Part 22 KEPIKIRAN
Manika masih terdiam di tempatnya berdiri. Memandangi punggung Andrew yang semakin menjauh.
Tyas dan Ayuni bergegas mendekati Sahabat mereka. Belum sempat keduanya bertanya, Manika berkata. "Ayo, jalan-jalan!"
Sambil berjalan, Tyas yang sedari tadi penasaran pun bertanya. "Nik, sebenarnya ada apa sih? Dari tadi, kami, memerhatikan kalian, banyak diam, ditambah lagi ada, Erick, kenapa?"
"Aku, pun nggak tahu, Erick ada di sana tadi."
"Melihat bahasa tubuh, Andrew, sepertinya, dia, cemburu," ucap Ayuni.
"Apa, Andrew menyatakan perasaannya padamu?" tanya Tyas pada Manika.
"Tadi, Andrew, melihat dan mendengar waktu, aku, ketemu Erick."
"Emang, Erick, ngomong apa?"
"Dia, bilang masih mengharapkan cintaku."
"Oooh," kompak Tyas dan Ayuni.
"Pantes, Andrew, cemburu," ucap Ayuni.
"Sampai lupa dengan rencananya," sesal Tyas.
"Rencana apa?" tanya Manika dan Ayuni hampir bersamaan.
"Semalem, Andrew, nelpon dan bilang ke, aku, mau nyatain cintanya ke, kamu, Nik."
"Kok, kamu, nggak ngomong, aku, Yas? Jadi acara hari ini makan bersama pun rencana, kalian?" tanya Manika penuh selidik.
"Andrew yang minta, supaya, aku, nggak kasih tahu, kamu. Soal makan siang bareng, aku sama sekali nggak diberi tahu. Aku juga kaget tadi waktu, Andrew kirim pesan ke, kamu, kukira cuma pengin berdua, malah, aku dan Ayuni diajak."
Mereka bertiga terdiam, untuk beberapa saat. "Nik, perasaanmu ke, Andrew, bagaimana?" tanya Ayuni.
"Aku, nggak tahu."
Ketiga gadis itu pun terdiam. Akhirnya mereka memutuskan untuk jalan-jalan, ke shopping center.
***
Getar ponsel yang berada di dekatnya, membuat lamunan Manika buyar seketika. Dibukanya ponsel itu. nampak sebuah pesan masuk dari Tyas.
[Nik, kamu, kenapa? Dari kemarin nggak ada kabar]
[Nggak papa, lagi bertapa, biar seksi mandraguna]
[Weleh, Andrew ada kabar?]
[Nggak, tuh]
[Oh, ya udah]
[Oke]
Manika meletakkan ponselnya kembali, bersiap melanjutkan rutinitasnya.
***
Hari jumat adalah hari yang selalu di tunggu oleh Andrew. Karena bisa menikmati akhir pekan. Seperti sore ini, lelaki itu bersiap menuju suatu tempat, dengan penuh semangat. Dan keyakinan dalam diri.
"Hi, Thoriq!" sapa Andrew, begitu melihat salah satu teman baiknya.
"Hi, Bro! Welcome to new life." Thoriq mendekati Andrew dan merangkulnya. "Are you ready?" sambungnya.
"Yes." jawab Andrew yakin.
Andrew memutuskan untuk menjadi mualaf. Sebelumnya ia sudah lebih dulu belajar, dan bertanya kepada beberapa pemuka agama, di Islamic union. Termasuk teman baiknya Thoriq.
"Masih, kepikiran sama, Niki?" tanya Thoriq.
Andrew terlihat menarik napas, "Sudah bisa mengatasi, perasaan ini." Andrew menunjuk ke dadanya, sambil tersenyum.
"Alhamdulillah, kalau begitu. Percaya saja, kalau memang takdir, dia, menjadi jodohmu, pasti akan ada jalannya sendiri." Thoriq mengelus lengan Andrew.
"Terima kasih yah, sekarang aku lebih tenang."
"Ya sudah, ayo masuk! Sudah di tunggu."
Mereka memasuki masjid Osman Ramju Sadick. "Assalamu'alaikum," sapa Andrew.
"Walaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Orang-orang yang berada di dalam masjid, menjawab serempak. Bahkan mereka langsung berdiri menyambut Andrew, yang hari ini akan bersahadat. Syarat untuk menjadi seorang muslim.
"Bagaimana saudara, Andrew? Apakah anda tidak berubah pikiran?" tanya salah satu pengurus masjid.
"Tidak, saya, sudah yakin untuk menjadi seorang muslim."
"Tidak ada yang memaksa, anda kan?"
"Oh tidak, awalnya memang, saya, ingin masuk Islam karena, mencintai seorang muslimah, tapi seiring waktu berjalan, saya merasa kenyamanan, dan hati lebih tenang. Sekarang, saya, tidak lagi berambisi mengejarnya. Biarlah takdir yang menentukan," tutur Andrew.
"Masya Allah, semoga Allah mengabulkan segala yang, engkau, inginkan, saudara Andrew," ucap ustaz Fallah.
"Aamiin." Serentak semua jemaah mengaminkan doa, dari ustaz Fallah untuk Andrew.
Ada sekitar 20 orang yang menjadi saksi, ketika Andrew mengucapkan kalimat syahadat. Ada keharuan yang menyeruak dalam dada lelaki itu, mendapatkan teman baru yang hangat walau berbeda. Ras, suku, dan Bangsa. Namun menganggap layaknya keluarga.
Setelah bertakbir, semua orang satu persatu merangkul Andrew penuh haru dan kebahagiaan, mendapatkan saudara seiman yang baru. Mereka bercengkerama sambil menunggu waktu maghrib tiba.
"Bagaimana rasanya sekarang?" tanya Thoriq.
"Alhamdulillah, jadi tenang hati ini. Tolong jangan ceritakan semua ini, pada Tyas yah, pasti nanti, dia cerita ke, Niki."
"Iya, tenang saja."
Seusai shalat maghrib, Andrew mulai belajar membaca alquran, setelah sebelumnya terlebih dahulu, belajar shalat beberapa minggu yang lalu.
Andrew memilih fokus mengaji. Belajar banyak hal, menahan hasrat, keinginan yang besar, untuk mendapatkan Manika. Bukan karena sudah tak mau berjuang, namun tak ingin terburu nafsu. Ia akan tetap berusaha dengan cara yang baik, jika kelak ternyata gadis itu, bukan jodohnya, ia berharap bisa ikhlas menerimanya, karena itu kehendak yang mahakuasa.
Andrew berkali-kali mengucapkan syukur, karena teman-teman barunya dari berbagai negara, semua baik dan bersahabat. Ia kini merasa memiliki keluarga baru. Keputusannya menjadi mualaf, Ia kabarkan pada keluarganya di Canada. Kedua orang tuanya memberi selamat, sama sekali tak menentang keputusan putranya.
***
"Nik, kamu masih sakit?" tanya Tyas lewat sambungan telepon.
"Sudah mendingan."
"Sebaiknya, nggak usah keluar dulu, sampai bener-bener sehat."
"Iya, nggak boleh juga sama si boss."
"Nggak apalah bisa istirahat lebih banyak."
"Mau gimana lagi, walau nggak betah, jenuh terkurumg di kamar terus."
"Pastilah jenuh, demi kebaikan sabar yah."
"Iya, punya acara ke mana hari ini?"
"Aku mau ketemu Thoriq, tapi lagi nunggu Ayuni, masih naik kereta katanya."
Baru saja Tyas menyebut nama Ayuni, gadis itu sudah nampak di depannya.
"Panjang umur, dia, Nik, nih orangnya nongol." Tyas memberikan ponselnya pada, Ayuni.
"Tadi juga, aku, nelpon dia," ucap Ayuni, tak urung menerima ponsel dari Tyas.
"Nik, aku baru aja nyampe, kamu, baik-baik, cepet sembuh oke!" ucap Ayuni pada Manika.
"Ya sudah, kalian hati-hati, sana jalan! salam buat Thoriq."
"Oke, nanti aku sampein, bye,"
"Nih, Yas." Ayuni mengembalikan ponsel Tyas.
Kedua gadis itu pun berjalan menuju masjid. Sesampainya di sana mereka naik lift menuju kantin yang berada di lantai lima. Tempat janji bertemu dengan Thoriq untuk sarapan bersama.
Masjid Osman Ramju Sadick, dari luar memang tak terlihat seperti sebuah masjid, bangunanya seperti apartment atau perkantoran, lokasinya pun di kelilingi bangunan-bangunan lain.
Tidak seperti masjid jami di Tsim Sha Tsui Kowloon, yang bangunannya masih terlihat layaknya masjid pada umumnya, apa lagi lokasinya menghadap jalan raya, yang ramai kendaraan mau pun lalu lalang orang.
"Assalamu'alaikum, sapa Tyas dan Ayuni bersamaan. Pada Thoriq yang sendirian.
"Walaikum salam warahmatullahi wabarakatuh."
Kedua gadis itu pun duduk, tak lama kemudian, Andrew datang, langsung menyapa. "Good morning guys."
"Morning," jawab mereka bersamaan.
"Niki, nggak ikut?" tanya Andrew penasaran.
"Dia, sakit, sudah lima hari," jawah Tyas.
"Sakit apa?" Nampak jelas kecemasan di wajah Andrew.
"Demam, batuk, pilek, tapi hari ini katanya sudah agak baikan," tutur Ayuni.
Andrew terdiam, sudah lama ia tak menghubungi Manika. Tak bisa dipungkiri, hatinya sangat rindu pada gadis itu. Thoriq yang tahu perasaan Andrew berkata.
"Telpon lah dia!"
Andrew melihat ke arah Thoriq juga Ayuni dan Tyas. Mereka semua mengangguk.
"Nanti saja, kita, sarapan dulu," ucap Andrew.
Akhirnya mereka pun sarapan, makanan khas China ada bakpao isi ayam, kacang merah, kue lobak, jiongfan, siaomay, chestnut cake, dan aneka dim sum lainnya. Tak lupa minum teh tawar yang menjadi kebiasaan sekaligus ciri khas, orang China.
Keempat orang itu masih menikmati menu sarapannya. Sesekali berbincang. Namun lebih banyak diam.
"Syahdan!" seru Tyas spontan, ketika tak sengaja pandangannya bertemu dengan sosok yang ia kenal, lewat di depan meja mereka.
"Hey, Hello, Assalamu'alaikum,"
Syahdan menyapa dengan ramah.
"Walaikum salam," jawab mereka berbarengan.
Ayuni yang terkejut langsung berdiri, belum sempat mengucapkan kata. Syahdan lebih dulu berucap, dengan tatapan cemburu. "Enjoy your time," setelah itu lelaki dari Maldives itu menuju meja di mana kedua temannya menunggu.
Sementara Ayuni masih berdiri di tempatnya. "Hey, kamu, kenapa?" tanya Andrew pada Ayuni. Namun Ayuni masih diam.
"Apa, dia, pacarmu?" Andrew bertanya kembali.
"Iya, dia, suka sama Ayuni," jawab Tyas.
Thoriq yang tadi sempat merasa cemburu, langsung mengembuskan napas lega. Andrew yang sadar situasi langsung melangkah menuju meja di mana Syahdan berada.
"Assalamu'alaikum, Bro," sapa Andrew ramah.
Syahdan dan kedua temannya pun menjawab salam dengan ramah. Andrew pun langsung bicara apa yang ingin ia sampaikan.
"Maaf, sebelumnya kenalkan, saya, Andrew, saya hanya ingin menyampaikan, bahwa saya tidak memiliki hubungan apa pun dengan Ayuni, dan laki-laki itu adalah calon suami Tyas, anda, mengenal kedua gadis itu berarti, anda, juga mengenal teman mereka satunya, dialah yang, saya cintai."
Syahdan menjadi malu, karena sempat berpikir, kalau Ayuni membohonginya. Ia pun mengucap istighfar.
"Maaf, saya, sempat berprasangka tidak baik tadi," sesal Syahdan.
"Tak mengapa, saya, bisa mengerti."
"Oh, di sana ada gadis, yang sedang, kamu, incar?" tanya salah satu teman Syahdan.
Syahdan hanya tersenyum. Setelah berbincang beberapa saat, dan saling kenalan, Andrew pamit, sebelum pergi ia berkata. "Sampai ketemu nanti di bawah."
"Okay."
Sekembalinya, Andrew langsung di tanya Tyas, yang penasaran. "Ngomong apa sama, Syahdan?"
"Ngomong apa adanya, kulihat tadi, Syahdan seperti cemburu, jadi, aku ke sana menjelaskan, kalau antara, aku dan Ayuni, tak ada hubungan spesial."
"Syukurlah." ucap Tyas lega.
"Tadi, aku, juga melihat di sini ada yang cemburu loh." Andrew tersenyum kearah Thoriq.
"Aku, juga tahu," ujar Ayuni.
"Siapa yah orangnya yang cemburu? Berani mengakui apa tidak yah?" ledek Tyas. Karena sebenarnya ia pun tahu.
"Iya deh, aku, mengaku," ungkap Thoriq.
Mereka pun tersenyum, ada binar bahagia dalam netra Tyas. Begitu pun dengan Ayuni, ikut merasakan kebahagiaan sahabatnya.
Selesai sarapan mereka pun keluar dari kantin. Ternyata Syahdan sudah menunggu di depan pintu lift. Mereka pun masuk bersama untuk turun.
Syahdan mengajak keempat orang itu untuk singgah di apartment tempatnya tinggal, yang tak jauh dari situ. Mereka pun tak menolak.
Berjalan kaki sekitar sepuluh menit, mereka sampai di apartment Syahdan. "Guys! Maaf, aku, ke teras dulu mau nelpon, Niki," pamit Andrew.
"Okay, Bro," jawab Thoriq dan Syahdan.
Andrew melangkah menuju teras. Lama tak berkomunikasi, dengan Manika, membuat Andrew sedikit gugup. Ia pun berdoa dengan membaca basmallah. Akhirnya panggilan pun terhubung.
"Hello, Nik, how are you?"
"Hello Andrew, I'm fine."
"Hope you'll get well soon."
"Siapa yang bilang, aku, sakit?"
"Kedua teman baikmu, siapa lagi."
"Oh, mereka meneleponmu?"
"Aku, bersama mereka saat ini, kami sekarang sedang di apartment Syahdan."
"What! Syahdan?"
"Yes, Syahdan, from Maldives, you know who is him right?"
"Ya, dia suka Ayuni."
"Iya, aku tahu, kamu, bukan positive kena covid kan?"
"Bukan, demam biasa, tapi sudah baikan."
"Please, take good care for yourself."
"Thanks, kamu juga harus jaga kesehatan."
"Siap Bu dokter," canda Andrew.
"Apaan sih." Manika tertawa mendengar Andrew memanggilnya, Bu dokter.
Andrew pun senang, mendengar suara tawa gadis pujaannya. Tak terasa mereka ngobrol cukup lama. Manika pun merasa terhibur.
"Nik, pakai video yah, biar mereka semua melihatmu."
"Tunggu, aku, pakai hijab dulu."
"Siap, Bu guru."
Kembali terdengar tawa Manika. Sebelum panggilan terputus. Andrew tersenyum sendiri. Menunggu tersambung kembali dengan gadis yang selalu ia sebut dalam doanya.
Bersambung.