Part 26 Tutupnya Penerbangan
Manika merasa berbunga hatinya. Ia pun yakin Abizar juga menyukainya. Namun ia tetap melibatkan, sang mahakuasa. Dalam setiap langkah yang menjadi pilihannya.
Ketiga gadis itu, kini berada di tempat tinggal Thoriq, setelah melaksanakan shalat ashar. Mereka berkumpul membahas pernikahan Thoriq dan Tyas.
Ada Andrew, Syahdan, Upuli dan suaminya Shane, juga Patrick. Sementara, Lee dan Mark sedang pulang ke Negara asalnya. Ada juga teman baru Thoriq sesama dari Maroko dua orang, Ilyas dan Markus.
Mereka ngobrol hingga waktu maghrib tiba. Setelah shalat maghrib, mereka pergi ke sebuah restaurant untuk makan malam bersama.
Suasana penuh keakraban, membuat semua orang merasa senang. Manika yang tahu akan pulang terlambat buru-buru mengabari sang majikan, begitu pun dengan Ayuni.
"Nik, kenapa, makannya sedikit?" tanya Andrew.
"Tadi, siang makan seafood banyak, jadi belum begitu lapar."
"Kan tadi siang makannya, kok masih kenyang, takut gendut yah?"
Manika tersenyum, sambil mengangguk. Andrew hanya menggelengkan kepala. Tyas dan Ayuni merasa kasihan melihat Andrew. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Karena sang sahabat, telah menjatuhkan pilihannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 20:15 Ayuni dan Manika lebih dulu pamit. Andrew menawarkan diri pada Manika untuk mengantarnya. Namun gadis itu menolaknya. Dengan alasan teman mereka masih ada di situ semua.
Andrew merasa sikap Manika, agak berbeda. Ia yang diam-diam, selalu memerhatikan gadis itu. Beberapa kali melihat. Selalu membuka ponselnya. Seperti sedang menunggu seseorang, menelepon atau berkirim pesan padanya.
Andrew pun kembali bergabung, dengan teman-temannya. Ia mencoba untuk tidak terus menerus memikirkan Manika. Berkali-kali ia selau beristighfar. Mohon ampunan dari sang pencipta.
Andrew merasa, Manika tak menyukainya. Nampak jelas sikapnya terbaca olehnya. Meski kecewa, namun ia mencoba, untuk berusaha ikhlas, bila cintanya bertepuk sebelah tangan.
***
Manika sampai di rumah, sudah pukul 21:55 hampir satu jam terlambat, dari biasanya. Bergegas membersihkan diri.
Setelah selesai melakukan kewajibannya, sebagai muslimah. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, tak lupa mengambil ponselnya. Sebelum masuk rumah, ia sempat chat dengan Abizar. Dan akan bersambung kalau sudah masuk kamarnya.
Manika senyum-senyum sendiri, saat membuka ponselnya, sudah ada pesan dari Abizar. Dengan hati berbunga membalas pesannya. Hanya selang beberapa detik, panggilan masuk dari Abizar muncul.
"Assalamu'alaikum, Manika." Suara Abizar terdengar merdu di telinganya.
"Walaikum salam."
"Sudah, shalat isya kan?"
"Sudah."
"Alhamdulillah, sesibuk apa pun, usahakan tetap shalat yah, karena itulah menandakan, kita seorang muslim."
"Iya, terima kasih, sudah mengingatkan."
Dua insan yang sedang tertarik, satu sama lain itu, mengobrol cukup lama, Manika begitu senang karena Abizar sosok yang ia dambakan, dari pertama berjumpa, sudah memberikan kesan mendalam di hatinya.
Abizar sosok pria, yang dewasa, lembut dan berwibawa, itulah kesan yang Manika dapatkan. Hatinya makin terpaut padanya.
"Sudah malam, sebaiknya istirahat," ucap Abizar.
"Iya, cukup lama juga, kita, ngobrol."
"Ya sudah, selamat tidur, jangan lupa berdoa, semoga, Allah, senantiasa melindungi kita."
"Aamiin."
"Wassalamualaikum," pungkas Abizar.
"Walaikum salam," tutup Manika.
Baru saja menutup ponselnya, dua pesan dari Andrew muncul di layar.
[Sudah tidur, Nik? Maaf mengganggu]
[Good night]
Mau tak mau Manika pun membalasnya. [Good night]
Setelahnya, Manika, menonaktifkan ponselnya, bersiap untuk tidur, menjemput mimpi indahnya, agar menemani hatinya, yang sedang berbunga-bunga, bagai tanaman di musim semi, serempak tumbuh dan merekah kembali. Setelah musim gugur yang telah terlewati.
***
Hari berganti, di tempat lain, Tyas nampak bersedih. Karena pemerintah Hongkong, baru saja mengumumkan, penutupan penerbangan sementara. Disebabkan kasus covid muncul variant baru, sudah menjangkiti banyak orang.
Tiket pesawat yang sudah terlanjur di pesan, memang tidak hangus. Tetapi rencana yang sudah tersusun menjadi gagal. Beruntungnya, Thoriq selalu menghiburnya, bahwa semua sudah kehendak yang mahakuasa.
Tyas pun berusaha ikhlas. Bersyukurnya lagi, sang majikan yang baik, cepat-cepat mengajukan visa ke imigrasi untuknya, karena sebentar lagi habis masa berlakunya.
Tyas segera menelepon keluarganya di kampung. Mereka pasti kecewa, karena Tyas batal pulang, otomatis batal menikah. Padahal kedua orang tuanya sangat berharap dirinya segera menikah, mengingat umur sudah mencukupi.
Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, selama ini, Tyas sudah banyak membantu perekonomian keluarga. Bapaknya sudah merasa cukup, dan ingin cepat-cepat menikahkan putri pertamanya itu.
"Jadi, ndak bisa pulang, Nduk?" tanya sang bapak kecewa juga cemas.
"Iya, Pak, penerbangan di tutup," sesal Tyas.
"Bagaimana lagi, Nduk, semua sudah ada yang mengatur," ucap sang bapak lirih.
"Maafkan, Tyas, ya Pak."
"Ndak usah minta maaf, wong bukan salahmu, semua ini ujian, karena keadaan, kita, harus sabar, dan tetap berdoa, semoga semua cepat berlalu."
"Iya, Pak, ya sudah, Tyas mau ke imigrasi, untuk mengurus visa, ijin tinggal sudah mau habis soalnya."
"Ya, sudah, hati-hati, salam buat Nak Thoriq."
"Iya, Pak, nanti, Tyas sampaikan. Wassalamualaikum." Tyas mengakhiri panggilan teleponnya. Ia sedih, karena belum bisa mewujudkan keinginan orang tuanya yaitu menikah.
***
Manika dan Ayuni pun ikut sedih, dengan kabar penutupan penerbangan di Hongkong. Banyak orang yang kecewa, karena rencananya gagal. Namun semua hanya bisa pasrah tak mampu berbuat apa-apa.
Pandemi entah kapan akan berakhir. Ada saja variant baru, seperti beranak pinak, tidak hanya membuat susah, namun mampu mengubah dunia. Bagi kaum hartawan, tidaklah pusing dengan kebutuhan hidup, terutama isi perut. Namun bagi kaum papa, benar-benar harus pontang panting, agar tetap bisa makan, untuk bertahan dalam kehidupan.
***
Andrew semakin giat belajar agama. Bahkan ia mengundang guru ngaji secara private, untuk mengajarinya baca tulis Alquran.
Makin lama Andrew, semakin merasa hidupnya lebih terarah. Mampu mengendalikan hawa nafsu. Sedikit demi sedikit, ilmunya tentang agama bertambah. Menghadirkan ketenangan dalam jiwanya.
Andrew tak lagi mengejar Manika, walau rasa di hatinya, untuk gadis itu masih tetap ada. Namun ia menyadari, dari sikap Manika, sudah menunjukkan penolakan darinya. Meski ia belum pernah menyatakan perasaannya. Tetapi sebagai pria yang sudah dewasa, cukup bahasa tubuh yang bicara.
"Bro, apakah, kamu, sudah pernah menyatakan perasaanmu, pada Niki?" tanya Thoriq suatu hari, selepas mereka menghadiri tauziah. Dengan penceramah seorang dai ternama dari Indonesia, yang fasih berbahasa inggris.
"Tidak perlulah, aku, tahu, dia, pasti tahu perasaanku padanya. Bahasa tubuhnya terlihat jelas, dia, menolakku," jawab Andrew tenang.
"Apa salahnya, menyatakan langsung padanya, karena sebagian perempuan, butuh pernyataan dan pengakuan."
"Sebelumnya, sikap, Niki, biasa. Tetapi sepulangnya dari Peng Chau, bersama Tyas dan Ayuni. Ia nampak berubah, seperti orang yang sedang jatuh cinta. Sayangnya bukan, aku, orangnya yang, dia cintai. Karena sejak itu, nampak penolakan halus ditujukan padaku."
"Sabar yah, mungkin ini ujian, buatmu. Dengar sendiri kan kata ustaz Fariq, semakin tinggi keimanan seorang muslim, semakin berat ujiannya."
"Tenang saja, aku, sedang belajar untuk ikhlas, mencintai tidak harus memiliki, selama, Manika belum menikah atau bertunangan, selama itu juga, rasa cinta ini masih tetap ada dan tersimpan. Namun jika kelak, kutahu, dia sudah ada calon suami. Maka rasa cinta ini, akan kubuang sejauh-jauhnya. Kuganti dengan doa terbaik, untuk kebahagiaannya." tutur Andrew panjang lebar.
Untuk sesaat Thoriq hanya mampu terdiam. Ia tahu apa yang dirasakan sahabatnya saat ini. Lelaki itu menepuk bahu Andrew, lalu berkata.
"Percayalah, ketika, kita, ikhlas. Allah, akan menggantinya dengan yang lebih baik."
"Yah, aku, percaya." Andrew tersenyum, berusaha menampakkan wajah tenangnya. Kendati tetap ada risau yang mendera.
"Bagaimana rencana pernikahanmu, Bro?" tanya Andrew pada Thoriq.
"Aku, pun belum tahu, penerbangan saja belum dibuka."
Baru selesai menjawab pertanyaan Andrew, ponsel Thoriq berdering, panggilan dari calon istrinya, segera di angkatnya. Terdengar isakan tangis Tyas di ujung ponselnya.
"Sayang, kamu, kenapa nangis?" tanya Thoriq khawatir.
"Bapak … kecelakaan, sekarang sedang koma, kata dokter mengalami … gegar otak."
"Innalillahi wa innaillahirojiun, sabar yah, kita, doakan Bapak biar cepat sadar dan sembuh." ucap Thoriq, Andrew yang berada di sebelahnya pun kaget.
"Aku, takut, bapak …." Tyas tak melanjutkan kata-katanya, malah menangis semakin menyayat, membuat Thoriq ikut cemas.
"Sayang, dengar baik-baik! Jangan bicara yang tidak-tidak, mending berdoa, agar Bapak cepat siuman."
"Beberapa hari yang lalu, Bapak bilang, sebelum di panggil, Allah, ingin melihatku menikah." Kembali Tyas menangis. Kemudian ia pamit menyudahi panggilan teleponnya.
Thoriq terdiam, kata-kata Tyas tentang bapaknya, membuatnya cemas. Andrew yang melihatnya pun bertanya.
"Ada apa dengan Bapaknya, Tyas?"
"Kecelakaan, waktu naik motor, sekarang koma, kata dokter mengalami gegar otak, padahal beberapa hari yang lalu, bilang sama Tyas, sebelum ajal menjemput, menginginkan Tyas sudah menikah."
"Bro, maaf sebelumnya, bukan mendahului takdir, apa tidak sebaiknya pernikahan kalian di percepat, kan bisa melalui panggilan video secara langsung, lakukan saja ijabnya secara online, sementara minta orang untuk mengurus, di Indonesia, dengan menyediakan layar besar, dan beberapa saksi, juga penghulu." Andrew memberi saran, sambil meyakinkan sahabatnya, kalau semua bisa, asal berusaha.
"Bagaimana caranya?"
"Tanya, para Ustaz, pemuka agama, di Islamic union, biar aku saja yang tanya." Andrew segera mengambil ponselnya. Terlihat ia sedang menelepon seseorang.
Andrew sedang berbicara di telepon, dengan salah satu pemuka agama, menceritakan tentang semua yang dialami sahabatnya. Tak lupa meminta pendapat, tentang melangsungkan pernikahan online, di depan wali, yang saat ini sedang koma, menurut keterangan dokter, mengalami gegar otak parah.
Selesai melakukan, panggilan telepon, Andrew, menyuruh Thoriq, untuk memersiapkan semuanya. Sekaligus memberitahu Tyas. Agar menghubungi keluarganya di Indonesia.
Keesokan harinya, Thoriq dan Tyas, mengurus semua keperluan. Untuk acara akad nikah yang akan di laksanakan, hari itu juga bada ashar. Majikan Tyas pun ikut membantu, dengan menelepon majikan Manika dan Ayuni, agar mereka bisa menyaksikan, akad nikah sahabatnya.
Sementara nun jauh di Indonesia sana, keluarga Tyas, dan pihak rumah sakit, ikut membantu memersiapkan yang akan digunakan, ruang rawat sudah di tata, meja dan kursi untuk penghulu, saksi, juga wali pun sudah tersedia.
Manika dan Ayuni, sudah sampai, di apartment Thoriq, begitu pun dengan teman-teman Thoriq. Semua ingin menyaksikan jalannya prosesi akad nikah sahabat mereka.
Tyas yang awalnya tak mau dirias pun, akhirnya mengalah, walau dengan berat hati. Demi sang bapak, ia berusaha tetap tegar, meski hatinya sangat hancur, melihat lelaki yang sangat dicintainya, terbaring tak bergerak.
Tak henti-hentinya, Tyas melafalkan doa, semoga ada keajaiban, bapaknya sadar dan kembali sehat.
"Yas, yang kuat yah, sabar dengan semua ujian ini," ucap Manika.
"Kamu, pasti bisa, Yas! Bapakmu, pasti bangga," imbuh Ayuni.
"Iya, terima kasih, yah," jawab Tyas.
"Terima kasih ke, Bossmu, saja, berkat beliau, kita berdua, bisa ke sini," ucap Ayuni.
"Harus, bersyukur punya, Boss, sebaik beliau." Manika menganggukkan kepalanya, sejurus kemudian, mereka bertiga saling berpelukan.
Tyas telah selesai dirias, dengan riasan sederhana, terlihat natural. Namun tetap cantik, dengan memakai kebaya brukat warna putih kerudung yang ditata rapi, warna senada.
Sementara Thoriq, memakai baju koko, yang juga berwarna putih. Baju yang mereka sudah siapkan dari sebulan lalu itu, memang sengaja di buat untuk acara akad nikah mereka, tapi bukan seperti saat ini situasi yang mereka harapkan.
Video sudah tersambung, ke kamar di mana bapaknya Tyas berada. Terlihat di layar televisi. Para saksi, yaitu ketua RT dan RW tempat tinggal rumah orang tua Tyas. Dan wali akan diembankan kepada paman Tyas, adik kandung bapaknya.
Thoriq dan Tyas duduk paling depan, agar terlihat di layar, sehingga keluarganya, bisa melihat dengan jelas. Penasehat perkawinan yaitu ustaz Karim, memberikan nasehat untuk kedua mempelai.
Terlihat dari layar, nampak di ruangan rumah sakit, dokter sedang memberikan pertolongan, pada bapaknya Tyas. Yang tiba-tiba detak jantungnya berhenti.
Semua orang terlihat panik. Baik yang berada di rumah sakit, mau pun di Hongkong.
"Tyas, coba, kamu, bicara, Bapakmu pasti mendengar, ayo, Nduk, bicaralah!" titah sang paman. Dengan menahan tangis, Tyas pun berkata.
"Bapak, lihat! Hari ini, Tyas nikah, Minta doa restunya, ya, Pak?"
Bersambung.