Part 24 Kabar Duka
"Kalau, aku, bisa membantu, akan aku lakukan." Laras menatap Erick. "Mana nomor, dia, berikan padaku! Aku, akan coba membujuknya." sambungnya.
Erick sedang berpikir, apa yang baru saja di dengarnya dari Laras. Namun Erick cepat-cepat sadar, ia tak ingin mengganggu kehidupan Manika. Apa lagi ia sudah berjanji pada gadis itu.
"Bagaimana? Kau tak memercayaiku?" tanya Laras memastikan.
"Tentu saja, sulit bagiku, untuk memercayaimu."
"Apakah orang jahat akan selalu jahat? Dan orang baik, pasti akan selamanya baik, tanpa melakukan kesalahan?"
Erick terdiam mendengar ucapan Laras. Berbeda dari Laras yang ia kenal selama ini, namun lelaki itu cepat-cepat tersadar, tak ingin terlena kembali, sudah cukup baginya tersakiti, oleh wanita yang berada di hadapannya kini.
Selang beberapa saat, Erick berkata. "Tidak perlu, kamu tahu nomor, dia. Aku, sudah berjanji padanya, untuk tidak mengganggunya. Dia gadis terbaik yang pernah kukenal. Jangankan bisa mengajaknya tidur, memeluknya pun belum pernah."
Selesai berkata Erick melangkah pergi. Tinggalah Laras mematung, memandangi lelaki itu semakin menjauh. Kata-kata Erick tentang gadis bernama Niki, membuatnya semakin merasa kotor tak berarti.
Laras menghirup napas dalam-dalam, mengembuskannya kembali, seiring rasa nyeri yang terasa mengiris hati. Ia pun melanjutkan niatnya untuk pergi.
Di dalam bis tingkat yang Laras naiki, memilih duduk di atas paling depan, sambil melihat pemandangan sepanjang perjalanan, dari Shatin ke Yuenlong.
Sesampainya di tempat tujuan, Laras segera menemui temannya. Beberapa lelaki hidung belang nampak sedang merayu wanita untuk di ajak berkencan, sekadar melepaskan hasrat biologisnya.
"Assalamu'alaikum, Rin," sapa Laras pada temannya.
Sang teman memerhatikannya dari atas sampai bawah, hingga kembali ke atas, kemudian berkata. "Wah, udah jadi, Bu nyai rupanya."
Laras tersenyum, mencoba bersikap seperti biasa, walau di hatinya tahu temannya nampak tak suka dengan perubahannya.
"Yanti dan Lulu, mana?" tanya Laras tetap seperti biasa.
"Biasalah, kayak nggak tahu aja, mentang-mentang sudah jadi, orang alim," jawab Rini, menyindir.
"Rin, kita ini teman, sampai kapan pun, aku akan tetap menganggap kalian temanku. Soal sekarang aku memilih, berhenti nakal, itu karena, aku merasa sudah tua, semakin keriput, sementara banyak perempuan-perempua yang masih muda, tentunya lebih menarik dan menggairahkan, di mata para lelaki hidung belang. Ada masanya kita tak laku lagi." Laras berhenti sesaat, kemudian kembali berkata.
"Satu lagi, aku, ingat kematian, suatu hal yang pasti akan di alami semua orang. Kepergian teman kita, Sisil kujadikan renungan, bisa saja besok giliranku yang di jemput ajal. Untuk itu, aku mencoba berubah, walau kutahu dosaku terlalu banyak. Aku tetap akan menganggap kalian, teman, meski kalian tak lagi mau berteman denganku."
Laras menghapus bilur bening yang tiba-tiba meluncur tak terbendung. Rini terdiam, setelah mendengar penjelasan Laras.
"Mau ngopi?" tanya Rini akhirnya tak tega melihat Laras menangis. Laras pun mengangguk.
"Mbak, kopi dong dua!" teriak Rini pada seseorang. Terdengar sahutan yang tak kalah lantang. "Oke, siap!"
Tak lama kemudian dua cangkir kopi datang. Setelah membayar pada si pengantar kopi. Rini memberikan pada Laras. "Nah ngopi dulu biar tetep waras," canda Rini.
Laras tersenyum, karena sikap Rini kembali seperti yang ia kenal, tak seperti beberapa menit yang lalu, nampak jelas tak suka dengan perubahannya.
"Masih terkenang dengan, Sisil?" tanya Rini.
"Iyalah."
"Apa, kata-kata terakhirnya? Maksudku, apakah, dia ngomong sesuatu seperti firasat mungkin, walau baru belakangan, kamu, sadari?"
"Dia, bilang ingin berhijab, sesaat sebelum kejadian, kita berniat mau membeli beberapa hijab."
Rini terdiam mendengar penuturan Laras. Diambilnya sebatang rokok, lalu menyalakan korek api, setelah rokok terbakar, dihisapnya dalam-dalam.
Tak berapa lama kemudian, teman mereka Yanti dan Lulu datang. Keduanya kaget mendapati Laras yang memakai kerudung. Sama halnya dengan Rini, sikap kedua teman mereka pun menampakkan ketidaksukaan melihat penampilan Laras.
"Nggak salah, Bu Hajjah, nemuin kita-kita!" sindir Yanti.
"Salah alamat, tuh, harusnya di sebelah sana, kumpulan ibu-ibu pengajian, bukan di sini, tempat ngumpulnya maksiat," imbuh Lulu.
Laras tak berniat menjawab, ia hanya terdiam menunduk. Rini memberi kode pada kedua sahabatnya, agar berhenti bicara.
"Oya, Ras, ini hutangku pada Sisil kuserahkan padamu.' Rini memberikan amplop putih pada Laras. Ia pun memerimanya.
Merasa tak nyaman dengan sikap kedua temannya, Laras pun pamit. Karena sudah mendapatkan apa yang ia tuju, yaitu meminta uang Sisil yang dipinjam Rini. Rencananya, akan di berikan kepada anak Sisil, sebagai ahli warisnya. Sisil memang baik, selalu meminjami uang pada teman-temannya yang membutuhkan bantuan. Walau pernah tertipu sang peminjam menghilang bak tertelan Bumi.
Laras memilih jalan-jalan sendiri, di pusat perbelanjaan, untuk menghilangkan rasa suntuk, Ia merasa lebih tenang, karena tak ada lelaki hidung belang yang menggodanya, dengan berpakaian tertutup. Tak seperti sebelumnya, ada saja lelaki yang meliriknya, begitu melihat badan sintal miliknya, yang terbalut pakaian minim bahan, melekat membentuk lekuk tubuhnya dengan jelas, mengundang fantasi lelaki, ketika melihatnya.
Jika mengingat masa lalunya, yang membuat sesak di dada. Rasa malu membalut dalam jiwanya. Terus membayangi setiap tarikan nafas dan denyut nadi. Namun semua sudah terjadi, hanya sesal yang tertinggal kini. Tetap mencoba memohon ampun pada Illahi Robbi.
Laras sedang melihat-lihat, koleksi baju musim panas di sebuah gerai merek ternama. Musim dingin akan segera berganti, setiap toko sudah mengganti koleksinya. Namun ia hanya melihat, tak berniat untuk membeli. Kini Laras benar-benar ingin memulai hidupnya yang baru. Dengan rajin menabung. Tak lagi menuruti hawa nafsu.
"Bagus-bagus ya, Mbak, bajunya?" ucap seseorang yang baru masuk ke toko, pada Laras.
"Namanya juga barang bermerek, kualitas tentu diutamakan, apa lagi merek ini sudah mendunia," balas Laras.
"Iya, kualitas bagus, jadinya awet," ucap perempuan itu lagi, yang juga sendirian seperti Laras.
"Mau beli?" tanya Laras.
"Iya pengin, beli satulah, menurut, Mbak bagus yang model ini, apa ini?" perempuan itu memerlihatkan kedua baju yang tergantung di tangannya.
"Yang ini lebih cocok buat, Kamu, yang masih muda." Laras menunjuk salah satu baju itu.
"Wah, Mbak, bisa pas, aku juga lebih suka yang ini!"
Laras tersenyum, meski senyumnya tak terlihat karena terhalang masker. Perempuan muda itu berjalan ke kasir untuk membayar. Laras masih melihat-lihat model baju yang lain. Tiba-tiba saja ingat pada sang anak, yang sampai sekarang belum pernah melihat wajahnya, sejak ia tinggalkan dulu, belasan tahun yang lalu. Kembali dadanya terasa nyeri.
"Mbak, kok melamun?" Suara perempuan muda tadi, mengagetkan Laras.
"Eh nggak papa," balas Laras.
"Inget keluarga di kampung yah?"
"Iya, biasalah."
"Mbak, aslinya mana, dan siapa namanya, dari tadi belum kenalan."
"Namaku, Laras, dari Cilacap, kamu sendiri?"
"Aku, Lia, dari Purwokerto, tetanggaan, kita, rupanya."
"Iya, sama-sama ngapak."
"Sudah, mau maghrib, Mbak, aku mau shalat di taman, Mbak sendiri mau ke mana?"
"Aku juga mau shalat, bareng kalau gitu."
"Ayo!"
Mereka berdua pun keluar dari pusat perbelanjaan, menuju taman, sesampainya di sana menggelar plastik untuk alas duduk. Mereka bergantian berwudlu dan shalat.
Setelahnya, mereka ngobrol tentang banyak hal, terutama tentang liku-liku hidup di Hongkong. "Lia, berapa umurmu saat ini?
"25, Mbak."
"Hm, masih muda, sudah nikah?"
"Sudah, cerai."
"Oh, maaf, ada anak?"
"Untungnya belum."
"Ya, sudah, nggak usah disesali, tiap orang punya kisah hidup sendiri, bisa jadi, orang lain lebih berat atau ringan, ujian hidupnya dari kita."
"Iya, Mbak, benar, aku juga selalu berpikir begitu, ketika merasa ujian hidupku sangat berat."
"Syukurlah, kamu, hebat, walau masih muda dan sudah jadi janda, tidak terpengaruh, oleh kehidupan di Hongkong yang bebas, tetap menjalankan shalat, aku, benar-benar salut padamu."
"Mbak Laras, juga hebat, sudah memakai kerudung, sementara, aku belum."
"Aku, baru belajar, ini pun masih kerudung dengan pakaian masih Gaul."
"Ya, nggak apa, Mbak, dari pada memakai pakaian minim bahan, menimbulkan nafsu syahwat yang memandang, Mbak Laras lebih cantik, bisa memadu padankan pakaian serasi. Aku yakin pasti, Mbak, orang yang, fashionable."
"Kamu, bisa saja!"
"Kan kelihatan. Oh ya, Mbak Laras, cilacapnya mana yah? Mantan istri sepupuku juga orang cilacap, tapi sepupuku sudah meninggal. Dan sekarang dia, sudah menikah lagi setahun lebih yang lalu, rumahnya di Kota, kalau tidak salah di gunung sumping."
"Gunung simping, bukan sumping."
"Oh salah ternyata, aku belum pernah ke sana, tapi keluargaku semua pada kesana pas, dia nikah, katanya di Jln: Sulawesi."
Laras terdiam mendengar cerita dari Lia. Tiba-tiba ingatannya kembali pada keluarga kecilnya. Alamat yang baru saja disebutkan, Lia, adalah rumah sang suami. Laras pun seperti mendapatkan harapan. Ia pun mencoba mengorek keterangan dari Lia.
"Kamu, tahu mantan sepupumu, nikah dengan siapa? Meski rumahku bukan di lingkungan situ, tapi, aku, punya beberapa teman di situ siapa tahu kan, aku kenal."
"Kalau tidak salah namanya, Bayu Prastowo."
Deg … tiba-tiba Laras merasa jantungnya sesaat berhenti berdetak. Bayu Prastowo, adalah nama suaminya. Namun Laras berusaha menutupi rasa terkejutnya. Untung saja memakai masker sehingga, Lia tak dapat melihat ekspresi wajahnya.
"Mbak, tahu nggak? Kasihan banget loh, laki-laki bernama Bayu Prastowo itu, katanya istrinya kerja di Hongkong, sudah belasan tahun tak mengabari. Tapi dia tetap setia. Hingga suatu hari ada orang memberi kabar padanya, tentang istrinya, yang menikmati hidup bebas, melupannya juga anaknya. Dia sangat terpukul, begitu pun anaknya. Akhirnya anaknya meminta bapaknya untuk menikah lagi, dan menalak juga melupakan istrinya." Liya menuturkan panjang lebar, beberapa kali menarik nafas.
Laras terpekur dalam diam, kembali, lagi dan lagi rasa sakit dan sesal menghujam dadanya. Ia tak menyalahkan suaminya menikah lagi, karena dirinyalah yang bersalah. Justru yang membuatnya sedih, ternyata suaminya, yang kini sudah menjadi mantan suami, selama ini setia padanya. Bahkan anaknya Manika yang menyuruhnya menikah lagi juga melupakan dirinya.
"Mbak Laras, kok nangis?" ucap Lia, heran.
"Iya, aku tuh orangnya gampang mewek, kalau dengar cerita sedih," jawab Laras, agar Lia tak curiga.
"Memang menyedihkan nasib Mas Bayu, sama anaknya. Makanya Mas Bayu mau menikah lagi, karena dijodohkan sama anaknya, dengan mantan istri sepupuku, yang juga sepupu dari sahabat anaknya."
"Semoga saja yah mereka bahagia," ucap Laras tulus.
"Insya Allah, mereka sudah bahagia, bahkan sudah punya anak."
"Oh, syukurlah."
"Kadang heran, bisa yah, orang lupa sama keluarga, di mana hati nuraninya, sejelek apa pun suami, sebagai istri tak pantas meninggalkan suami tanpa kabar, mungkin saja ada masalah dengan suami, tapi mbok ya, ingat sama anak, apa hatinya tak tersentuh, juga rindu ketika, melihat anak orang lain, yang seusia anaknya."
"Mungkin, otaknya lagi konslet," tutur Laras.
"Jelas itu, terlena godaan setan, jadi sudah enjoy bertemankan setan."
"Makanya, aku, bangga sama, kamu."
"Aku, juga bangga sama, Mbak Laras."
Hati Laras serasa teriris, mendengar pujian dari Lia. Andai saja Lia tahu yang sebenarnya, tak mungkin kata-kata itu meluncur dari bibirnya.
Satu kenyataan pahit, Laras dapatkan hari ini. Buah dari dosanya. Terselip doa tulus dalam hatinya. Untuk mantan suami, semoga bahagia selamanya.
"Mbak Laras, tahu! Mantan istri mas Bayu, sayang aku tak tahu namanya. Dia itu tidak hanya, menanamkan luka, pada Mas Bayu, dan anaknya. Tapi juga pada kedua orang tuanya sendiri. Berita yang beredar, begitu tahu kebenaran anaknya, mereka selalu kepikiran akhirnya jatuh sakit, ayahnya meninggal tujuh bulan yang lalu, tiga bulan berikutnya ibunya menyusul."
Deg ….
Barsambung.