Chereads / FINDING MOM / Chapter 24 - Sakitnya Rasa Sesal

Chapter 24 - Sakitnya Rasa Sesal

Part 23 Sakitnya Rasa Sesal

"Hi, Andrew, mana mereka?" tanya Manika, begitu sambungan panggilan video tersambung dan wajah Andrew terlihat.

Andrew langsung mengarahkan ponselnya ke hadapan Ayuni, Tyas, Thoriq dan Syahdan satu persatu. Mereka pun saling bertanya kabar masing-masing.

Ponsel Andrew sengaja di letakkan di meja, agar semua bisa ngobrol dengan Manika.

"Nik, cepat sehat yah!" ucap Syahdan.

"Iya, Nik, nanti ngumpul lagi, kangen nih," sambung Thoriq.

"Insya Allah, nanti kalau sudah boleh keluar, kita bisa ketemu, jalan bareng." Manika memberi tanda oke dengan jari tangannya.

"Kamu, lebih kurus, Nik," ujar Andrew.

Manika tersenyum mendengar ucapan Andrew. "Jadi, aku tak perlu diet dong," ucapnya.

"Tidak usah diet, cukup jaga pola makan," tutur Andrew.

"Betul apa yang, Andrew bilang," timpal Syahdan.

"Iya deh, eh ngomong-ngomong, kalian sedang apa sekarang?" tanya Manika.

"Lagi ngobrol, sama kamulah," jawab Thoriq.

Semua mengangguk, Manika bisa melihat di layar ponselnya, ia pun tersenyum. Cukup lama mereka ngobrol lewat panggilan video. Hingga terdengar suara adzan dhuhur dari ponsel Syahdan.

"Eh sudah adzan, ya sudah selamat menjalankan ibadah yah. Wassalamualaikum." Manika pamit sambil melambaikan tangan, sebelum menyudahi panggilan video.

"Teman-teman, ayo kita shalat bareng!" ajak Thoriq.

"Please, ladies first!" Syahdan memersilakan Tyas dan Ayuni.

"Aku, libur," ucap Ayuni lirih. Setelah itu ia memilih untuk duduk di teras.

Tyas pun mendahului berwudlu, setelahnya para lelaki bergantian.

Andrew mengaktifkan mode senyap pada ponselnya, sementara menunggu antrean untuk berwudlu, karena sebentar lagi mereka akan melakukan shalat berjemaah.

Syahdan menjadi imam, ketika mereka shalat. Tyas merasa heran melihat Andrew ikut shalat. Namun ia belum berani untuk bertanya, karena shalat segera dimulai.

Setelah keempat temannya selesai shalat, Ayuni kembali masuk bergabung dengan mereka. Tyas yang penasaran pada Andrew pun bertanya.

"Andrew, sejak kapan jadi mualaf, Kok, nggak kasih tahu?"

"Hah, Andrew, mualaf! Yang bener?" tanya Ayuni penasaran.

Andrew dan Thoriq saling pandang. Thorik mengedikkan bahunya. Kali ini Andrew tak bisa lagi berbohong. Ia nampak bingung menjelaskannya.

"Kenapa, Bro? Sepertinya ada sesuatu?" tanya Syahdan.

"Ngomong sajalah, terus terang," saran Thoriq.

Akhirnya Andrew pun bercerita, kalau dirinya sudah menjadi mualaf dari dua bulan yang lalu.

"Yas, Ay, tolong yah, jangan cerita ke, Niki, soal ini," pinta Andrew.

"Kenapa?" tanya Tyas dan Ayuni berbarengan.

"Bro, kamu, itu aneh, katanya cinta sama, Niki. Tapi kenapa, dia tidak boleh tahu?" tanya Syahdan.

"Aku, memang mencintai, Niki, dan ingin serius bisa mendapatkan, dia. Tapi, aku ingin dia benar-benar menerimaku tulus, karena mencintaiku juga, bukan disebabkan rasa tak enak hati, karena, aku, sudah menjadi mualaf." Andrew menuturkan, sambil memainkan jari-jarinya.

Semua pun terdiam, dan memahami perasaan Andrew. Tyas dan Ayuni hanya saling pandang. Tak tahu harus berkata apa. Hingga akhirnya Syahdan berkata. "Percayalah, apa pun yang yang akan terjadi, semua sudah ditentukan, Allah. Sebagai Manusia wajib berusaha."

"Iya, untuk itu, aku, akan tetap berusaha, soal hasil biarlah, ikut sekenario yang Allah tetapkan," tutur Andrew.

"Semoga saja, dia, memang ditakdirkan menjadi jodohmu." Thoriq mengelus lengan Andrew.

"Aamiin." Semua kompak mengamini.

Andrew tersenyum, mereka pun mendoakan yang terbaik untuk Andrew. Sahabat yang sudah seperti saudara.

"Apakah punya bahan makanan untuk di masak, Bro?" tanya Ayuni pada Syahdan.

"Kamu, mau masak?"

"Iyalah, dari pada, diam saja."

"Kebetulan adanya cuma sosis, dada ayam, sama telur, juga sayur kol."

"Ada beras, atau mie, atau bihun?"

"Ada, beras basmati."

"Oke, aku mau bikin nasi goreng."

"Wah seneng dong, aku, dimasakin calon istri," goda Syahdan.

"So sweet," ucap Andrew.

Mereka tersenyum, nampak Ayuni tersipu, ia pun masuk ke dapur, di susul Syahdan juga Tyas. Setelah menunjukkan bahan makanan, Syahdan keluar dari dapur, kembali bergabung dengan Thoriq dan Andrew.

Para lelaki itu membahas, soal pernikahan beda Negara. Tentang syarat-syarat yang harus di penuhi. Meski cukup ribet, namun itulah aturan yang harus di patuhi.

"Terus, kapan rencanamu, nikah sama Tyas?" tanya Andrew pada Thoriq.

"Sekitar tiga bulan lagi, Insya Allah, kalau tidak ada halangan."

"Nikahnya, di Indonesia kan?" tanya Syahdan.

"Iyalah, kan walinya, di sana."

"Sudah pernah komunikasi dengan calon mertua?" tanya Syahdan lagi.

"Sudah, beberapa kali, melalui panggilan video, tapi yaitu, kendala bahasa," tutur Thoriq.

"How, about, you, Bro,?" tanya Andrew pada Syahdan.

"Kurang lebih waktunya sama, dengan Thoriq, paling beda semingguan, penginnya sih gitu, tapi lihat saja nanti."

"Kalian, berdua, beruntung, sudah menemukan calon istri yang saling mencintai," ucap Andrew.

"Insya Allah, Bro, kau pun akan menemukan jodoh terbaik." Syahdan berkata sambil menepuk pundak Andrew.

"Aamiin, ya Allah." Andrew dan Thoriq bersama mengamini.

"Calon istri, kalian, masih sibuk di dapur," gumam Andrew.

"Biarin, mereka sendiri yang mau report, padahal order makanan juga bisa, tinggal telpon," tutur Syahdan.

"Kita, lihat saja nanti, seperti apa masakannya." Thoriq berjalan menuju dapur.

Ayuni dan Tyas sibuk di dapur, masak alakadarnya, dengan bumbu seadanya. Keduanya bekerja sama. Tak sampai satu jam, nasi goreng pun telah siap.

"Hi, honey!" sapa Thoriq yang tiba-tiba muncul. Sontak Tyas dan Ayuni menoleh kearahnya.

"Aku, kan manggil sayangku Tyas, bukan, kamu Ayuni!" Thoriq tertawa menggoda.

"Lah, suaramu, buat, aku, kaget tahu!" gerutu Ayuni.

Thoriq dan Tyas tertawa. Syahdan dan Andrew pun ke dapur karena penasaran. "Ada apa nih kayanya pada happy?" tanya Syahdan.

"Itu, tadi kan, aku panggil sayangku Tyas, eh Ayuni ikut menoleh, jadinya, aku, merasa punya dua calon istri dong, asyik nih poligami." Thoriq terkekeh.

"Oh pengin poligami," sindir Tyas.

"Bercanda, sayang, kalau bener sih alhamdulillah," ledek Thoriq, sambil tertawa. "Nggaklah, satu istri saja belum tentu bisa membahagiakan," sambungnya buru-buru. Tyas hanya mencebik, sementara yang lain, hanya menggelengkan kepala.

Akhirnya mereka pun makan siang bersama, penuh rasa kekeluargaan. Walau dari Negara berbeda, namun keyakinan yang sama, membuat mereka seperti layaknya saudara, karena sama-sama jauh dari keluarga tercinta.

***

Andai saja tahu sejak awal, tentang sakitnya didera rasa sesal. Mungkin banyak yang memilih, untuk berjalan di koridor yang benar. Jalan penuh berkah dan rahmat dari Tuhan.

Begitulah yang selalu Laras pikirkan. Betapa sakitnya menahan lara dalam dada, akibat penyesalan yang terlambat datang. Meski tak ada kata terlambat untuk bertaubat, selama hayat masih di kandung badan.

Dengan tangan bergetar, Laras mencari kabar tentang keluarganya, suami, anak, orang tua, dan saudara yang lainnya.

Berselancar di dunia media sosial. Namun pencariannya nihil. Nama suami dan anaknya. Tak ditemukan. Tentu saja Laras tak tahu. Mereka tak menggunakan nama asli di media sosial.

Laras mencoba menghubungi keluarganya. Satu persatu namun, lama mencari belum juga menemukannya. Tak Putus asa terus mencoba, akhirnya ia menemukan akun milik kakaknya.

Cepat-cepat tangannya memencet akun sang Kakak. Setelah melihat profilnya, Laras yakin kalau itu memang kakak kandungnya. Yang ternyata jualan online.Tak pikir panjang ia pun meminta pertemanan pada pemilik Akun tersebut.

Wajah Bayu Prastowo suaminya, terbayang di pelupuk mata, begitu juga dengan Manika kecil. Kedua wajah itu, menari-nari silih berganti, bagaikan sebuah film yang sedang diputar. Membuat dada Laras makin sesak. Berkali-kali mengucapkan istighfar, namun rasa sakit itu terus menghujam.

Laras lagi dan lagi, tenggelam dalam kepedihan yang mendalam. Entah sudah berapa banyak airmata tertumpah. Semua tak mampu membuat rasa sakit akibat penyesalan, berkurang.

Laras menatap layar ponselnya, ada pemberitahuan dari aplikasi berlogo warna biru. Seketika netranya berbinar, kakaknya telah menerima pertemanannya. Gegas ia melakukan panggilan, ingin bicara secara langsung. Setelah menunggu beberapa saat, terdengar jawaban dari seberang sana.

"Hallo, assalamu'alaikum," suara Arum kakaknya.

"Walaikum salam, Mbak Arum, ini, aku, Laras."

"Laras! Ini beneran, kamu?"

"Iya, Mbak."

"Masyaallah, Laras kamu, masih hidup ternyata."

"Iya, Mbak, Bapak, sama Ibu, bagaimana kabarnya?"

"Berapa tahun, kamu pergi, baru sekarang, tanya keadaan, Bapak sama Ibu? Kemana selama ini?" ucapan Arum terdengar ketus.

Laras sadar apa yang telah ia lakukan, sulit termaafkan. Kembali, tirta netra mengalir deras, dengan menahan segenap kepedihan ia berkata.

"Maafkan, aku Mbak."

"Permintaan maafmu, tak bisa merubah keadaan. Karena perbuatanmu, sudah melukai banyak orang. Terutama suami dan anakmu, terlebih Bapak dan Ibu, mereka sangat malu dengan kelakuanmu. Siang malam, kami memikirkan keselamatanmu, eh ternyata, kamu malah bersenang-senang, lupa diri, lupa anak suami, juga semua keluarga."

"Maafkan, aku." Tangis Laras pecah, tak mampu terbendung lagi. Ia menangis tersedu-sedu. Arum yang sedang marah pun, berkata.

"Sudahlah, kamu, mau nangis sampai airmata habis, tak bisa mengembalikan keadaan, sekarang nikmati saja hidupmu, buah dari perbuatanmu, jangan tanya tentang, Bapak sama Ibu, mereka sangat terpukul, mengetahui kelakuanmu di Hongkong. Nikmati saja hidupmu, coba sampai berapa lama bisa bertahan, sementara umur semakin tua, kecantikan akan memudar. Satu lagi tak selamanya, kamu, hidup di dunia ini."

Selesai bicara, Arum memutuskan sambungan telepon, ia ingin memberi pelajaran pada Laras, sang adik yang telah membuat kedua orang tuanya menderita, karena memikirkan kelakuannya.

Laras masih menangis, semakin bertambah rasa sedihnya, ketika sang kakak memutuskan panggilan begitu saja. Padahal Ia ingin sekali bicara dengan kedua orang tuanya. Hanya bisa menangis hingga lelah dan terlelap.

Suara adzan ashar dari ponselnya, membuat Laras terbangun. Gegas ke kamar mandi untuk berwudlu. Di lihatnya wajah dirinya dalam cermin, dengan mata sembab, tersenyum sendiri, senyuman getir.

Laras beranjak melipat sajadah dan mukena, setelah selesai menggunakannya. Ia mengganti bajunya, memakai kerudung, berniat keluar untuk mengusir suntuk, karena cukup lama mengurung diri dalam kamarnya.

Untung majikan sekeluarga tidak berada di rumah, sehingga ia bisa menangis sepuasnya di dalam kamar, tanpa ada yang mendengar.

Ketika hendak membuka pintu, Laras terkejut, bersamaan sang majikan pulang.

"Kamu, dari tadi di rumah?" tanya sang majikan perempuan.

"Iya, tadi tidur, baru sekarang pengin keluar."

"Oh, ya sudah hati-hati, bye bye."

"Bye bye."

Laras berjalan keluar, menuju halte, tak berapa lama menunggu, minibus pun datang. Ia pun naik, sudah ada beberapa orang di dalamnya. Ketika semua orang turun, Laras baru tersadar, ternyata sudah sampai di pemberhentian terakhir.

Setelah turun dari minibus, Laras berniat pergi ke Yuenlong, naik bis, menemui salah satu temannya. Yang sedari tadi menelepon, namun diabaikan olehnya.

Saat sedang berjalan di dalam, melewati newton plaza, bermaksud ke terminal bis di lantai bawah. Laras melihat sosok yang dikenalnya, yaitu Erick. Dengan buru-buru Laras menghindari lelaki itu. Namun rupanya, Andrew yang juga sedang memerhatikan dirinya. Kini mengejarnya.

Langkah Erick yang cepat. Mampu menyusulnya. Laras terkesiap, mendapati Erick sudah berada di depannya, sedang memandangi dirinya.

"Kau! Lala?" tanya Erick. Setelah jarak mereka dekat.

Laras menunduk, ia heran bagaimana Erick tetap paham padanya. Padahal penampilan pun sudah berubah. Tak ingin cari masalah ia pun berkata.

"Kamu, jangan khawatir, aku tak kan pernah mengganggu hidupmu lagi, sampai kapan pun."

"Gara-gara, kamu, Niki, menolakku."

"Maafkan, aku."

"Kau pikir, maafmu bisa membuat Niki menerimaku." Suara Erick bergetar kentara sekali sedang menahan marah.

"Kalau, aku bisa membantu, gadis itu mau menerimamu, akan aku lakukan." Laras berkata sambil menatap Erick. "Mana nomer dia, berikan padaku! aku akan coba membujuknya." sambungnya.

Erick sedang berpikir, apa yang baru saja didengarnya, dari Laras.

Mungkinkah Erick akan memberikan, nomor Manika kepada Laras?

Bersambung ….