Chereads / FINDING MOM / Chapter 34 - Kesedihan Zelia

Chapter 34 - Kesedihan Zelia

Part 33 Kesedihan Zelia

Teramat dalam luka di hati Manika. Hingga ia belum mampu menerima ibunya, entah sampai kapan, Manika pun tak tahu. Yang ia inginkan saat ini, secepatnya terlelap, agar segala rasa yang melanda jiwanya lekas menguap, dan berharap semua kegetiran hidupnya lenyap.

Hari demi hari Manika lalui dengan hati yang gamang. Hubungannya dengan Abizar merenggang, kendati setiap hari lelaki itu meneleponnya, namun Manika enggan menjawabnya. Abizar pun mengirim pesan, entah berapa banyak kata maaf yang ia pinta dari Manika.

Selama lima hari Manika mendiamkan Abizar, sengaja ia lakukan, agar lelaki itu sadar, dan mau jujur dalam segala hal. Karena bagi Manika, kejujuran adalah segalanya dalam suatu hubungan, di kehidupan.

Kembali malam menyapa, Manika sudah berada di dalam kamarnya. Membuka jendela lebar-lebar, melihat pemandangan di langit yang bertaburan bintang.

Ponselnya bergetar, tanda ada pesan masuk, di raihnya benda pipih itu, lalu membukanya. Banyak sekali pesan masuk, dari Abizar, juga Ayuni. Ia memang malas membuka ponselnya beberapa hari ini.

Ada satu pesan yang membuat, Manika mengerutkan dahi, begitu melihat siapa yang mengirim pesan satu jam yang lalu. Tak biasanya malam-malam Zelia mengiriminya pesan, Manika segera membuka pesan itu.

Di dalam pesan yang ditulis Zelia. Ia ingin bertemu dengannya, pada hari minggu pagi, di Taipo. Bahkan Zelia sangat memohon.

Manika pun membalas pesan dari Zelia, teman dari Negara Venezuela. Yang tak sengaja kenal di dalam kereta. Manika bersedia bertemu dengannya lusa, pada hari minggu.

Dalam waktu yang sama, di tempat berbeda. Andrew yang baru selesai mengikuti kajian tentang agama. Sedang berada di sebuah toko roti, membeli beberapa untuk sarapan esok pagi.

Ketika sedang berjalan menuju stasiun. Iris netranya menangkap sosok lelaki mirip Abizar, mengejar seorang wanita, yang sepertinya sedang marah.

Timbul rasa penasaran di hati Andrew, sepertinya ia pernah melihat wanita itu, meski tak pernah melihat wajahnya karena memakai masker. Ingin tahu ada apa di antara mereka.

Namun hati kecil Andrew melarang. 'Tidak baik ikut campur urusan pribadi orang, tapi aku penasaran, wanita itu siapanya Abizar? Bisa jadi itu adiknya, atau sepupu, jangan suudzon. Takutnya Abizar mengkhianati Manika, kan kasihan dia. Sudahlah itu urusan mereka, ingat kalau ikut campur, yang ada nanti memperkeruh keadaan' monolognya.

Andrew pun kembali meneruskan niatnya untuk segera pulang. Bayangan wajah Manika kembali hadir di pelupuk mata. Hanya bisa mendoakan yang terbaik, untuk gadis pujaannya.

***

"Nik, kamu, di mana?" tanya Ayuni melaui sambungan telepon.

"Aku, mau ke Taipo, ketemu teman. Kamu sendiri ada acara apa hari ini?" Manika tidak memberitahu Ayuni, kalau akan menemui Zelia, semua atas permintaan Zelia.

"Syahdan besok kan mau pulang ke Maladewa, jadi hari ini, acara mau belanja beli oleh-oleh."

"Ya sudah, belanja aja, nanti gampang, kalau ada waktu, ketemu yah?"

"Oke, deh, sudah bareng Abizar?"

"Belumlah, paling nanti, nggak tahu juga."

"Loh kok nggak tahu?"

"Aku, lagi ada sedikit selisih paham sama dia."

"Hadapilah secara dewasa, jangan malah menghindar, karena sekecil apa pun masalah, kalau dibiarkan, bisa jadi bumerang."

"Iya, Ay, makasih sudah mengingatkan, tapi saat ini, aku ada urusan dulu."

"Ya sudah, ati-ati, jaga diri."

"Oke, kamu juga, awas loh, ada setan!"

"Iya tahulah, aku."

Kedua sahabat itu pun mengakhiri panggilan teleponnya. Manika bergegas menuju tempat janji bertemu dengan Zelia. Kereta melaju membawa Manika, hingga sampai di stasiun Taipo Market.

Zelia sudah menunggu, ketika melihat sosok Manika di antara keramaian orang, hatinya begitu senang. Ia melambaikan tangannya, Manika pun nampak melakukan hal yang sama.

Begitu keluar dari stasiun, Zelia menyambut Manika, layaknya sahabat karib. Keduanya berpelukan sesaat. Kemudian melangkah menuju ke sebuah pusat perbelanjaan.

"Belum sarapan kan?" tanya Zelia.

"Belum, kamu, sendiri?"

"Sama, ayo kita sarapan di sana, sambil ngobrol!" Zelia menunjuk sebuah cafe, mereka pun menuju ke tempat itu

Zelia memilih tempat paling pojok, agar laluasa ngobrol dengan Manika, setelah memesan menu sarapan pagi, Zelia membuka percakapan.

"Nik, maaf, kalau aku mengganggu waktu liburmu, pasti kamu sudah punya acara kan?"

"Kenapa minta maaf, aku malah senang bisa bertemu denganmu."

"Apa, kamu, nggak ada acara ke mana gitu."

Sesaat Manika terdiam, ia bingung, sebenarnya Abizar mengajak bertemu pagi ini, katanya mau menjelaskan semuanya. Namun karena sudah terlanjur janji dengan Zelia. Manika memilih menepati janjinya. Ia tak mau menjadi orang yang ingkar.

"Paling, nanti siang, kalau jadi." tutur Manika.

"Ketemu Ayuni? Kamu nggak kasih tahu ke, dia, kalau ketemu, aku?"

"Iya, tenang saja aku nggak kasih tahu kok."

"Nanti kalau ketemu, Ayuni, salam yah, bilang saja habis ketemu, aku."

"Kemarin, kamu, bilang jangan kasih tahu, Ayuni kan?"

"Iya, maksudku, kasihan saja sama Ayuni, pagi-pagi ke sini, nanti malah bolak balik."

"Iya juga, dan lagi, dia ada acara sama calon suaminya. Oh iya, kamu, bilang mau ngomong sesuatu, apa itu?"

Zelia menghela nafas berat, belum lagi menjawab pertanyaan dari Manika, pelayan cafe datang mengantar pesanan.

"Makan, dulu yuk, nanti ceritanya!" ajak Zelia. Manika pun menjawab. "Baiklah."

Keduanya menikmati sarapan, walau sama-sama tak ada selera makan, karena memikirkan masalah masing-masing. Namun untuk saling menghargai, mereka pun memaksakan diri mengisi perut.

Selesai menghabiskan sarapan, sambil masih menikmati secangkir coffee latte, Zelia kembali membuka percakapan.

"Nik, aku, sudah anggap, kamu, lebih dari sahabat, karena, aku, di sini tak memiliki banyak teman."

"Untuk itu, aku, ucapkan terima kasih," jawab Manika.

"Entahlah, aku merasa nyaman, ngobrol sama, kamu, dan juga percaya, kalau, kamu, orang baik."

"Aku, jadi malu, kamu, ngomong begitu," ucap Manika. Zelia tersenyum, mendengar ucapan Manika, kemudian Zelia berkata.

"Aku, pernah cerita tentang hidupku, bagaimana bertemu suamiku, padamu kan?"

"Iya, tentu saja, aku, masih ingat."

"Saat ini, aku tak tahu harus berbuat apa, aku, sangat mencintai suamiku, bahkan suamikulah tempat menggantungkan hidupku. Tapi ketika suamiku meminta izin menikah lagi, aku benar-benar seperti terlempar dari ketinggian, sakit sekali rasanya."

Bulir bening sukses meluncur dari kedua mata indah berbulu lentik milik Zelia. Sesaat ia terdiam, Manika pun tak tahu harus bicara apa.

"Nik, andai, kamu, ada di posisiku, apa yang akan, kamu, lakukan?"

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Manika menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab.

"Zelia, meski, aku belum pernah menikah, sebagai sesama perempuan, aku bisa merasakan seperti apa sakitnya hatimu, aku, pun tak tahu, apa yang harus kulakukan, ketika berada dalam posisimu saat ini."

"Aku, bingung, Nik, satu sisi, tak rela jika suami membagi cinta, tapi juga takut kehilangannya, karena selama ini, hidupku tergantung padanya." Airmata Zelia semakin deras, membuat Manika merasa iba.

Manika bisa merasakan, seperti apa rasanya yang sedang di hadapi oleh Zelia.

"Kalau, boleh tahu, apa alasan suamimu ingin menikah lagi?" tanya Manika akhirnya.

"Dia, tak bilang apa alasannya, mungkin juga, karena ingin punya anak. Dia hanya bilang, kalau mencintai perempuan itu, dan ingin menikahinya."

"Apakah, suamimu sudah mengenalkan perempuan itu padamu?"

"Belum, karena aku sendiri belum memberi jawaban, aku benar-benar bingung, Nik." Tangis Zelia semakin terdengar memilukan di telinga Manika.

"Aku, pun tak tahu harus membantumu dengan cara apa, sementara, aku tak mengenal suamimu."

"Aku, mengerti, Nik. Apakah, kamu ikhlas, jika kelak punya suami, menikah lagi?"

Manika menggeleng. "Aku, bukan penentang poligami, juga bukan pendukung. Karena selama ini, aku melihat orang berpoligami, cenderung nafsu ikut berperan, bukan murni menolong si perempuan yang akan dinikahi, karena hidup dalam kesusahan, memiliki anak yatim, sementara perempuan itu dalam kondisi yang tidak bisa bekerja." Manika berhenti sesaat.

"Kebanyakan para suami, minta izin menikah lagi, dengan alasan agar tidak berzina, dan menikahi perempuan yang lebih menggoda, dari istrinya, itu sama saja karena nafsu, tidak memikirkan bagaimana perasaan istrinya, dan cenderung tidak bisa berbuat adil. Akhirnya rumah tangga dengan istri pertama hancur, padahal sudah lama terbina, karena lebih memilih istri muda, kebanyakan seperti itu, walau ada juga yang bisa hidup rukun dalam berpoligami, itu karena masing-masing memiliki ilmunya, hanya orang yang berilmu tinggi yang bisa seperti itu." tutur Manika panjang lebar.

"Menurutmu, aku, harus bagaimana?" tanya Zelia.

"Maafkan, aku, Zelia, aku, tak bisa memberimu saran, karena ini hal yang sangat serius dan rumit, karena menyangkut masalah hati. Tanyakan pada hatimu, apakah sanggup menjalani, sebelum mengambil keputusan, jangan lupa, libatkan Allah di dalamnya. Shalatlah dan berdoa mohon petunjuk, agar apa pun keputusan yang, kamu, ambil nanti, baik untukmu, tak akan mendatangkan penyesalan."

"Satu lagi, jangan mengambil keputusan penting dalam hidup, dengan emosi, tenangkan dulu pikiran dan hati, agar nafsu tidak menguasai, karena setan, setiap saat kerjanya menjerumuskan manusia," imbuh Manika.

"Iya, kamu, benar, Nik, aku akan coba, minta doanya yah, agar aku bisa melewati, dan mengambil keputusan yang sulit ini."

"Tentu, aku akan mendoakan, kamu, semoga apa pun keputusanmu nanti, itu yang terbaik."

Zelia menyeka airmatanya dengan tisu. Manika yang sedari tadi berusaha agar airmatanya tak jatuh, segera menyesap sisa kopi di cangkirnya.

"Mau nambah kopinya, Nik?" tanya Zelia, yang nampak sedikit lega. Tak menunggu jawaban dari Manika, Zelia memanggil pelayan, memesan lagi dua cangkir kopi.

Ponsel Zelia yang berada di atas meja berdering, sekilas Manika melirik kearah ponsel itu. Terpampang photo sosok laki-laki di sana, namun tidak begitu jelas terlihat wajahnya.

"Kenapa, nggak di jawab itu ada yang nelpon?" tanya Manika.

"Itu, suamiku, aku belum pengin ngomong sama, dia."

Manika pun terdiam, ia mengerti mengapa Zelia tak mau menjawab panggilan telepon dari suaminya. Jangankan sudah menikah, ia sendiri yang belum menikah saja, malas menerima telepon dari Abizar, karena sedang tidak baik-baik saja. Apa lagi Zelia.

Kini giliran ponsel Manika yang bergetar, ia pun melihat siapa yang menelepon, ternyata Abizar, sudah banyak sekali panggilan darinya, tapi Manika masih enggan untuk menjawabnya.

Manika membuka pesan yang masuk, banyak juga pesan dari Abizar, ia pun membalas pesannya. Nanti akan menemuinya. Pelayan mengantarkan kopi pesanan Zelia.

"Habis ini, kamu, mau kemana?" tanya Manika.

"Mau pulang saja, karena suamiku nanti siang sudah tidak di rumah, jadi aku tak perlu bertemu dengannya."

"Seperti apa sih laki-laki yang harusnya bersyukur, karena beruntung memiliki istri secantik dan sebaik, kamu?"

"Kamu, pengin lihat?"

"Itu pun kalau, kamu, tak keberatan."

"Tunggu sebentar!" Zelia membuka ponselnya dan mencari photo sang suami. Setelah menemukan, memberikan ponselnya pada Manika.

Manika menerimanya dengan tersenyum, begitu melihat lelaki dalam photo itu, seketika senyum Manika menghilang. Wajahnya berubah, amarah jelas tergambar di sana. Zelia yang memerhatikan perubahan pada wajah Manika pun bertanya.

"Nik, kenapa, kamu, kenal suamiku?"

Mendengar pertanyaan Zelia, seketika airmata Manika tumpah. Gadis itu tak tahu bagaimana mengatakannya pada Zelia. Bahwa suaminya adalah kekasihnya juga.

Bagaimanakah perasaan Zelia, begitu tahu Manika menjalin hubungan dengan suaminya?

Ikuti terus yah cerita mereka selanjutnya.

Bersambung.