Chereads / FINDING MOM / Chapter 33 - CURIGA

Chapter 33 - CURIGA

Part 32 CURIGA

"Apakah, kamu, masih mau berteman denganku, setelah mengetahui siapa, aku, yang sebenarnya?" tanya Laras.

"Kenapa tidak, berteman itu tidak perlu memandang masa lalunya."

"Kamu, sendiri, aku, lihat sepertinya sedang ada masalah, kalau boleh tahu, apa itu?"

Kini Andrew yang nampak menarik nafas dalam-dalam. Ia terdiam beberapa saat sebelum menjawab. Akhirnya giliran Andrew menceritakan kisahnya. Laras mendengarkan dengan seksama.

Laras terkejut, ketika Andrew menyebut nama Niki, dalam hati bertanya-tanya, mungkinkah itu gadis yang sama, di sukai oleh Erick?

"Niki, pasti cantik yah, sampai membuatmu patah hati?" tanya Laras.

"Tidak hanya cantik, tapi baik, sayangnya dia sudah menjatuhkan pilihannya, pada lelaki lain, yang sesuai harapannya."

"Kamunya, kelamaan sih, jadinya keduluan orang lain."

"Iya juga sih, tapi apa mau dikata, kalau takdir sudah berkata."

"Mungkin, belum jodoh, tetap semangat, masih banyak gadis lain, yang lebih baik dari Niki."

"Iya, tapi saat ini, sulit sekali melupakan dia, aku, sudah berusaha sekuat hati, tetap saja rasa ini masih ada, entahlah."

"Sabar, semua butuh waktu. Insyaallah, jodoh tak akan ke mana."

"Iya, cintaku tulus padanya, jadi selalu mendoakan kebahagiaannya, semua kuserahkan pada Allah, siapa jodohku kelak, harus yakin pasti itu yang terbaik, meski saat ini rasaku pada gadis itu belum berubah. Mungkin butuh waktu agak lama, untuk benar-benar bisa membuang rasa ini. Apa lagi dia belum menikah."

"Dunia ini, penuh kemungkinan. Siapa tahu dia yang akan menjadi jodohmu, namun harus lebih dulu melewati proses yang tak mudah. Jika Allah sudah berkehendak tidak ada, yang tidak mungkin, percayalah."

"Yah, Kau benar, aku akan terus belajar untuk ikhlas, atas semuanya, yang menjadi kehendaknya."

"Baguslah kalau begitu." Laras mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum. Andrew pun tersenyum. Kedua orang itu sama-sama merasa lega bisa berbagi cerita.

Hari beranjak sore, makin banyak pengunjung berdatangan ke pantai. Laras hendak beranjak, ternyata Andrew pun sama. Mereka berjalan bersama meninggalkan tempat itu.

Andrew mengajak Laras, untuk makan bersama sebelum pulang. Namun Laras menolaknya, karena sedang tidak nafsu makan. Andrew pun tak memaksa, sebelum pergi, keduanya saling bertukar nomor telepon. Akhirnya mereka pun berpisah.

Andrew sendirian menuju supermarket untuk membeli makanan. Seperti biasa, saat ini ia suka memakai topi dan kacamata hitam, setiap bepergian sendiri.

Setelah mendapatkan bahan makanan yang di belinya, Andrew berniat untuk pulang, begitu keluar dari supermarket, Ia melihat Syahdan dan Ayuni. Karena di lihatnya tidak ada yang lain, Andrew pun menyapa mereka.

"Hi, Syahdan, Ayuni!"

Seketika orang yang Andrew panggil pun menoleh, keduanya nampak senang bertemu dengannya.

"Hey, Bro! Apa kabar?" tanya Syahdan.

"Alhamdulillah, baik, sehat, kalian, cuma berdua?"

"Iya, lagi pengin berdua."

"Berapa minggu yah, kita nggak ketemu?" tanya Ayuni.

"Aku pun lupa." Andrew tersenyum.

"Sudah menemukan tambatan hati yah? Kayaknya lagi happy?"

"Belum nih, belum laku." Sambil tertawa Andrew kembali berkata. "Masih sulit melupan sahabatmu."

Ayuni menghela napas, wajahnya terlihat sedih. Andrew malah tertawa melihatnya. "Hey! Kenapa sedih?"

"Dia, ini menginginkan, Niki sama kamu, bukan Abizar," tutur Syahdan.

Andrew pun terdiam, ia merasa tersanjung mendapatkan perhatikan dari teman-temannya, bukan hanya Ayuni, tapi Tyas, Thoriq dan yang lainnya juga mendukung. Namun apa mau di kata jika yang bersangkutan lebih memilih orang lain.

"Sudahlah. Insyaallah, aku ikhlas asal Niki bisa bahagia, dari pada memaksanya bersamaku, belum tentu bisa terima kan?"

"Iya, aku salut Bro, kamu bisa ikhlas." Syahdan menepuk bahu Andrew.

"Ya sudah, aku mau pulang dulu yah, atau kalian mau mampir? Ayo!" ajak Andrew.

"Terima kasih, lain kali saja, aku mau antar Ayuni, ke stasiun, setelah itu, mau langsung pulang."

"Okelah, sampai ketemu lain waktu, aku pergi dulu bye." Andrew pun melangkah pergi. Begitu pun dengan Syahdan dan Ayuni.

***

Sementara itu, Manika sedang, berada di masjid menunggu waktu menunaikan shalat magrib. Begitu juga dengan Abizar, mereka memang jalan bersama dari jam dua siang. Berpisah dari Thoriq dan Ayuni, atas kemauan Abizar.

Setelah selesai shalat berjemaah. Manika keluar dari ruang shalat khusus perempuan yang berada di lantai atas. Bersamaan dengan Abizar, mereka bertemu dekat pintu keluar.

"Ayo, kita makan dulu, sebelum kamu pulang!" ajak Abizar.

Manika pun menurut, kebetulan ia ingin menanyakan keseriusan Abizar padanya. Seperti Thoriq yang sudah membuktikan keseriusannya, juga Syahdan yang sudah mengenalkan Ayuni pada kedua orang tuanya, meski sebatas melalui sambungan panggilan video.

Mereka memasuki, restaurant yang menyajikan menu dari Timur Tengah. Saat sedang menunggu pesanan Manika mulai membuka percakapan. Namun baru saja hendak bersuara ponsel Abizar berdering, Abizar menerima panggilan itu, namun hanya beberapa menit bicara lalu telepon panggilan di akhirinya.

"Bi, maaf sebelumnya, aku, mau tanya, tentang hubungan kita, apakah, kamu serius?" tanya Manika, pada Abizar.

Belum juga menjawab, ponsel Abizar kembali berdering. Ia pun meminta ijin keluar sebentar untuk menerima panggilan. Membuat Manika heran, sudah beberapa kali, Abizar menerima telepon dengan menjauh, saat bersamanya.

Mau tak mau membuat curiga tumbuh di hati Manika. Awalnya Manika tak terlalu memikirkan, karena Abizar selalu bilang itu rekan bisnis, namun lama-lama gadis itu berpikir, merasa aneh saja, kalau memang benar bicara tentang bisnis, kenapa harus menjauh darinya. Toh ia tak tahu menahu soal bisnis, dan tak mungkin ikut campur.

Semakin lama, mengenal Abizar, bukan semakin nyaman, malah keraguan melanda hatinya. Manika menarik nafas dalam-dalam, mencoba menyingkirkan prasangka buruknya. Menghibur diri sendiri, mungkin Abizar saat ini sedang ada masalah soal pekerjaan.

Pesanan makanan sudah datang, namun Abizar belum juga selesai bicara di telepon. Manika hanya menarik nafas berkali-kali, untuk membuatnya tetap tenang.

Beberapa saat kemudian Abizar kembali. "Kenapa ngggak dimakan?" tanyanya.

"Aku ke sini, nggak sendiri, apa pantas makan sendirian." jawab Manika ketus.

"Ya nggak apa makan dulu, aku kan masih ada urusan penting, sayang."

"Kita, ketemu jam dua, selama itu, berapa kali menerima telepon penting, lalu menjauh dariku?"

"Kok, kamu ngomong seperti itu, ada apa denganmu?"

Manika yang sedari tadi menahan kesal. Jadi semakin jengkel mendengar kata-kata Abizar.

"Dari pagi aku ketemu, Syahdan, dan Ayuni, Tapi aku tak pernah melihat, Syahdan, menerima telepon dengan menjauh." desis Manika.

"Oke, aku minta maaf, nanti kalau sudah saatnya akan aku jelaskan."

"Kenapa nggak sekarang saja."

"Kita makan dulu, nanti keburu dingin nggak enak, oke?"

Walau di hatinya kesal, namun Manika langsung mengambil makanannya, setelah berdoa ia langsung makan dalam diam, bahkan tak mau melihat wajah Abizar. Membuat lelaki itu menjadi sedikit gusar.

"Nik, makannya jangan buru-buru nggak baik untuk kesehatan," tegur Abizar.

Manika tak peduli, tetap makan sampai tandas, walau sebenarnya tak ada selera, namun karena menahan dongkol, sehingga bisa makan sampai tak tersisa.

Abizar yang menyadari kalau manika sedang marah, hanya diam kembali menikmati makannya. Manika sendiri memilih membuka ponselnya. Membuka akun media sosial miliknya. Hanya untuk mengalihkan rasa kesalnya.

Selesai makan mereka keluar dari restaurant, menuju ke taman, kini keduanya duduk bersebelahan. Manika diam masih menunggu Abizar menjelaskan, namun sampai beberapa menit berlalu tak ada kata yang keluar dari mulut lelaki itu.

"Permisi, aku mau pulang." ucap Manika akhirnya, sambil menahan amarah, hendak melangkah pergi.

Sontak Abizar bangkit, meraih tangan Manika. "Nik, tolong jangan seperti ini, kasih aku, kesempatan untuk menjelaskan semuanya, aku, butuh waktu." Abizar berkata dengan tatapan mengiba.

"Lepas!" geram Manika. Abizar langsung melepaskan tangannya.

"Kenapa dari tadi diam saja, hanya menjelaskan apa susahnya, pertanyaanku pun, sampai sekarang tak di jawab. Sebenarnya, aku ini, kau anggap apa? Ini bukan pertama kalinya tapi sudah sering, kau mengabaikanku, kau kan tahu sekarang sudah jam berapa, aku di sini kerja ikut orang, mau sampai jam berapa mesti menunggumu mau bicara!" Manika tak tahan akhirnya meluapkan kekesalannya.

"Iya, aku salah, maafkan, aku yah?"

Tanpa permisi Manika pergi meninggalkan Abizar. Lelaki itu berusaha mengejar namun Manika tak menggubrisnya. Ia berlari masuk ke stasiun. Abizar hanya mampu memandangi kepergiannya.

Di dalam kereta yang penuh sesak penumpang. Manika berusaha menahan air matanya. Ia benar-benar kecewa, dengan lelaki yang dicintainya. Berkali-kali menghela nafas, agar berkurang rasa yang ada dalam dadanya.

Kereta melaju terasa lamban, waktu sudah menunjukkan pukul 20:45. Manika mengirim pesan pada sang majikan, memberitahu kalau ia agak terlambat pulang.

Keluar dari stasiun, Manika bergegas menuju terminal bis, beruntung tidak terlambat karena ada bis mau berangkat. Kalau tidak harus menunggu bis berikutnya, akan lebih lama lagi sampai di rumah.

Turun dari bis, seseorang mencegatnya, seorang perempuan berkerudung, mendekatinya lalu bertanya.

"Maaf, apakah, kamu, Nikita, alias Niki?"

Untuk beberapa saat Manika tertegun. Belum lagi menjawab, perempuan itu kembali berkata.

"Jadi, kamu, benar, Niki, Yang disukai Erick?"

"Maaf, Mbak, siapa?" tanya Manika, feelingnya mengatakan bahwa perempuan di depannya saat ini, adalah ibunya.

"Aku Laras, yang pernah sama Erick, aku, mau minta maaf, sama kamu, gara-gara, aku, hubunganmu sama Erick berantakan, sekali lagi, aku, minta maaf yah, aku, sering kesini untuk mencarimu, kata, Erick, kamu tinggal di belair garden,

Ternyata benar, feeling Manika, perempuan yang kini ada di depannya adalah ibunya. Manika tak tahu, harus bilang apa, hanya terdiam hingga sang ibu kembali berkata.

"Aku, tidak punya maksud apa pun, hanya ingin minta maaf, tolonglah maafkan kata-kataku dulu, yang pasti melukai hatimu." Laras berhenti sesaat mengusap airmatanya yang meluncur tanpa permisi. "Aku, akui kalau , aku bukan orang baik, tapi sekarang sedang berusaha memperbaiki diri, salah satunya meminta maaf pada orang-orang yang pernah aku sakiti." sambungnya.

Sejujurnya Manika merasa tersentuh dengan penuturan sang ibu. Namun karena hatinya sedang tidak baik, ia pun teringat bagaimana perbuatan ibunya. Sebersit kebencian yang masih bercokol membuatnya merasa kembali sakit.

"Ya sudah, Mbak, aku, mau pulang sudah terlambat," ucap Manika akhirnya.

"Sudah memaafkan, aku, kan?"

"Sudah, lupakan saja."

"Terima kasih, kalau boleh minta nomor telponnya."

"Minta, saja ke, Erick, maaf, aku terlambat." Manika segera berlalu dengan tergesa-gesa.

Laras memandangi kepergian Manika, walau kecewa tak mendapatkan nomor telponnya. Namun ia merasa lega, karena sudah meminta maaf secara langsung padanya. Laras beranjak pulang, kebetulan tempat tinggalnya dekat area situ. Ia pun naik taksi karena malas nunggu bis.

***

Manika merenung di kamarnya. Beberapa kali panggilan dari Abizar ia abaikan. Manika benar-benar kecewa atas sikap Abizar. Lama kelamaan, timbul rasa curiga di hatinya. Mungkinkah ada wanita lain, atau jangan-jangan Abizar malah sudah beristri.

Bermacam tanya berseliweran dalam kepalanya. Membuatnya merasa frustasi. Manika sudah berjanji pada dirinya sendiri, tak akan mau dengan lelaki beristri. Kalau sampai tahu Abizar telah beristri, maka tak perlu pikir panjang, saat itu juga akan memutuskan hubungan.

Kegalauan hati Manika bertambah, mana kala teringat kejadian tadi, ketika tiba-tiba ibunya muncul di hadapannya. Dengan penampilan berbeda, harusnya ia senang, ibunya telah berubah. Namun entah mengapa hatinya belum bisa menerimnya.

Teramat dalam luka di hati Manika, hingga ia belum mampu menerima ibunya. Entah sampai kapan, Manika pun tak tahu. Yang ia inginkan saat ini, secepatnya terlelap, agar segala rasa yang melanda jiwanya lekas menguap dan semua kegetiran hidupnya lenyap.

Bagaimana yah, nasib hubungan Manika dan Abizar?

Ikuti terus yah kisahnya.

Bersambung.