Chereads / FINDING MOM / Chapter 36 - OCEAN PARK

Chapter 36 - OCEAN PARK

Part 35 Ocean Park

"Memangnya, awalnya bagaimana, hingga semua terbongkar?"

Manika menceritakan semuanya pada Ayuni, kronologinya dari awal hingga akhirnya tahu. Bahwa Abizar adalah suami dari Zelia. Manika kembali menangis, hatinya benar-benar terluka.

"Sudahlah, Nik, beruntung terbongkar sekarang, dari pada terlanjur urus surat-surat, udah ngasih tahu keluarga, ternyata begini kan lebih menyakitkan lagi. Tetap bersyukur karena semua belum terlambat, percayalah, Allah pasti sudah menyiapkan, jodoh terbaik untukmu kelak." tutur Ayuni.

"Iya, Nik, tidak usah kau, tangisi orang seperti Abizar, buat apa, memertahankan hubungan, yang tidak didasari kejujuran." imbuh Syahdan.

"Iya, terima kasih, aku, bukan menangis karena pisah sama Abizar, tapi menangisi kebodohanku. Karena mencintai orang yang salah."

"Semua itu proses, Nik, karena semakin kita sering diuji, tandanya, Allah perhatian sama kita." ujar Syahdan.

"Pokoknya, ambil hikmahnya, lain kali, lebih hati-hati, sudah nggak usah nangis terus, harus tetap semangat oke?" Ayuni menepuk bahu Manika, untuk memberi dukungan.

"Jadi kangen Tyas," gumam Manika.

"Panjang umur, nih Thoriq sama Tyas lagi naik becak, aku, jadi pengin juga naik becak." Syahdan menunjukkan video yang di kirim Thoriq. Ayuni dan Manika akhirnya tersenyum, melihat Thoriq yang kegirangan naik becak. Tak lama kemudian ponsel Ayuni berdering.

"Eh, Tya,s nelpon nih!" Ayuni menunjukkan ponselnya pada Manika.

"Cepetan jawab," titah Manika. Ayuni pun langsung menekan tombol hijau. Suara Tyas langsung terdengar mengucap salam. Mereka bertiga kompak menjawab salamnya.

"Kalian lagi di mana?" teriak Tyas yang sedang di jalan naik becak.

"Kami di mana nggak penting," jawab Ayuni asal.

"Thoriq, bagaimana berada di kampung, kami?" tanya Manika.

"It's amazing!" jawabnya, semangat.

"Bro, aku juga pengin naik becak!" seru Syahdan.

Terdengar Thoriq tertawa, sebelum menjawab. "Cepatlah ke sini! Biar Kota kecil, tak semoderen Hongkong, tapi nyaman kok, walau cuacanya panas."

"Katanya dekat pantai yah?"

"Oh iya, tiap pagi, kita ke pantai, lihat sunrise."

"Nik, Ay! Kalian baik-baik saja kan? tanya Tyas.

"Seperti yang, kamu, lihat," jawab Ayuni.

"Kok, Abizar nggak kelihatan?"

"Abizar lagi ada urusan," jawab Ayuni mewakili Manika.

"Oke deh, kita mau putar-putar keliling Kota Cilacap, salam ya, Nik, buat Abizar." seru Thoriq.

Manika hanya tersenyum, tak lama kemudian sambungan telepon pun berakhir. Karena waktu sudah siang mereka bertiga mencari tempat untuk shalat.

***

Zelia baru saja sampai di apartmentnya, berharap suaminya tidak berada di rumah, karena saat ini tak ingin bertatap muka dengannya.

"Dari mana?" tanya Abizar pada istrinya, yang baru saja membuka pintu.

"Habis bertemu Manika." jawabnya datar. Dan langsung menuju ke kamar.

Sementara Abizar, nampak mematung mendengar jawaban sang istri. Berbagai tanya berkecamuk dalam hatinya, benarkah apa yang dikatakan istrinya, kalau dia, habis bertemu Manika. Kapan mereka saling kenal, Dan banyak lagi pertanyaan, yang tak menemukan jawaban, apa bila tidak menanyakan secara langsung pada sang istri.

Abizar masuk ke dalam kamar, nampak sang istri sedang melaksanakan ibadah, ia duduk di tepi ranjang, sambil menunggu sang istri selesai.

Begitu melihat sang istri telah selesai beribadah, Abizar mendekati, mengulurkan tangannya, Dengan terpaksa Zelia mencium punggung tangan sang suami. Meski hatinya sedang terluka, namun ia sadar akan statusnya, sebagai seorang istri.

"Sayang, maafkan, aku, kalau keinginanku menikah lagi, telah melukai hatimu. Aku, mengaku salah, menjalin hubungan dengan perempuan lain tanpa sepengetahuanmu, tapi percayalah, aku tak pernah melakukan apa pun dengannya."

Abizar meraih tangan istrinya, diciuminya tangan sang istri yang hanya diam mematung. "Boleh, aku, tahu bagaimana, kamu, tahu Manika? Sejak kapan mengenalnya?"

Zelia masih terdiam, susah sekali bibirnya untuk di gerakan. Abizar yang merasa bersalah memeluk sang istri yang tetap membisu.

"Sayang, bicaralah!"

"Bicara apa?" akhirnya Zelia menjawab.

"Kita, ini suami istri, tak baik saling mendiamkan pasangan."

"Aku, belajar segala hal darimu, termasuk diam, itu pun, aku, meniru apa yang di contohkan oleh samiku, yang secara diam-diam menjalin cinta dengan seorang gadis, bahkan berniat menikahinya. Kalau memang sudah bosan padaku, lepaskan saja, aku akan pergi dari hidupmu, karena, aku, sadar diri, selama ini, hanya menjadi bebanmu."

"Sayang, jangan bicara seperti itu, aku, selalu mencintaimu, sampai kapan pun."

"Tapi kenapa bisa mencintai orang lain secara diam-diam? Padahal aku pernah bilang kan, aku tak suka di khianati. Tak pernahkah berpikir bagaimana perasaanku? Kalau memang kau benar mencintaiku sampai kapan pun, seperti katamu. Tentunya tak akan sampai hati menyakitiku. Kau sudah mencintai orang lain, di belakangku, berarti sudah pudar cintamu padaku, iya kan?"

"Tidak sedikit pun, rasa cintaku padamu berkurang, tentang, aku, mencintai Manika, itu hadir begitu saja. Aku sadar kesalahanku, karena tidak jujur dari awal padamu, mau pun pada Manika."

"Kalau, kau mencintai Manika kejarlah dia, karena dia gadis baik, aku akan pergi dari hidupmu, aku ikhlas melepasmu, demi kebahagiaanmu. Cintaku teramat besar padamu, hingga aku tak sanggup untuk berbagi, dari pada selamanya tersiksa lebih baik aku yang mundur. Terima kasih karena selama ini telah menghidupiku, aku akan pulang ke Negaraku, sepahit apa pun hidupku, Insyaallah, aku bisa menjalaninya."

"Zelia. Tidak sayang, aku, tidak mau, aku sudah berjanji akan bersamamu sepanjang hidupku. Aku tidak mau kehilanganmu." Abizar tak mampu menahan kesedihannya, karena keegoisan dirinya yang tak jujur telah melukai dua hati sekagus.

Berat sekali memilih antara Zelia dan Manika. Namun karena Manika sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan dengannya. Abizar pun tak ingin kehilangan Zelia. Cukuplah cintanya tak kesampaian pada Manika. Dan gadis itu memilih pergi darinya. Ia pun tak ingin Zelia juga pergi dari hidupnya.

"Sayang, berikan kesempatan sekali lagi, untukku, aku akan berusaha memerbaiki kesalahanku, tentang Manika, sudah tutup cerita, takkan ada pernikahan antara, aku dan dia."

"Itu karena Manika yang memutuskanmu, nomormu telah diblokir olehnya kan?"

Abizar terdiam, merasa tak bisa berkutik, ternyata istrinya tahu tentang Manika, yang memblokir nomor kontaknya. Ia mengusap wajahnya gusar. Bingung juga menyesal itulah yang saat ini Abizar rasakan.

***

"Hore, bisa libur bareng sama, Kak Nik," celetuk Hilda.

"Weleh, gitu aja girang," ucap Manika.

"Iya, dong, susah sekali mau libur sama-sama."

Manika hanya tersenyum, memang benar meski mereka hampir tiap hari bertemu, karena bertetangga, tapi tak pernah libur barsama. Karena masing-masing memiliki teman baik. Karena hari minggu ini ulang tahun Hilda, gadis itu mengajak Manika ke ocean park.

Hilda yang sedang berulang tahun, dapat gratis masuk ke tempat wisata ocean park. "Kak Nik, nanti bayar separuh yah, biar Hilda juga bayar separuh!" ucap Hilda.

"Tidak usah, biar, Aku, bayar sendiri, kamu kan gratis, tapi jangan minta kado yah?" canda Manika.

"Kakak, kasih doa saja buat, Hilda, biar dapat kekasih tahun ini." Hilda berkelakar ia pun tertawa.

Manika tersenyum dan berkata. "Masih muda, buat apa pusing mikir kekasih, aku aka yang udah waktunya punya, masih santai."

"Eh, kata teman-teman, kalau kita sudah ada kekasih, hidup lebih berwarna dan bersemangat."

"Udah ngebet banget nih ceritanya pengin punya pacar?"

"Tidaak juga sih, banyak juga teman yang curhat putus cinta rasanya sakit."

"Pengin merasakan sakitnya?"

"Oh no!"

"Makanya, nggak usah mikir pacaran dulu, nggak penting."

"Oke deh, Kakak cantik, tidak sombong, dan baik hati." Hilda tersenyum, Manika pun tersenyum sambil geleng-geleng.

Kereta yang mereka naiki telah sampai di stasiun Admiralty. Hilda menghubungi kedua temannya yang mau ikut, sementara Manika menghubungi Ayuni. Beberapa saat menunggu akhirnya yang di tunggu pun datang. Kini mereka berlima menuju ocean park.

Kelima gadis itu, sedang menunggu antrean untuk naik cable car, atau kereta gantung. Begitu kereta gantung datang, mereka pun naik dengan tertib.

Kereta gantung melaju di atas ketinggian, dibawahnya nampak jurang terjal dan lautan. Sungguh indah pemandangannya, namun yang takut dengan ketinggian, pasti merasa ngeri, bisa memicu jantung berdetak lebih cepat. Ketika melihat ke bawah.

"Wuih keren yah, indah nian pemandangannya," seru Marina, teman Hilda.

"Untung kita semua bukan penakut jadi nggak report," ucap Nirwana, teman Hilda yang lain.

Mereka pun mengambil gambar, berphoto bersama berbagai pose.

Manika hanya tersenyum. Tak lama kemudian kereta gantung yang mereka naiki, mendarat dengan sukses. Kini mereka telah sampai di tempat wisata yang menyajikan berbagai permainan Ekstrim. Yang punya riwayat jantung jangan berani coba-coba, kalau tak ingin bermasalah.

"Nah, Nik, saatnya teriak sekencang-kencengnya, biar segala beban yang menyesakkan dada bisa lepas dan lega," Cetus Ayuni.

"Bener Ay, ayo kita naiki semua wahana!" ajak Manika antusias.

"Kak, mau naik yang mana dulu?" tanya Hilda.

"Roller coaster." jawab Manika.

"Yang mana? Sebelah sana yang relnya mlungker-mlungker kayak ular, atau yang di atas laut, relnya cuma naik turun, miring, belok?"

"Yang di atas laut saja dulu, yuk!"

Mereka pun setuju dengan pilihan Manika, bergegas kelima gadis itu menuju ke sana. Untung pengunjung tidak terlalu banyak, sehingga antrean tidak panjang.

Tiba giliran mereka, Manika duduk berdua dengan Ayuni. Nirwana dan Marina, sebentar Hilda duduk sendiri.

"Hilda, kamu berani kan sendiri?" tanya Nirwana.

"Beranilah, Hilda gitu loh!"

Roller coaster pun meluncur, penumpang semua berteriak, tak terkecuali dengan Manika. Gadis itu, yang baru putus hubungan dengan lelaki yang dicintainya, meluapkan semua beban di dada. Berteriak sekuat tenaga.

Selesai naik roller coaster yang berada di atas laut, mereka menaiki ayunan perahu besar. Kembali Teriakan demi teriakan bersahutan, meski takut hingga lemas tapi tetap mencoba naik yang lainnya. Yang lebih ekstrim.

Sebanyak enam wahana ekstrim telah mereka naiki, karena lelah berteriak yang menguras tenaga. Mereka pun mencari kedai makan, untuk memulihkan stamina. Masih banyak lagi wahana yang akan mereka naiki.

Selesai makan dan istirahat, juga beribadah. Manika kembali mengajak untuk menaiki wahana lainnya. Kali ini mereka menaiki perahu kecil di atas air, menyusuri seperti sungai kecil, dan hutan rawa-rawa. Akan berakhir di dekat pertama mereka naik, namun di akhir perjalanan. Perahu yang mereka naiki terjun bebas dari ketinggian. Dan siap-siap terciprat air.

Manika benar-benar merasa plong, bermain di wahana yang menguras energinya. Sepertinya ocean park memang tempat yang tepat untuknya saat ini.

Tak terasa semua wahana ekstrim telah mereka nikmati, kini mereka sedang menikmati pertunjukan lumba-lumba yang lucu dan menggemaskan. Sambil bersantai karena cukup lelah.

"Kak, ayo photo dulu!" ajak Nirwana.

"Kalian sana photo, aku males," jawab Manika.

Manika dan Ayuni duduk di bangku, sementara Hilda dan teman-temannya, sedang berphoto, dari satu tempat ke tempat lainnya.

"Gimana, udah lega?" tanya Ayuni pada Manika.

"Lumayan, emang nih wahana bikin sport jantung."

"Yang jelas pas buat teriak sepuasnya."

"Iya, jadi plong."

"Gimana, Nik, rencanamu, mau nambah kontrak atau pulang? Sudah deket loh."

"Belum tahu nih, nantilah kupikir dulu. Kamu sendiri jadi nikah?"

"Inyaallah, aku juga nggak akan nambah kontrak, Tapi setelah nikah, masih menetap di sini, sama kayak Tyas, kan Syahdan masih kerja di sini."

"Kamu, dan Tyas beruntung, bertemu lelaki baik, dan jujur, entah kenapa aku malah dipertemukan dengan lelaki seperti Abizar, kupikir dia baik, sudah membuatku malu karena nggak memakai kerudung, hingga akhirnya, kuputuskan untuk memakainya, eh ternyata …."

Bersambung.