Chereads / FINDING MOM / Chapter 22 - BIMBANG

Chapter 22 - BIMBANG

Part 21 BIMBANG

Waktu terus berputar, bagaikan pergerakan roda, kadang di atas, lain waktu berada di bawah. Pagi berganti siang, senja tenggelam malam pun datang. Begitulah setiap hari, hingga batas waktu yang Tuhan telah tetapkan.

Malam semakin larut, Laras belum mampu terlelap. Pikirannya masih teringat kejadian hari ini. Ketika bersama Sisil sahabatnya. Dari pagi hingga kecelakaan terjadi.

Bayangan wajah Sisil tersenyum, menari-nari di pelupuk mata. Kata-katanya saat mengutarakan ingin berhijab, masih terngiang di telinganya. Mengingat semua itu, lagi dan lagi membuat airmatanya mengalir deras. Hingga akhirnya tertidur karena lelah melanda.

***

Selesai ikut menyolatkan jenazah sahabatnya. Laras memeluk peti mati, yang menyimpan jasad Sisil, yang sedang menunggu, dalam proses pemulangan ke tanah air.

"Sudah, Mbak Laras, doakan saja yang terbaik untuk almarhumah. Insya Allah beliau husnul khotimah," ucap ustaz Karim.

"Iya, Pak ustaz,." Laras menyeka airmatanya.

"Jangan lupa, Mbak Laras, sebagai teman baiknya, sampaikan maaf almarhumah kepada teman-teman yang lain. Yang mungkin pernah tersakiti olehnya. Insya Allah, niat baik almarhumah yang ingin menutup aurat, sudah tercatat sebagai niat baik. Semoga Allah, mengampuni dosa-dosanya."

Mendengar ucapan, ustaz Karim. Hati Laras lega, ia memang telah menceritakan semuanya tentang Sisil. Juga tentang hidup yang ia dan Sisil jalani selama ini, pada Pak ustaz.

Ustaz Karim adalah seorang pendakwah dari tanah pasundan, yang di bawah naungan Islamic union of Hongkong. Menjadi tempat bertanya, konsultasi menyangkut keagamaan, bagi warga Negara Indonesia.

Perlahan-lahan, Laras mulai bisa menghadapi kenyataan. Berkat bimbingan dan nasehat ustaz Karim. Ia bertekat memulai hidup baru, selagi masih diberi waktu hidup di dunia ini. Seperti yang pernah Sisil katakan, pada awal mengajaknya bertaubat.

Laras pun bertekat untuk menutup aurat. Sambil terus belajar mendalami agama. Ia ingin ketika ajal menjemput, yang entah kapan, bisa husnul khotimah. Akhir hidup dalam kebaikan.

"Hai, Laras, mau kemana, kamu? Kirim barang?" tanya Jofy teman sekaligus tetangga, yang berasal dari Negara Philippine, ketika melihat Laras di depan teras.

"Ini, aku mau membuang, baju-bajuku yang terbuka, karena sekarang aku mau memakai hijab."

"Oh, boleh, aku minta?"

"Kamu, mau? Ambil saja!"

Laras menyerahkan tas plastik besar pada Jofy, gadis manis yang usianya sekitar 25 tahun itu sangat senang menerimanya. Karena tahu, pakaian Laras bagus-bagus dan modis. Sebab Laras sudah lama tinggal di Hongkong. Beda dengannya, yang baru satu tahun setengah.

Jofy mengenal Laras cukup baik, karena mereka tinggal bersebelahan, dan sering belanja ke pasar bareng. Jofy yang berasal dari keluarga tak mampu. Jarang membeli baju, sebagai anak pertama, lebih memikirkan membantu orang tuanya, karena adiknya banyak.

***

Sementara itu, di lain tempat. Manika melakukan rutinitas seperti biasanya. Setelah menjemput anak-anak dari sekolah. Ia bisa istirahat, karena tak ada jadwal les untuk kedua anak asuhnya.

Manika merebahkan tubuhnya di atas kasur. Kejadian demi kejadian berseliweran dalam kepalanya. Berita tentang kematian perempuan bernama Sisil. Melihat potonya ia yakin itu adalah teman ibunya.

Belakangan ada klarifikasi dari sang ibu. Atas berita yang tidak benar, yang sempat beredar tentang penyebab kecelakaan, yang menewaskan Sisil. Sedikit membuat Manika lega. Bagaimana pun Laras adalah ibu kandungnya. Walau di hatinya masih tersimpan amarah dan kebencian. Namun di saat bersamaan ia tak rela, banyak orang yang menghujatnya.

Manika menghela napas, kini pikirannya kembali teringat kejadian pada hari minggu lalu. Ketika berada di the sultan's table restaurant.

"Nik!" sapa seseorang ketika itu.

Manika heran ada orang mengenalinnya. Padahal Ia memakai kerudung juga masker. Manika pun menengok ke samping, asal suara yang memanggilnya. Nampak sosok laki-laki meskipun memakai masker, tapi gadis itu masih bisa mengenalinnya.

"Erick!"

Tanpa Manika sadari, ada sepasang mata sedang memerhatikannya. Dia adalah Andrew. Yang juga berniat ke kamar kecil.

"Apa kabar?" tanya Erick pada Manika, yang masih berdiri di tempatnya.

"Baik," jawab Manika lirih. "Kamu, kok tahu kalau ini, aku?" imbuhnya.

"Tahulah. Kamu, sama siapa?"

"Sama teman-temanku."

Sesaat mereka terdiam. Manika yang baru sadar ke mana tujuannya, yaitu ke toilet, segera pamit pada Erick.

"Maaf, aku mau ke toilet." Belum juga Manika melangkah, Erick berkata.

"Nik, aku masih mengharapkanmu."

"Maafkan, aku." Manika langsung melangkah pergi.

Setelah itu Manika tak melihat Erick lagi. Gadis itu tak tahu setelah ia pergi meninggalkan Erick. Andrew menemui lelaki itu.

Pandangan Erick mengikutinya, hingga gadis itu tak terlihat. Sementara Andrew yang sejak tadi memerhatikan mereka, sempat mendengar ucapan Erick pada Manika.

Ketika Erick melangkah menuju toilet pria. Andrew pun mengikutinya, karena tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Maaf, boleh saya tanya sesuatu," Andrew bertanya sambil berjalan di sebelah Erick.

Sontak Erick menghentikan langkahnya. "Tentu saja, anda, mau tanya tentang apa?" tanya Erick ramah.

"Anda, menjalin hubungan sama, Niki?"

Tentu saja Erick kaget, mendengar pertanyaan dari orang asing. Mungkinkah laki-laki yang kini di dekatnya kekasih Manika, itulah yang terbersit di kepalanya.

"Anda, kenal, Niki?" Erick balik bertanya.

"Anda, belum jawab pertanyaan, saya."

Sesaat Erick menelan ludahnya, karena tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering.

"Saya, mencintainya," jawab Erick jujur.

Mendengar pengakuan Erick, ada rasa ngilu di hati Andrew. Namun ia teringat, Manika bukan gadis yang mudah menerima laki-laki. Apa lagi kini Manika memilih berhijab.

"Apa, dia menerima cinta, Anda?"

Kembali Erick terdiam, ia yakin lelaki ini menyukai Manika. Dan sedang mengintrogasinya.

"Ada hubungan apa. Anda, dengannya?" Erick bertanya.

Andrew tersenyum, lalu berkata.

"Sampai hari ini, masih teman. Anda belum jawab pertanyaan saya!"

"Anda bisa tanya sendiri ke, Niki."

Saat Erick selesai berkata. Ketika itu temannya memanggilnya.

"Erick! kukira ke mana lama banget ke toilet, ternyata di sini!"

"Maaf, saya sudah mengganggu, permisi!" pamit Andrew.

***

Ketika itu, begitu Manika kembali dari toilet. Ia langsung bergabung dengan kedua temannya, serta Andrew yang juga baru kembali dari toilet.

Tak lama kemudian, pesanan makanan datang. Mereka pun menikmati makan siang berempat. Manika nampak diam, masih memikirkan kata-kata Erick. Begitu juga dengan Andrew, yang sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga lupa apa tujuan mengajak Manika bertemu.

Tyas yang peka, dengan perubahan Manika dan Andrew. Setelah kembali dari toilet pun bertanya. "Andrew, Manika! Kalian berdua, dari tadi diam saja kenapa?"

Manika dan Andrew sontak kaget, mendengar pertanyaan dari Tyas.

Mereka hanya bisa saling pandang.

"Hey! What's going on?" Tyas kembali bertanya.

Manika bingung mau menjawab apa, sama halnya dengan Andrew.

"Something wrong?" kali ini Ayuni yang bertanya, karena melihat Andrew dan Manika masih terdiam.

"Nothing." ucap Andrew.

"That's right." imbuh Manika.

Tyas dan Ayuni saling pandang. Mereka tak memercayai begitu saja apa yang Manika dan Andrew katakan. Selesai makan, Ayuni mengajak Tyas ke kamar kecil.

"Nik, ada yang, kamu pikirkan?" tanya Andrew.

"No, why?"

"I know, you're thinking about Erick." Andrew memandang Manika, tepat ketika gadis itu menatapnya, nampak keterkejutan di wajahnya.

"Hey, don't staring at me, like that." Andrew melambaikan telapak tangannya tepat di depan wajah Manika.

Manika pun merasa malu, dan terlihat gugup. Ia sedang berpikir, bagaimana Andrew bisa tahu tentang Erick. Mungkinkah kedua sahabatnya yang cerita pada Andrew? tapi sepertinya tak mungkin. Manika bermonolog.

"Dari mana, kamu, tahu tentang Erick?" tanya Manika akhirnya.

"Tadi aku lihat, kalian, bicara, tak sengaja mendengar."

Manika terdiam, diambilnya gelas minumnya, untuk menghilangkan, rasa groginya.

"Maaf, apakah, kamu, pernah ada hubungan dengan Erick?"

Sebelum menjawab, Manika nampak menarik napas dalam-dalam. "Hanya sebatas teman, tidak lebih."

"Tapi, Erick, mencintaimu, kamu, pasti tahu itu."

"Aku, sudah menolaknya."

"Tapi, dia, masih mengharapkanmu. Kenapa menolaknya?"

"Please, enough! Don't talk about, him, anymore."

Andrew pun terdiam. Namun ada rasa yang mengganjal di hatinya. Niatnya ingin menyatakan rasa cintanya pada Manika menjadi ragu. Ia takut ditolak, entah mengapa, baru kali ini, Andrew merasa tak percaya diri, di hadapan seorang gadis. Padahal biasanya para gadislah yang terang-terangan mengajaknya berkencan.

Kedua orang itu kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ayuni dan Tyas yang baru kembali dari kama kecil, menjadi makin heran, melihat Andrew dan Manika.

"Hello!" Tyas berseru sambil melambaikan tangan dihadapan Manika dan Andrew.

"Apa sih, Yas!" Manika melotot pura-pura marah.

"Kenapa sih, kalian berdua saling diam? Ada apa coba berbagi, siapa tahu, kami bisa bantu." tutur Tyas.

"Iya, kita bedua, siap mencarikan solasi," imbuh Ayuni.

"Solusi!" kompak Manika dan Tyas.

Mereka pun akhirnya tersenyum. Namun tidak dengan Andrew. Hatinya masih diliputi kegalauan. Juga bimbang. Ada ragu yang melanda, melihat sikap Manika. Yang sepertinya menyimpan sesuatu.

Mereka keluar dari restaurant. Tak disangka, kembali bertemu Erick, yang juga baru keluar bersama dua orang temannya.

"Hi, Nik!" Erick menyapa dengan senyum ramah.

Karena tak ingin, Erick terus mengharapkan dirinya. Manika terpaksa melingkarkan tangannya di lengan Erick, sambil berkata. "Hai, Erick! Maaf kami buru-buru, selamat tinggal." Manika mengajak Andrew untuk segera pergi.

Andrew yang tahu situasi, mengikuti kemauan gadis yang dicintainya. Ayuni dan Tyas hanya bisa menerka-nerka dalam hati. Mereka berdua melihat ke arah Erick, sambil tersenyum mengangguk. Erick pun membalasnya. Ia menduga bahwa kedua gadis itu sahabat Manika. Bisa jadi gadis itu menceritakan dirinya, pada kedua sahabatnya.

Hati Erick begitu cemburu, melihat Manika dan Andrew. Namun ia sadar tak mungkin bisa mendapatkan gadis itu.

Ayuni dan Tyas yang mengikuti Manika dan Andrew, dari belakang. Sedari tadi hanya mampu terdiam, saling pandang. Belum berani bertanya apa pun pada Manika.

Setelah agak jauh meninggalkan restaurant. Manika melepaskan tangannya dari lengan Andrew. "Maaf kalau, aku lancang," ucap Manika.

"Tak apa. Erick sepertinya, sangat mencintaimu."

"Jadi itu tadi yang namanya Erick?" tanya Tyas.

"Iya," jawab Manika.

"Ganteng juga, dia," puji Ayuni.

Andrew yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kalian mau ke mana?"

"Mau, jalan-jalan sekitar sini aja," jawab Ayuni.

"Maaf, aku ada urusan mendadak, jadi aku pamit dulu yah?" ucap Andrew.

Andrew pun bersiap meninggalkan gadis itu. Sebelum melangkah, di tatapnya kedua bola mata Manika. Gadis itu bisa merasakan, ada cinta di balik tatapan Andrew. Ia pun menunduk.

"Andrew, terima kasih sudah traktir, kami bertiga, " ucap Manika.

"Sama-sama, aku juga terima kasih, sudah ditemani makan." Andrew terdiam beberapa saat. "Sebenarnya, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi sepertinya, saat ini kurang tepat," tambahnya.

"Kenapa?"

"Aku belum bisa mengatakan, dan mungkin … entahlah."

"Tapi kenapa?"

"Karena dihatimu, ada Erick.' Andrew berucap lirih dan melangkah pergi. Membawa kegalauan hatinya.

Manika masih terdiam di tempatnya berdiri. Memandangi punggung Andrew yang semakin menjauh.

Bersambung.