Part 20 Selamat Jalan
Laras masih menangis, hatinya benar-benar tak karuan. Hanya bisa berdoa dalam hati, untuk sahabatnya. Pertama kalinya, ia merasa sangat ketakutan. Takut kalau nyawa Sisil tak tertolong.
Membayangkan saja sudah membuat Laras takut. Bagaimana kalau Sisil meninggal. Tiba-tiba wanita berusia kepala empat itu, mengingat kematian. Hatinya benar-benar diselimuti rasa ketakutan, yang teramat sangat.
Sisil sudah masuk ke ruangan emergency, sementara Laras di bawa ke kantor polisi. Untuk dimintai keterangan. Semua kejadian yang sebenarnya, telah Laras sampaikan pada pihak berwajib.
Melihat Laras yang seperti sedang mengalami syok. Polisi mengantarkannya pulang. Laras pun menurut, karena pikirannya memang sedang kalut.
***
Di lain tempat, Manika yang sedang bersama kedua sahabatnya, Tyas dan Ayuni. Sedang duduk santai di sebuah taman. Lai Chi Kok Park.
"Luas juga taman ini yah?" gumam Ayuni.
"Iya, lebih nyaman dari Victoria Park, menurutku sih," sahut Manika.
"Nik, gimana dengan Ibumu, apakah, kamu, menghubunginya?" tanya Tyas.
Sesaat Manika terdiam, setelah pertemuan dengan teman ibunya yang mengaku bernama Sisil. Tak lagi tahu kabarnya. Meski dirinya masih menyimpan nomor ponsel sang ibu. Ia tak berniat untuk menghubunginya. Cukup lama gadis itu terdiam, sampai lupa untuk menjawab pertanyaan dari sahabatnya.
"Nik, kok malah melamun," tegur Tyas.
"Eh, anu, kenapa?" Manika nampak bingung.
Tyas menggelengkan kepala, sementara Ayuni mengedikkan bahunya. Akhirnya Tyas mengulangi pertanyaannya.
"Aku tanya, dari tadi tak di jawab. Gimana dengan Ibumu? Kamu nggak pernah menghubunginya?"
Manika menghela napas, sebelum menjawab. "Nggak pernah."
"Sini aku minta nomor telepon Ibumu!" Tyas memegang ponselnya siap untuk mencatat.
"Buat apa?" tanya Manika.
"Siapa tahu aku bisa jadi moderator diantara kamu dan Ibumu."
"Benar, Nik, bagaimana pun, beliau orang yang sudah melahirkanmu ke dunia. Apa salahnya, kita dekati, siapa tahu bisa berubah. Kamu nggak ingin kan, selamanya hidup Ibumu seperti itu?" imbuh Ayuni.
Belum sempat Manika menjawab. Tiba-tiba terdengar suara orang yang memanggil nama Tyas.
"Tyas!"
Seketika Tyas dan kedua sahabatnya, menoleh keasal suara.
Ternyata temannya, tetangga sebelah blok. Ia pun menyapa. "Hai! Mak Ning, di sini juga?"
Perempuan berusia kepala lima itu berjalan mendekat, sambil bertanya. "Dolanmu adoh men Nduk?" (Mainmu kok jauh sekali, Nak)
"Weleh dari Wan Chai ke Mei Foo nggak jauh bangetlah. Emak, juga ngapain ada di sini?"
"Temu konco, suwe ra pethuk." (Ketemu teman, lama tak jumpa)
Tyas pun mengenalkan temannya pada kedua sahabatnya. Mereka pun ngobrol bersama, saling tanya asal masing-masing. Saat asyik ngobrol sambil bercanda, datang seseorang menawarkan dagangan nya. Menjual aneka jajanan khas Indonesia.
Mereka pun membeli beberapa makanan ringan. "Eh Mbak, sudah pada tahu belum, tadi ada orang Indonesia kecelakaan loh, coba lihat di grup!" kata si penjual jajanan.
"Oh ya? kecelakaan apa di mana?" tanya wanita bernama Ning.
"Lihat saja banyak tersebar, di grup." tutur si penjual, menyebutkan satu aplikasi media sosial. Ia pun langsung pamit pergi, karena ada yang memanggil, hendak membeli dagangannya.
Ayuni dan Tyas langsung membuka ponselnya, karena penasaran. Sementara Manika memilih makan camilan.
"Ya Allah, kasihan banget ini orang, semoga saja selamat," ucap Ayuni.
"Memang kenapa?" tanya Manika.
"Ini ada perempuan ketabrak mobil, katanya karena ribut rebutan laki-laki, nggak tahu tuh berita bener apa nggak," balas Ayuni.
"Jangan mudah percaya mentah-mentah, dengan berita yang kita nggak tau kebenarannya," pesan Ning mengingatkan.
"Iya ya, Mak, orang hanya melihat sekilas, terus memotret, memvidio, unggah di media sosial," ucap Tyas.
"Nah itu dia, kadang yang diberitakan, nggak sesuai kenyataan, makanya kita harus pinter-pinter sendiri, jangan mudah terprovokasi, atau menelan semua berita, yang belum tentu, sesuai dengan kejadian sebenarnya."
"Kalau, kecelakaannya sih, kayaknya benar terjadi. Namun dibalik ceritanya itu yang belum tentu benar," ucap Ayuni.
"Emang ceritanya kenapa katanya?" tanya Manika.
"Itu, katanya, rebutan laki-laki, saat perempuan yang kecelakaan, sebelumnya menarik tangan si perempuan satunya, agar menjauh. Tapi malah perempuan itu di dorong sama si laki-laki itu hingga terjatuh kejalan, nah kebetulan mereka posisinya di pinggir jalan, pas saat itu ada mobil lewat, gitu katanya sih," tutur Tyas.
"Sudah, kita doakan saja, semoga orang yang kena musibah selamat, soal benar tidaknya berita itu, bukan urusan kita. Nanti juga ada berita yang valid dari pemerintah." ungkap Ning.
"Emak emang bijak," ucap Tyas.
Wanita yang di panggil, Emak Ning, hanya tersenyum. Tak lama kemudian ia pun pamit karena ada urusan yang lain.
Manika masih asyik menikmati camilan, ketika ponselnya berbunyi, tanda panggilan masuk. Gadis itu segera mengambilnya. Baru saja menekan terima panggilan, terdengar suara di seberang menyapa.
"Hi, Nik! How are you, where are you now?" ternyata Andrew yang meneleponnya.
"Hi, aku baik, saat ini, aku, ada di Mei foo. Taman Lai Chi Kok."
"Sama siapa? Ayuni, dan Tyas?"
"Iya."
"Bisakah, kita ketemu?"
"Loh, memangnya, kamu, sudah di Hongkong?"
"Iya, di percepat. Gimana bisa ketemu kan?"
"Sebentar, tutup dulu, dua menit aku telepon lagi yah?"
"Okay, i'm waiting for your call."
Manika pun memutuskan sambungan telepon. "Andrew?" tanya Tyas dan Ayuni berbarengan.
"Kompaknya," ucap Manika. Mereka pun tertawa kecil.
"Dia, minta ketemu, gimana nih?" tanya Manika.
"Loh, katanya pulang ke Australia, minggu depan baru balik," balas Tyas.
"Paling di percepat, sudah keburu pengin ngungkapin perasaannya, pada temen, kita." Ayuni tersenyum sambil mengedipkan mata.
"Hmm, sudah jelas itu mah," ucap Tyas.
"Ya sudahlah temuin saja," saran Ayuni.
"Ya sudah, aku, telepon Andrew dulu." Manika membuka ponselnya. Baru mau menekan tombol memanggil, pesan dari Andrew sudah lebih dulu masuk.
[Ajak saja, Ayuni dan Tyas, aku tunggu di the sultan's table restaurant. Central. Kita makan siang bersama]
"Andrew ngajak kita makan siang," ucap Manika.
"Kita?" tanya Ayuni.
"Iya, kita."
"Kenapa nggak, kamu sendiri, Nik?" tanya Tyas.
Manika memerlihatkan pesan dari Andrew, pada Tyas dan Ayuni.
"Ya, sudah yuk berangkat, untung kita belum makan siang. Alhamdulillah rejeki datangnya on the right time," ucap Ayuni semringah.
"Duh, yang bahasa inggrisnya makin lancar," sindir Tyas.
Ayuni tersenyum begitu pun Manika. Ketiga gadis itu berjalan menuju stasiun kereta.
"Kamu, tahu tempat restaurant the sultan's table, Yas?" tanya Manika, pada Tyas.
"Tahulah, pernah makan di sana satu kali sama si boss."
"Chinese restaurant?"
"Bukan, restaurant Turkey, halal kok."
"Alhamdulillah, kalau gitu."
***
Sementara di lain tempat. Tepatnya di Tai Wai. Laras yang masih syok, menyendiri di dalam kamarnya. Sedih, bingung, takut, semakin membuatnya kacau.
Untungnya Laras segera sadar. Bergegas ke kamar mandi untuk bersuci. Di ambilnya mukena yang baru dua minggu di beli dan dipakainya. Ia pun melaksanakan kewajibannya. Dalam doanya mohon ampunan dari sang pencipta. Dengan linangan airmata, memohon keselamatan untuk sahabatnya. Juga semua keluarganya.
Hati Laras begitu tersiksa, mengingat dosa-dosanya di masa lalu. Wajah suami, anaknya melintasi pelupuk matanya. Tiba-tiba ingin sekali memeluk putrinya yang telah lama ia lupakan. Laras benar-benar sangat menderita. Ketika sebuah penyesalan datang, menghantam ulu hatinya, serasa menembus jantung. Sakit namun tak nampak luka, memar atau sayatan.
Berkali-kali istighfar meluncur dari bibir Laras, mau pun dalam batinnya. Berharap ada ampunan untuknya, dari sang pemilik kehidupan. Sementara bulir bening terus mengalir deras. Tak ada rasa sakit yang bisa mengalahkan penyesalan, itulah yang kini di rasakannya.
Lama tenggelam dalam doa, memasrahkan segala yang akan terjadi. Laras berkali-kali menghela napas. Menata kembali hatinya. Mencoba berdamai, menghibur diri sendiri, kalau sang pencipta akan mengampuni dosa-dosanya. Walau ia merasa dosanya terlalu banyak. seperti butiran pasir yang terbentang, di seluruh pantai mana pun. Sulit terampuni.
Selesai bermunajat pada sang khalik. Laras merasa sedikit lega. Mengambil ponsel miliknya. Berniat mencari informasi tentang keluarganya juga keluarga Sisil. Di media sosial.
Namun baru saja membuka aplikasi berwarna biru. Banyak pemberitahuan dari grup para perantau di Negeri Hongkong.
Laras membuka grup yang sepertinya ramai. Biasanya ada berita yang sedang viral. Betapa kagetnya Laras, membaca berita tentang kecelakaan sahabatnya. Yang lebih membuatnya sedih, beritanya tak sesuai fakta.
Laras langsung keluar dari ruang grup tersebut. Bahkan tak ingin menanggapi tentang berita itu, apa lagi sudah pasti berbagai komentar nyinyir dari yang pedas sampai yang super pedas, pasti berjibun. Ia sudah bertekat tak ingin lagi mendengarkan kata-kata sumbang dari siapa pun.
Di letakkan kembali ponselnya, beberapa kali teman-temannya menelepon, sengaja diabaikan. Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi, awalnya Laras mengira salah satu temannya meneleponnya. Namun begitu melihat, ternyata nama polisi yang mengantarnya pulang.
Bergegas menjawab panggilan dari polisi itu. Betapa kagetnya Laras. Ketika polisi memberi kabar, bahwa Sisil Sahabatnya telah pergi untuk selamanya.
Rasanya seluruh tulang di badannya lepas semua. Laras tak mampu berkata apa pun. Untung polisi sebelumnya telah menghubungi majikan Laras. Sehingga tahu pekerjanya sedang mengalami syok.
Laras yang tak kuat menahan emosi jiwanya, atas kematian sahabat terdekatnya, akhirnya tumbang tak sadarkan diri. Beruntung Laras memiliki majikan yang baik, langsung memanggil salah satu kerabatnya, yang seorang dokter.
Setelah siuman dari pingsannya. Laras membuka kedua netranya. Nampak sang majikan perempuannya merasa lega, melihatnya telah sadar. Sang majikan pun berkata.
"Lala, aku, tahu kamu bersedih, karena kehilangan seorang teman baik. Tapi harus ingat, kamu juga harus jaga kondisimu. Aku yakin temanmu itu juga orang baik. Pasti dia tak mau melihatmu susah hati."
Laras terdiam namun airmatanya terus mengalir tanpa henti. Sang majikan kembali berkata. "Kamu pasti dari tadi belum makan kan? Ini ada makanan juga minuman hangat. Makanlah! Jangan sampai temanmu sedih melihatmu tenggelam dalam kesedihan seperti ini."
"Bolehkah besok aku melihat dan ikut sembahyang untuk temanku?" tanya Laras lirih.
"Tentu saja boleh, tapi kamu harus makan biar besok ada tenaga, kalau kamu sampai sakit, tak mungkin kamu boleh pergi ke sana."
"Terima kasih, Ma, saya akan makan." ucap Laras.
Sang majikan tersenyum, bagaimana pun Laras telah lama bekerja, sudah seperti keluarga. Karena Laras juga bekerja dengan baik, sehingga sang majikan membebaskannya. Saat bekerja ia memang bertanggung jawab.
Laras kembali teringat sahabatnya. Rasanya seperti mimpi, baru saja kebersamaan mereka jalani. Dalam sekejap takdir berubah.
Masih terngiang di indra pendengaran Laras, tentang keinginan Sisil berhijab, namun belum kesampaian ajal telah menjemputnya.
'Sil, kenapa, kau pergi begitu cepat? Bahkan aku belum sempat melihatmu memakai hijab, seperti keinginanmu.' Laras bergumam sendiri lirih menahan pedih. Teringat senyum Sisil, senyuman terakhir yang manis. Ketika ia mengajaknya untuk membeli hijab. 'Selamat jalan, Sil, semoga Allah pengampuni dosa-dosamu.'
Laras memaksakan diri untuk mengisi perutnya. Walau sangat sulit untuk ditelan. Namun berusaha dengan susah payah diiringi tetesan airmatanya. Ia tak mau jatuh sakit. Karena ingin ikut menyolatkan sahabat terbaiknya.
Bersambung.