas, karena perempuan itu masih tidak merespon. "Jangan diam saja, Dek, ngomonglah, siapa tahu, aku bisa bantu!" sambung Laras.
Tiba-tiba perempuan itu menatap Laras. Tentu saja membuat Laras senang, beberapa saat kemudian, bulir bening meluncur dari kedua netra perempuan itu. Namun dia masih diam.
"Dek, tidak ada masalah yang tak bisa di selesaikan, hanya saja, kadang kita belum menemukan jalan keluar. Percayalah setiap masalah pasti ada jalan keluarnya." Laras mengelus lengan perempuan itu.
"Aku, takut, Mbak?" ucap perempuan itu akhirnya.
"Takut kenapa?"
Bukan menjawab pertanyaan Laras, perempuan itu malah menangis. Laras memeluknya, mencoba memberi rasa aman.
"Jangan takut, aku akan bantu, sekarang jelaskan ada apa, takut apa?" Laras kembali bertanya.
"Aku, di ancam, Mbak."
"Sama siapa?" Laras semakin penasaran.
"Sama, majikan."
"Memangnya, masalahnya apa?"
Sebelum menjawab, perempuan muda itu, menyeka airmatanya dengan tisu dari pemberian Laras.
"Aku, dituduh mencuri, dan menggoda majikan laki-laki. Padahal beberapa kali, majikan mau memerkosaku. Sekarang, aku nggak tahu mau ke mana."
"Jadi, kamu, kabur dari rumah majikan?"
"Tadi, saat majikan laki-laki hendak memerkosaku, majikan perempuan datang, dan majikan laki-laki malah memfitnah, bahwa akulah yang menggodanya, aku sudah berusaha menjelaskan, tapi tetap nggak percaya, aku langsung di usir, mau ambil hp di kamar pun nggak boleh."
Perempuan itu kembali menangis. Membuat Laras tak tega. "Namamu siapa Dek?" tanya Laras.
"Winda."
Laras segera menelepon ke salah satu aliansi buruh migrant, meminta bantuan untuk Winda, menceritakan tentang kasus yang di hadapinya.
"Jangan takut, Dek, kalau nggak salah. Ayo ikut aku! Nanti ada orang datang jemput, kamu, dari organisasi ketenagakerjaan." ucap Laras.
Winda pun mengangguk, dan berjalan mengikuti Laras, beruntungnya Laras memiliki majikan yang baik, sehingga bisa mengajak Winda ke rumah, dan menceritakan pada majikannya tentang Winda.
Laras segera menyimpan barang belanjaannya, setelah beres ia pamit izin mengantar Winda ke stasiun. Tak lupa mengambil beberapa pakaian miliknya untuk Winda.
"Win, ini ada beberapa baju, ada yang masih baru, ada juga yang bekas, bisa kamu pakai, dan ini ada hp bekas, aku kasih buat kamu, nanti beli saja kartu simnya. Oya ini sedikit uang buat pegangan nanti, kamu, akan tinggal di shelter, selama menyelesaikan masalah sama majikan, pokoknya, kamu harus berani, jangan lemah, itu kunci orang nggak akan semena-mena pada kita," tutur Laras, panjang lebar.
"Terima kasih, Mbak Laras," ucap Winda terharu. Ia sangat bersyukur, bertemu dengan Laras, yang dianggapnya malaikat penolong.
Setelah membeli kartu sim, Laras pun mengantar Winda sampai stasiun. Tak lama kemudian dari aliansi buruh, yang memang khusus membantu parah buruh migrant yang sedang mengalami masalah hukum, sudah datang untuk menjemput.
Banyak masalah, yang di alami oleh para pahlawan devisa untuk Negara. Dari kasus ringan hingga kasus berat. Walau jumlah yang bermasalah, tidaklah sebanyak di Negara penempatan TKI lain.
"Hati-hati ya, Win, semangat jangan takut menghadapi apa pun. Insyaallah hari minggu nanti aku jenguk, kamu, di shelter." ucap Laras.
"Sekali lagi terima kasih, Mbak, semoga Allah membalas kebaikan, Mbak Laras, padaku." Winda memeluk Laras.
"Mbak Laras, terima kasih, atas kepeduliannya kepada sesama teman." ucap Kristi, yang menjemput Winda.
"Sama-sama, Mbak Kristi, hebat banyak membantu teman-teman yang sedang bermasalah."
"Ya sudah, kami cabut yah, sampai ketemu." Kristi dan Winda pun melangkah pergi. Laras memerhatikan Hingga mereka berdua tak terlihat.
Laras menghela napas lega, bisa membantu orang lain. Ia bertekat belajar menjadi orang baik. Yang selama ini sudah hidup dalam kubangan nista. Berharap sang pencipta mengampuni dosa-dosanya.
***
Beberapa minggu kemudian. Pemerintah Hongkong mengumumkan dibukanya kembali penerbangan. Tyas berencana pulang ke tanah air, bersama sang suami.
Manika dan Ayuni, sedang membantu Tyas mengemasi barang-barang yang akan di kirim melalui paket pengiriman barang.
"Yas, berapa lama, kamu di kampung? Terus rencananya mau tinggal di mana?" tanya Ayuni.
"Belum tahu. Rencana jangka pendeknya, tinggal di sini, Thoriq, kan masih kerja di Hongkong sini."
"Syukurlah, jadi masih di Hongkong, nanti jangan lupa yah, kalau balik ke sini, kasih tahu, aku mau minta di bikinin sambel teri sama Ibuku."
"Kamu, mau pesen apa, Nik? Diem aja dari tadi!" tanya Tyas pada Manika.
"Gampang nanti, kalau kamu, sudah di kampung," jawab Manika.
"Oke deh kalau gitu. Eh si Abizar ke mana?"
"Nanti sore ketemu, katanya ada urusan."
"Kalau, Syahdan gimana, At?" tanya Tyas pada Ayuni.
"Lagi ke sini."
Baru saja Ayuni selesai menjawab, bel pintu berbunyi.
"Assalamu'alaikum guys!" sapa Thoriq begitu pintu terbuka.
"Walaikum salam," jawab mereka kompak.
"Hey, dear," sapa Syahdan pada Ayuni.
"Hm."
"Kok, cuma hm?"
"Terus mesti gimana?"
"Ya, sekali-kali gitu, bilang hai sayangku, cintaku, aku rindu padamu," canda Syahdan.
Ayuni hanya geleng-geleng kepala, sambil berkata. "Kalau mau mesta-mesraan, romantis, tunggu yah ada waktunya. Nikah dulu!"
"Iya, sayangku, cintaku, bidadariku." ledek Syahdan.
Mendengar kata-kata Syahdan, yang sengaja meledeknya, Ayuni pun melotot, membuat Syahdan tertawa lepas.
"Yeh, malah tertawa," desis Ayuni.
"Kasihanilah, yang ayangnya lagi nggak di sini!" sindir Tyas menggoda.
"Oh iya, mana, Abizar, Nik?" tanya Syahdan.
"Lagi ada urusan, nanti sore baru ketenmunya."
"Ooh, Andrew ada hubungi, kamu nggak, Nik?"
"Nggak, sudah lama nggak pernah kontak."
Semua terdiam, begitu nama Andrew di sebut. Tapi tak ada yang berani bicara tentang lelaki itu lagi. Mereka tahu semenjak, Manika menjalin hubungan dengan Abizar. Mereka tak lagi membicarakan tentang Andrew di depan Manika, pun sebaliknya.
Hanya Thoriq dan istrinya Tyas, yang tahu, betapa Andrew patah hati, karena lelaki itu sering mampir, ke tempat mereka, setelah selesai belajar mengaji. Bahkan Thoriq sering melihat Andrew merenung, jadi lebih pendiam. Walau selalu bilang ia baik-baik saja.
***
Di lain tempat, Andrew baru saja menikmati sarapan pagi, bersama teman-teman satu frekuensi, dari berbagai Negara, menambah wawasan, banyak tempat bertanya tentang agama. Membuatnya pelan-pelan bisa berdamai dengan hatinya, yang sempat patah karena gadis yang ia cintai memilih pria lain.
Bertambahnya teman sesama muslim, membuat Andrew semakin semangat memperdalam agama. Soal jodoh mutlak ia serahkan pada sang pencipta. Ia yakin Allah akan memberikan jodoh terbaik untuknya kelak.
Tak terasa Andrew dan teman-temannya berdiskusi cukup lama membahas tentang banyak hal.
Selepas shalat berjemaah, mereka pun berpisah, karena masing-masing ada acara. Andrew berjalan sendiri, mengikuti langkah kaki, sebenarnya ia ingin ke tempat Thoriq. Untuk menghindari bertemu Manika, maka ia mengurungkan niatnya. Andrew belum siap bertemu gadis itu saat ini.
Andrew memutuskan untuk membeli sepatu di sebuah pusat perbelanjaan. Berjalan seorang diri, sambil mendengarkan lantunan murotal ayat-ayat Al-qur'an, yang membuat jiwanya makin tentram.
Andrew mengenakan topi dan kacamata hitam. Ketika hendak memasuki toko sepatu dengan brand yang sudah mendunia, tiba-tiba iris matanya melihat seseorang yang ia kenal.
Berkali-kali Andrew menanamkan penglihatannya, namun ia yakin, tak salah lihat. Sosok itu adalah Abizar, bersama seorang wanita, mungkinkah itu Manika? Bukankah gadis itu ada di apartment Thoriq? Berbagai tanya muncul di benaknya.
Andrew segera mengirim pesan pada Thoriq, menanyakan apakah Manika sudah pergi dari sana. Tak lama kemudian, balasan dari Thoriq membuatnya bingung, ternyata gadis itu, masih berada di sana.
Sayang sekali Andrew tak bisa melihat wanita, yang sedang bersama Abizar, karena pria itu menghalangi pandangannya. Tak lama kemudian Abizar dan wanita itu keluar dari toko setelah membayar di kasir. Mereka nampak bergandengan tangan.
Berbagai tanda tanya kembali, hadir memenuhi pikirannya. Siapa wanita itu, mengapa Abizar menggandengnya, tidak mungkin hanya teman, mungkinkah itu adiknya, atau malah istrinya.
Andrew tersadar dan cepat-cepat beristighfar. Ia sadar, seharusnya tak berburuk sangka pada Abizar, siapa pun wanita yang bersamanya, itu sama sekali bukan urusannya. Dirinya tak boleh ikut campur urusan pribadi orang lain.
Tak bisa dipungkiri seandainya, Abizar telah beristri, bagaimana perasaan Manika, mungkinkah gadis itu sudah tahu dan siap di poligami. Jika demikian, beruntungnya Abizar. Andrew menghela nafas, kembali beristighfar. Dan mencoba melupakan apa yang tadi di lihatnya. Mencoba membuang jauh-jauh prasangka buruknya.
Kembali pada niatnya semula, untuk membeli sepatu olah raga. Tengah serius memilih sepatu, kembali Andrew melihat penampakan sosok yang pernah ia lihat, yang kini juga sedang memilih sepatu.
Andrew tak habis pikir, betapa sempitnya Hongkong, padahal pusat perbelanjaan tersebar di setiap daerah ada, tapi mengapa malah ia di pertemukan dengan orang-orang tak terduga.
Setelah melihat kekasih Manika Abizar, kini Andrew kembali melihat lelaki yang juga mengharapkan cinta gadis itu. Tak lain, dia adalah Erick. Untungnya ia memakai kacamata hitam juga topi, sehingga laki-laki itu, tak mengenalinnya.
Sesaat Andrew memerhatikan Erick bersama dua orang temannya, yang semua laki-laki. Setelah menemukan sepatu yang cocok, Andrew bergegas menuju ke kasir untuk membayar.
Sekeluarnya dari toko sepatu. Andrew menuju toko roti, membeli beberapa untuk camilan. Setelah itu ia pun ingin pulang ke apartmentnya. Saat keluar dari toko roti, salah satu sahabatnya, Shane meneleponnya.
"Hi, Bro, how are you?" suara Shane di ujung ponselnya.
" Hi, Shane, aku, baik, kamu, di mana?"
"Aku sama Lee dan Patrick, di Pantai Stanley?"
"Oh, di Stanley, selamat menikmati hari libur yah buat, kalian."
"Kamu, nggak pengin ke sini?"
"Maaf yah, saat ini aku lagijalan pulang nih, lain kali, kita hangout together okay!"
"Okay, have a nice day."
Okay, bye." Andrew pun mengakhiri panggilan teleponnya. Sesampainya di rumah, ia merebahkan tubuhnya di sofa. Ingatannya kembali pada sosok Abizar bersama seorang wanita. Ia ingin lsekali menghapus ingatan itu, namun yang terjadi malah semakin membuatnya khawatir.
Jauh di lubuk hatinya, ada rasa khawatir, jika Abizar ternyata telah beristri, dan Manika tak tahu hal itu, pasti hatinya akan terluka, dan kecewa setelah mengetahuinya.
Andrew mengusap wajahnya dengan kasar. Mengapa pikirannya bisa sejauh itu, dan apa urusannya dengan dirinya. Akhirnya hati kecilnya mengakui, ia tak rela jika Manika terluka.
Siapa yah, wanita yang bersama Abizar?
Ikuti terus yah kisah selanjutnya.
Bersambung.