Part 31 Tak Terduga
Andrew mengusap wajahnya dengan kasar. Mengapa pikirannya bisa sejauh itu. Dan apa urusannya dengan dirinya. Akhirnya hati kecilnya mengakui. Ia tak rela jika Manika terluka.
Kembali Andrew menghibur dirinya, dan berdoa tulus dalam hati, untuk gadis yang ia cintai, memohon pada sang khalik, agar selalu melindungi dan memberikan kebahagiaan untuk Manika. Biarlah dirinya saja yang merasakan luka, karena orang yang dicintai, mencintai orang lain.
Andrew melafalkan dzikir dan doa, sambil rebahan, hingga rasa kantuk menyerang. Akhirnya ia pun tertidur di sofa, dengan pulasnya.
***
Laras menepati janjinya, akan menemui Winda di shelter. Sebelum ke sana, ia belanja makanan dan jajanan untuk Winda.
"Assalamu'alaikum," sapa Laras semringah. Saat sampai di shelter.
"Walaikum salam," jawab penghungi shelter kompak.
"Maaf, Mbak, mau nyari siapa?" tanya salah satu penghuni.
"Oya kenalkan, saya Laras, mau ketemu dengan Winda."
"Oh, Winda, dia lagi mandi, tunggu aja sebentar, sini duduk, Mbak!"
"Iya, terima kasih." Laras pun duduk, di temani dua orang penghuni shelter, mereka pun mengobrol, dua orang itu bergantian menceritakan masalah yang sedang di hadapinya pada Laras. Membuat Laras prihatin dengan nasib para teman sesama di perantauan.
Laras pun bersyukur dalam hati, karena selama bekerja di Hongkong, tidak pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan, apa lagi sampai menyangkut ke ranah hukum. Mendengar cerita orang-orang, yang sedang mengalami kasus hukum. Laras merasa tersentuh.
"Mbak, Laras!" panggil Winda dengan wajah semringah.
Mereka pun bersalaman. Winda memberitahu teman-teman sesama penghuni shelter, tentang Laras yang menjadi Dewi penolong baginya.
"Kami, sudah tahu, sudah ngobrol banyak," tutur Yanti, salah satu yang menemani Laras ngobrol. Yanti orang tua tunggal memiliki dua orang anak, sejak sang suami meninggal, ia menitipkan anak-anaknya pada orang tuanya. Sementara dirinya bekerja di Hongkong.
Dua tahun pertama Yanti lewati dengan sukses tanpa hambatan, hingga habis kontrak. Baru saja setahun berjalan kontrak yang baru. Ia di vonis menderita tumor pada payudaranya. Awalnya sang majikan masih baik, bahkan mengantarnya ke rumah sakit, karena ketika itu Yanti harus opname.
Tiga hari di rumah sakit, Yanti di perbolehkan pulang, namun jadwal operasi pengangkatan tumor, masih menunggu sebulan lagi. Saat itulah tiba-tiba sang majikan mengusirnya, tanpa alasan, beruntungnya ia memiliki saudara yang juga bekerja di Hongkong, sehingga ia mendapatkan pertolongan.
Sesuai undang-undang ketenagakerjaan Hongkong, yang mana jika pekerja sakit, atau hamil, majikan tidak boleh memecatnya secara sepihak. Itulah yang membuat Yanti melaporkan sang majikan ke department terkait.
Pemberhentian atau pemecatan, itu ada aturannya. Jika majikan sudah tak lagi membutuhkan pekerja, harus melalui pemberitahuan satu bulan sebelum si pekerja diberhentikan, yang mana harus mengirimkan surat pemberitahuan tersebut ke imigrasi.
Pekerja yang di berhentikan harus mendapatkan, satu bulan gaji ditambah uang tiket pesawat. Jadi semua sudah di atur oleh undang-undang.
Beda Yanti beda lagi kasus yang menimpa Rina, pekerja asal Malang. Yang di potong gaji sebulan, untuk mengganti rugi hiasan antik mahal yang tak sengaja ia pecahkan.
Padahal menurut undang-undang ketenagakerjaan, apa bila seorang pekerja tak sengaja merusak barang milik majikan, seberapa pun mahalnya harga barang tersebut, maka tidak boleh memotong gaji pekerjanya lebih dari 300 dolar Hongkong. Minimal gaji pekerja sebulan saat ini adalah 4630. Namun banyak yang lebih dari gaji minimal, tergantung kesepakatan, bagi yang mau memperpanjang kontrak, atau pindah majikan.
Untuk itulah Rina melaporkan sang majikan yang semena-mena memotong gajinya. Rina hanya ingin menuntut haknya. Sebagai pekerja sesuai undang-undang yang berlaku.
"Win, ini, ada makanan buat, kamu, bisa makan bareng-bareng sama teman-teman di sini!" Laras memberikan kantong berisi makanan dan buah pada Winda.
"Ya ampun, Mbak Laras, jadi ngrepotin, terima kasih yah, semoga di bales sama Allah," ucap Winda.
"Nggak apa, Win, semoga yah kasus kalian semua cepet selesai, jadi bisa mulai kerja lagi."
"Aamiiin, Mbak Laras, baik banget. Terima kasih sekali lagi ya, Mbak."
"Iya, win."
Setelah cukup lama Laras berada di shelter. Akhirnya ia pun pamit. Berjalan seorang diri, menikmati hari libur sendirian.
Laras kini sering menyendiri, teman-temannya semua menjauhi. Semenjak ia memutuskan kembali ke jalan yang benar, bukan jalan yang selama ini ia jalani. Penuh nista dan dosa. Andai saja sahabatnya Sisil masih hidup, tentunya ia tak kesepian seperti saat ini setiap minggunya.
Saat duduk seorang diri di tepi pantai, Laras merenungi nasibnya, belum tahu apa yang akan ia lakukan. Tak mungkin selamanya akan bekerja di Hongkong. Ingin pulang ke kampung halaman, rasanya malu, walau dihatinya terbelenggu rindu.
Airmata selalu mengalir, mana kala, ingat dengan semua yang telah ia lalui. Kerinduan pada buah hatinya Manika membuat sesak di dada.
Entah seperti apa wajah putrinya, yang kini sudah dewasa. Mungkin sang putri tak akan sudi memaafkannya, setelah apa yang ia janjikan ternyata ia ingkari.
Memori tentang masa lalu kembali, menari-nari dalam benaknya. Laras mengingat semuanya kini. Menambah kepilian di hati. Ia tak bisa menahan tangisnya, ia tumpahkan segala rasa yang menghimpit jiwanya. Sengaja duduk agak jauh dari pengunjung lainnya. Agar bisa menangis hingga lega.
Tiba-tiba, seseorang memberi tisu kepada Laras, tanpa suara. Ia mendongak kan kepala sesosok laki-laki muda, sedang berdiri menatapnya.
"Ambilah!" Lelaki itu berkata dalam bahasa inggris, sambil mengulurkan tisu padanya. Yang ternyata adalah Andrew.
"Terima kasih." Laras pun mengambil tisu pemberian lelaki itu. Sang pemberi tisu pun duduk tak jauh dari tempat Laras.
Laras memerhatikan lelaki itu yang belum pernah bertemu sebelumnya, sedang menatap jauh ke tengah laut lepas. Ia pun tak berani bersuara.
"Sudah nangisnya? Kalau masih pengin nangis, nangis saja lagi, biar lega!" saran Andrew.
Laras terdiam, merasa aneh dengan lelaki yang kini berada di dekatnya. Laras merasa kalau lelaki itu sedang patah hati.
"Maaf, kalau kehadiranku mengganggumu," ucap Andrew kembali.
"Oh tidak apa, ini kan tempat umum," jawab Laras.
"Kalau boleh tahu, kenapa sendirian menangis di sini?"
"Tidak apa-apa, cuma ingat anak di kampung," jawab Laras jujur.
"Kan bisa nelpon dengan sambungan video."
Laras terdiam tak tahu harus menjawab apa, kata-kata lelaki itu membuatnya semakin merasa sedih. Kembali bulir bening sukses meluncur tanpa mampu di cegahnya. Andrew yang melihat itu menjadi merasa bersalah. Ia yakin wanita yang ada di dekatnya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Aku, minta maaf, kalau menambah kesedihanmu, dengan kata-kataku," ucap Andrew tulus.
"Kamu, nggak salah, nggak perlu minta maaf." Laras berusaha untuk tersenyum
"Maaf, kalau boleh tahu dari mana asalnya?"
"Indonesia, kamu, sendiri?"
"Canada."
"Oh."
Sesaat hening tercipta, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Andrew melepaskan pandangannya ke laut lepas. Mencoba melupakan bayangan wajah Manika, yang selalu hadir dalam benaknya.
Sementara Laras sibuk dengan ponselnya, berusaha mencari teman-temannya di kampung halamannya, melalui akun media sosial, walau belum menemukan, namun tetap mencari pantang menyerah. Berharap menemukan salah satunya.
Angin berembus sepoi-sepoi, ombak di bibir pantai menari, terlihat banyak pengunjung pantai sedang bermain pasir, yang sesekali di terjang ombak, mereka nampak bahagia. Laras tak lepas memandangi sepasang suami istri, dan anak perempuannya berusia sekitar tujuh tahun.
Ingatan Laras pun kembali ke masa belasan tahun yang lalu, saat bermain di pantai teluk penyu, bersama suami dan putrinya. Kembali hatinya terasa teriris, perih tak terkatakan, meski tak berdarah, namun sakitnya tak terlawan. Semua karena keegoisan dirinya, yang ingin hidup bebas, bersenang-senang tanpa beban.
Namun kini hanya menyisakan, penyesalan tak berkesudahan. Lagi dan lagi tirta netra menganak sungai. Kembali melawan sesaknya rongga dada, saat penyesalan menari dan merongrong jiwanya.
Andrew yang melihat Laras kembali menangis pun tak urung bertanya. "Kenapa, menangis lagi? Apakah ada sesuatu, yang membuat sakit hatimu?"
Laras menarik nafas dengan berat sebelum menjawab. "Aku seorang pendosa, kesalahanku sulit termaafkan." Kembali Laras menangis, kali ini ia menangis dengan suara keras, karena sudah tak tahan menahan sesak di dadanya. Andrew hanya mampu terdiam, membiarkan Laras menumpahkan segala beban batinnya.
Beberapa lama kemudian, Laras sudah bisa menenangkan diri. Terasa sedikit lega, setelah menumpahkan beban deritanya.
Andrew memberi sebotol minuman berenergi pada Laras. "Minumlah, biar nanti ada tenaga kalau mau nangis lagi." guraunya.
Laras pun tersenyum, dan menerima pemberian Andrew. "Boleh tahu, siapa namamu!" tanya Laras, memberanikan diri.
"Bolehlah, namaku Andrew, kamu?"
"Namaku Larasati, panggil saja Laras."
"Baiklah, kita, bisa berteman, kalau butuh teman diskusi atau berbagi cerita, entah sedih, gembira, aku siap mendengar."
"Terima kasih, kamu, baik sekali, berapa usiamu?"
"28, kamu?"
"Aku sudah tua 46,"
"Berapa anakmu?"
"Cuma satu, perempuan, sudah umur 24 tahun."
"Wow, sudah besar yah, tapi, kamu terlihat lebih muda dari usiamu, pasti anakmu secantik Ibunya, coba kalau dia ada di sini, bolehlah kujadikan istri, menjadi makmumku." Andrew tertawa selesai berkata.
"Kamu, muslim?" tanya Laras penasaran.
"Alhamdulillah, aku, mualaf, baru belajar memperdalam agama."
"Alhamdulillah, selamat yah."
"Terima kasih, ngomong-ngomong, anakmu sudah menikah belum, jadikan aku menantumu dong."
Kembali kata-kata yang keluar dari lisan Andrew, membuatnya membisu.
"Kok, diam, tidak suka dengan kata-kataku? Kalau begitu, aku minta maaf."
"Aku, sendiri tak tahu seperti apa anakku saat ini …." Laras tak mampu melanjutkan kalimatnya. Dadanya kembali sesak, cepat-cepat menghela nafas, ia tak ingin lagi menangis, sekuat tenaga menahan tangisnya jangan sampai kembali pecah.
Andrew bisa merasakan, ada sesuatu pada Laras. "Jika berkenan, ceritalah, padaku, agar bebanmu berkurang, itu pun kalau percaya padaku." ucap Andrew tenang.
Laras menatap Andrew, nampak Andrew pun sedang menatapnya. Laras menemukan kejujuran di mata Andrew. Entah mengapa ia merasa seperti sudah lama mengenalnya.
Akhirnya Laras, menceritakan kisah hidupnya, pada Andrew, lelaki muda yang baru di kenalnya, semua ia cerikan, diiringi isak yang tertahan, selesai menceritakan. Laras kembali menangis, tak lama kemudian ia berkata. "Aku tak pantas disebut Ibu, anak kandung sendiri dilupakan."
Andrew baru mengerti, mengapa Laras, terlihat begitu menderita. "Setiap orang, pernah melakukan, kesalahan, karena setan ikut berperan, selagi kita menyadari, dan berusaha untuk memerbaikinya. Allah pasti akan mengampuni dosa kita." tutur Andrew meyakinkan Laras.
Laras merasa tersentuh, mendengar kata-kata Andrew. Hingga tak sadar hatinya berkata, andai saja orang sebaik Andrew menjadi menantunya. Namun Laras cepat-cepat beristighfar, karena berandai, takut mendahului ketetapan dari sang pencipta.
"Apakah kamu, masih mau berteman denganku, setelah mengetahui siapa, aku, yang sebenarnya?" tanya Laras.
"Kenapa tidak, berteman itu tidak perlu memandang seperti apa masa lalunya."
"Kamu, sendiri aku lihat, sepertinya, sedang ada masalah, kalau boleh tahu, apa itu?"
Kini Andrew yang nampak menarik nafas dalam-dalam.
Apakah Andrew juga akan menceritakan tentang cintanya yang kandas sebelum berkembang pada Laras? Yang notabene adalah ibu kandung dari gadis yang ia cintai.
Jangan lupa ikuti kisah selanjutnya.
Bersambung.