Part 25 Pilihan Manika
Deg … kembali jantung Laras tiba-tiba berhenti berdetak. Tidak hanya itu, serasa dihantam bongkahan batu besar, remuk redam rasanya dada, hancur berserak tak berbentuk lagi. Sakit yang teramat sangat, hingga membuatnya terpaku.
Bulir bening mengalir dengan derasnya, ingin rasanya Laras menangis sekeras-kerasnya, agar berkurang sesak di dada. Namun apa daya, hanya mampu membisu menahan pilu.
"Memang menyedihkan ya, Mbak? Kasihan orang tuanya, menderita karena ulah anaknya. Sampai sekarang katanya, belum pernah kasih kabar. Mungkin dia pikir, jauh dari kampung halaman, tidak ada yang tahu keberadaannya di sini. Padahal itu salah, tetap ada yang mengenalinya. Semoga saja ya, Mbak, kita dijauh kan dari sifat lupa diri."
Laras hanya mengangguk, sambil menyeka air matanya. Lia kembali berkata. "Mbak Laras, cuma dengar cerita, saja bisa nangis, berarti, Mbak, orang yang bisa merasakan penderitaan, juga kesedihan orang lain, hanya orang benar-benar baik yang gampang tersentuh."
Laras memaksakan diri untuk tersenyum, walau teramat sulit. Dengan menahan semua rasa, Laras memilih pergi, karena sudah tak kuat lagi, mendengar cerita dari Lia, ia pun berpamitan.
"Maaf, aku, mau pulang dulu yah."
"Oh iya, Mbak, kan tinggalnya nggak di Yuenlong, sini yah, emang di mana tinggalnya?"
"Di Tai Wai."
"Oh ya udah, hati-hati ya, Mbak!"
"Oke, terima kasih yah, sudah di temenin ngobrol."
Setelah berkata, Laras melangkah cepat menuju halte. Membawa luka derita, buah dari semua perbuatannya.
***
"Serius, Yas?" tanya Manika dan Ayuni hampir bersamaan. Ketika sahabat mereka Tyas memberitahu akan menikah.
"Iya, doain yah."
"Pastilah, kita selalu doain." sahut Manika.
"Thoriq sudah urus surat-surat?"
"Sudah, nanti, kita bareng dari sini. Tapi orang tua Thoriq dan kakaknya, akan nyusul, langsung dari maroko."
"Syukurlah, sudah beli tiket?" tanya Ayuni.
"Sudah."
"Alhamdulillah, akhirnya, kamu duluan yang akan nikah, jadi pemenang deh, kamu." Manika memeluk Tyas, begitu pun Ayuni.
"Majikanmu, bagaimana?"
"Alhamdulillah, mendukung, aku juga udah ngenalin, Thoriq, padanya, waktu itu, kita makan bareng."
"Nggak nyari ganti?" tanya Ayuni.
"Nggak, anaknya mau kuliah di kanada, majikanku, kan udah bercerai, jadi nanti dia tinggal sendiri."
"Sayangnya, kita berdua, belum habis kontrak, jadi nggak bisa menghadiri pernikahanmu sama Thoriq," sesal Ayuni.
"Iya, sedih ih, sahabat nikah, nggak bisa hadir."
"Nggak apa, semua karena keadaan, kalian, masih terikat kontrak, yang penting doanya."
Ketiga gadis itu kembali berpelukan, kali ini Manika dan Ayuni, tak mampu membendung airmatanya. Dulu mereka saling berjanji, akan ada disaat hari pernikahan masing-masing. Namun takdir berkata lain.
"Padahal Syahdan penginnya nikah beda beberapa hari saja dengan Thoriq, tapi terhalang keadaan," ucap Ayuni.
"Sabar, mending, kamu Ay, udah ada calon, lah, aku, masih jomblo," tutur Manika.
"Nik, sebenernya, kamu, punya rasa apa nggak sih ke, Andrew?" Tyas bertanya, tepatnya seperti mengintrogasi.
"Padahal Andrew, cinta banget, loh, Nik, sama, kamu!" imbuh Ayuni.
"Entahlah, aku pun, belum tahu, kalian kan tahu, aku menginginkan calon suami, yang bisa jadi imam."
"Kalau … seandainya, Andrew jadi mualaf, apakah mau menerima, dia? Kamu pernah bilang kan, lebih baik di cintai, dari pada mencintai, walau tetap saling mencintai yang terbaik." Tyas berkata sambil menatap Manika.
Manika menarik nafas, lalu mengembuskan kembali. Kemudian berkata. "Kalau, Andrew, jadi mualaf hanya karena ingin mendapatkan, aku, jujur, sulit bagiku untuk menerima. Beda kalau menjadi mualaf, karena memang mendapatkan panggilan hidayah, hatinya tersentuh, menginginkan, dengan sadar dan mengakui adanya Allah, tak ada alasan bagiku menolaknya."
Tyas dan Ayuni saling berpandangan. mereka ingin sekali bicara tentang Andrew yang sebenarnya. Namun teringat janjinya pada lelaki itu, akhirnya hanya mampu terdiam lesu. Namun tetap mendoakan yang terbaik untuk Manika, juga Andrew.
Ketiga gadis itu sedang menikmati libur bertiga, menyeberang ke Pulau Lantau, dengan menaiki ferry. tepatnya di sebuah daerah Peng Chau. Untuk menikmati kuliner seafood. Rumah makan seafood berjejer, menghadap laut. Dengan pemandangan, perahu, kapal para nelayan yang sedang bersandar.
Ketiganya memesan aneka olahan seafood, mereka pun menikmati dengan lahap. Selesai bersantap, mereka berjalan-jalan, mengelilingi wilayah perkampungan namun tetap modern. Tak lupa singgah di area gembok cinta. Entah berapa jumlah gembok cinta yang ada di tempat itu. Semua orang boleh menaruh gembok di sana. bermacam tujuannya, semua karena cinta.
"Yas, kamu, nggak naruh gembok di sini sama, Thoriq?" tanya Ayuni.
"Buat apa ikut-ikutan, yang penting photo dan nama, kita, ada di buku nikah," jawab Tyas.
"Betul," imbuh Manika.
"Duh, yang bentar lagi dapat ijab sah," celetuk Ayuni.
"Eh, ngomong-ngomong, koq, Thoriq sama Syahdan, nggak nyari kalian sih!" ucap Manika heran.
"Nanti sekitar jam empat, ketemu mereka, sekalian dinner together," terang Tyas.
"Oh gitu," sahut Manika.
"Ayo, ke pantai, tapi ke toilet dulu, sekalian wudhu, nanti tinggal shalat."
Mereka pun berjalan menuju toilet umum. Setelah selesai ketiga gadis itu menuju ke pantai, yang lumayan ramai pengunjung. Kebanyakan warga asing, di pantai mana pun, selalu banyak orang asing berwajah bule. Entah mengapa mereka suka sekali dengan pantai, kadang hanya berjemur saja, dengan tengkurap mau pun terlentang.
Musim baru berganti, dari musim dingin ke musim panas. Cuaca yang cerah, matahari bersinar cerah, tapi belum terlalu menyengat, karena masih ada sisa-sisa musim dingin. Dengan temperature yang sedang, paling nyaman untuk bermain di pantai.
Manika baru saja menggelar plastik, untuk alas duduk. Terdengar seseorang memanggilnya. "Kak, Nik!'
Tak hanya Manika yang menoleh ke arah orang yang memangginya, begitu pun Ayuni dan Tyas.
"Hilda! di sini juga, rupanya?"
"Iya, Kak, eh teman-teman kenalkan ini, Kak Niki, tetangga satu blok." Hilda memperkenalkan, Manika pada Teman-temannya.
Mereka pun akhirnya saling berkenalan. Manika dan Kedua sahabatnya melaksanakan shalat secara bergantian. Setelah itu mereka mengobrol bareng dengan Hilda, dan kedua temannya.
Waktu terus bergerak, tak terasa cukup lama mereka duduk dan ngobrol. "Cepet banget sudah jam tiga," gumam Ayuni.
"Iya, ya udah yuk, kita jalan!" ajak Tyas.
"Kak, Nik, mau pulang sekarang?" tanya Hilda.
"Belum, mau ke tempat lain, ada janji sama teman," jawab Manika.
"Oh, oke, kita nantilah pergi dari sini setengah lima,"
"Oke deh, kami, pergi dulu yah? Kalian hati-hati!"
"Siap, Kakak, bye bye." Hilda melambaikan tangannya, begitu juga dengan kedua temannya.
Manika, Tyas dan Ayuni, berjalan menuju dermaga, ketika sedang duduk di ruang tunggu, menunggu kapal ferry datang, tak sengaja pandangan netranya bertemu dengan sosok laki-laki yang sepertinya pernah pernah dilihatnya. juga sedang menunggu seperti dirinya.
Laki-laki itu mengangguk, dan menangkupkan tangan di depan dadanya. Manika pun balas mengangguk. Sambil mengingat- ingat, siapa gerangan lelaki itu.
"Nik, kamu, kenal dengan orang itu?" tanya Ayuni, yang kebetulan sejak tadi memerhatikannya.
"Entahlah, rasa nya seperti pernah ketemu. Tapi entah di mana," jawab Manika.
"Sepertinya, orang Timur Tengah," ucap Tyas.
Mendengar kata yang di ucapkan Tyas, tiba-tiba Manika teringat. Kini ia sudah mengingat di mana pernah bertemu lelaki itu. Yaitu di masjid jami Kowloon. Lelaki yang pernah membuatnya serasa tertampar, karena memberi hadiah sebuah kerudung, bahkan saat ini kerudung pemberiannya, tengah ia pakai.
"Sudah inget yah, pernah ketemu laki-laki itu di mana?" tanya Ayuni penasaran.
Manika menarik napas. "Dia, yang ngasih, krudung ini, waktu di masjid Tsim Sha Tsui." jawabnya.
"Ooh," sahut Ayuni dan Tyas kompak.
Kapal ferry yang mereka tunggu pun datang. Semua orang berdiri, bersiap naik ke kapal. "Assalamu'alaikum sister!" sapa lelaki Timur Tengah itu, pada Manika dan kedua sahabatnya. Yang tahu-tahu, sudah berada di dekat mereka.
Ketiga gadis itu pun menjawab kompak. "Walaikum salam warahmatullahi wabarakatuh."
Lelaki itu memersilakan, ketiga gadis itu untuk lebih dahulu naik, selanjutnya ia pun naik. Penumpang tidak terlalu penuh, karena mereka memilih kapal yang bagus, yang harga tiketnya lebih dari dua kali lipat dari kapal penyeberangan biasa.
Lelaki itu memilih bangku di sebelah Manika, padahal masih banyak bangku yang kosong. "Bolehkan, saya, duduk di sini?" tannyanya.
"Kenapa tidak," jawab Manika.
Lelaki itu pun duduk dengan santai. "Kamu tambah, cantik dengan berhijab," ucapnya.
"Terima kasih."
"Oh ya, boleh tahu, siapa namamu?"
"Saya, Manika. Ini, Ayuni dan, dia Tyas."
"Alhamdulillah, senang bisa bertemu dengan, kalian. Kenalkan nama, saya, Abizar."
"Anda, sendirian?" tanya Manika.
"Iya, ada urusan sedikit tadi di Peng Chau. Kalian, dari Indonesia, atau Philippine?"
"Indonesia."
"Maaf, apakah kalian sudah menikah?"
"Belum, tapi mereka berdua sudah punya calon suami, satu dari Maroco, satunya dari Maldives."
"Alhamdulillah, dari mana pun, yang penting seiman. Kamu, sendiri, belum punya calonkah?"
"Masih menunggu, entah kapan, Allah, akan mengirimkan satu untukku." Manika tertawa kecil. Sambil melihat ke arah Abizar, yang sedang tersenyum.
"Sabar, akan ada gilirannya. Boleh minta nomormu?"
Manika pun memberikan nomornya, pada Abizar. Lelaki itu langsung mengirimkan pesan. [Terima kasih]
Manika hanya memerlihatkan, pesan Abizar yang sudah masuk, lelaki itu pun tersenyum. Manika dan Abizar ngobrol sepanjang perjalanan di atas kapal, menuju dermaga Central.
Sesampainya di dermaga. Abizar pamit kepada ketiga gadis itu. Sebelum pergi, lelaki itu menatap Manika, gadis itu pun nampak gugup. "Hati-hati yah, jaga diri, nanti malam boleh kan, aku menghubungimu?" tanya Abizar.
Manika mengangguk, ada yang berdesir dalam dadanya. Mungkinkah semua …. Manika cepat-cepat mengusir apa yang ada dalam pikirannya. Sekali lagi ia tak mau mendahului ketentuan yang mahakuasa. Abizar telah melangkah pergi.
"Nik, kok melamun!" seru Tyas yang membuatnya kaget.
"Ampun deh, bikin kaget."
"Lagian melamun."
"Sepertinya, dia lagi tersambar cinta," seloroh Ayuni.
"Beneran, Nik, kamu, suka Abizar?" tanya Tyas.
Manika bingung menjawabnya. Namun sejujurnya, ia memang jatuh hati pada Abizar, ketika lelaki itu memberinya kerudung.
"Yeh, ditanya malah jadi patung," desis Tyas.
"Udah, kelihatan, Yas, nggak usah nunggu jawaban," sahut Ayuni.
Tyas menghela nafas, sejatinya, ia ingin Manika dengan Andrew. Karena tahu Andrew sangat mencintai sabahatnya itu. Namun apa daya, bahasa tubuhnya mengatakan ia menyukai lelaki Timur Tengah itu.
Tyas menatap Ayuni, mereka memiliki pemikiran yang sama, kasihan dengan Andrew. Karena Manika menyukai orang lain. Entah seperti kecewanya, jika Andrew mengetahuinya.
Namun sebagai, sahabatnya mereka juga tahu, perasaan tidak bisa dipaksa. Mereka juga ingin sahabatnya bahagia.
"Nik, pilihan hidup ada di tangan kita sendiri, siapa pun yang, kamu, sukai, semoga sesuai harapanmu, tapi tetap harus mengenal dulu lebih dekat, agar tidak menyesal kelak di kemudian hari," tutur Tyas akhirnya.
"Iya, Nik, apa pun keputusan dan pilihanmu, kami akan tetap mendukung, karena ingin, melihatmu bahagia," imbuh Ayuni.
Manika merangkul kedua sahabatnya. Yang selalu pengertian. "Terima kasih, kalian selalu mengerti apa yang, kuinginkan."
"Iyalah, nggak mungkin, kita suka kalau melihatmu, menderita," ucap Tyas.
"Pokoknya, kamu harus hati-hati, selidiki dulu, apakah Abizar, sudah punya istri atau belum." Ayuni memberi saran, demi kebaikan sahabatnya.
"Oke, siap 86!" canda Manika.
"Seandainya, Abizar sudah punya istri, bagaimana?" tanya Ayuni.
"Nah, cerdas pertanyaanmu, Ay!" ucap Tyas.
"Aku memilih mundur," jawab Manika tegas.
"Sip!" Ayuni dan Tyas kompak. Sambil mengacungkan ibu jarinya.
Mereka pun melanjutkan perjalanannya. Untuk menemui Syahdan dan Thoriq.
Manika merasa berbunga hatinya. Ia pun yakin Abizar juga menyukainya. Namun ia tetap melibatkan sang mahakuasa. Dalam setiap langkah yang menjadi pilihannya.
Bersambung.