Chereads / FINDING MOM / Chapter 20 - SENYUM TERAKHIR

Chapter 20 - SENYUM TERAKHIR

PART 19 Senyum Terakhir

Untuk kedua kalinya, Manika dibuat terkejut. Untungnya ia bisa menguasai diri, hingga tak sampai membuatnya syok.

Gadis itu menjadi heran. Karena Erick tak mau duduk, padahal masih ada bangku kosong. Akhirnya ia duduk, ternyata lelaki itu pun ikut duduk bersebelahan dengannya.

"Kenapa, tak jawab tlp, dan tak buka pesan dariku?" tanya Erick lirih.

Manika hanya diam tak berniat menjawab. Karena tidak mau, orang-orang yang berada di dalam bus mendengar percakapan mereka.

Gadis itu pun akhirnya, membuka ponselnya. Banyak sekali pesan, juga panggilan dari lelaki di sebelahnya. Sengaja diabaikan olehnya. Namun sekarang mau tak mau ia pun mengirim pesan padanya. [bicara nanti, kalau sudah turun dari bis]

Erick membuka ponselnya, dan berkata. "Okay." Mereka pun terdiam, hingga sampai di halte turun.

Ketika mereka turun. Manika berjalan lebih dulu, Erick mengikutinya dari belakang. Menuju pinggir sungai. Mencari bangku kosong, beruntung akhirnya menemukannya.

Setelah duduk di bangku. Manika berkata. "Nah, sekarang bicaralah, apa yang ingin, kau, sampaikan!"

"Nik, semua orang punya masa lalu. Dulu aku akui, sangat mencintai Lala. Meski aku tahu dia lebih tua dariku, tapi aku tak pernah berniat untuk, mempermainkan seorang perempuan. Karena aku juga punya ibu dan adik perempuan. Aku bahkan berniat menikahinya. Tapi dia mengkhianatiku. Aku melihat sendiri dia ke hotel dengan laki-laki lain. Dan memutuskanku begitu saja," beber Erick panjang lebar.

"Berapa lama, kamu, menjalin hubungan sama dia?" tanya Manika menahan perih.

"Sekitar satu tahun lebih."

"Dan setiap ketemu. Apakah kalian, selalu tidur bareng layaknya suami istri?"

"Namanya saja hubungan percintaan. Itu hal yang wajar apanya yang aneh?"

"Wajar bagimu, tapi tidak bagiku. Hubungan intim suami istri, hanya boleh dilakukan setelah menikah."

"Aku, janji tak akan mengajakmu, tidur sebelum kita menikah."

"Maaf, aku, tak bisa menerima cintamu, masih banyak gadis yang lebih baik dan cantik dariku, di luar sana!"

"Hanya karena, aku pernah menjalin hubungan sama, Lala?"

"Bukan hanya itu. Antara, kita, banyak sekali perbedaan. Aku hanya akan menikah dengan lelaki yang seiman denganku. Tolonglah jangan memaksaku, kita, masih bisa tetap berteman."

Manika merasa sedikit lega setelah mengucapkan kata-kata itu. Sebaliknya, Erick, sangat kecewa. Ia meremas rambutnya sendiri nampak frustasi.

"Nik, please, kasih aku kesempatan. Aku akan belajar menjadi seorang muslim, yah?"

"Erick, walau seandainya saat ini, kamu seorang muslim. Aku tetap tak bisa menerimamu."

"Tapi … what's the reason? Please tell me!"

"No reason." Manika mencoba untuk tetap tenang. Walau sebenarnya hatinya sangat kacau. Antara kasihan melihat lelaki itu. Juga sakit dihatinya mengingat perbuatan ibunya.

Erick terlihat meneteskan air mata. Ia sangat mencintai Manika. Namun kini gadis yang dekatnya, namun tak mampu terjangkau cintanya. Bahkan sudah menolaknya.

"Nik, aku, janji tak akan mengganggumu. Karena, aku sungguh-sungguh mencintaimu. Tapi aku sadar tak boleh memaksamu. Jika suatu saat hatimu terbuka untukku, walau sedikit. Kabari, aku, kapan pun aku akan selalu menerimamu. Karena itu adalah impianku."

Mendengar semua penuturan, Erick. Manika yang sudah berusaha sekuat tenaga. Akhirnya tak kuasa membendung air matanya. Ia benar-benar merasa iba pada lelaki itu.

"Aku, minta maaf, kalau hatimu terluka. Karena, aku, tak bisa menerima cintamu. Aku, percaya, kamu, orang baik. Percayalah suatu hari nanti, pasti ada perempuan yang lebih baik, dan pantas menerima cintamu." Manika berkata sambil menunduk.

"Baiklah, aku, akan berusaha menganggapmu, teman biasa. Walau pasti sulit. Jika sewaktu-waktu butuh bantuan. Jangan sungkan untuk menghubungiku. Itu pun kalau, kamu, masih sudi menganggapku teman."

Erick berdiri bersiap untuk pergi. Sebelum melangkah kembali berkata.

"Kau, perempuan terbaik, yang pernah kutemui. Selamat tinggal."

Lelaki itu pun pergi, membawa luka di hati. Manika menumpahkan air matanya. Berharap sesak di dadanya berkurang. Beberapa menit kemudian. Ia pun menarik napas sedalam-dalamnya. Di basuhnya wajah dengan sisa air minumnya, agar tak terlihat kalau habis menangis, sebelum melangkah kan kaki pulang ke rumah majikannya.

***

"Dengar ya Mbak! Aku bukan perempuan murahan sepertimu. Yang sudah berkali-kali, ditiduri banyak lelaki. Kalau saja aku tahu, Erick pernah menjadi mangsamu. Tak sudi aku mengenalnya, paham!"

"Jangan dekati, aku, lagi! Aku bukan perempuan murahan seperti dia, yang mudah kau ajak tidur. Jangan harap bisa mengajakku tidur. Kau tahu, dia, perempuan itu, punya suami dan anak di Indonesia?"

Lala masih terngiang-ngiang. Kata-kata yang di ucapkan, gadis yang mengaku kepada Sisil, bernama Nikita, yang tak lain adalah Manika. Ia tak habis pikir, mengapa ingatannya selalu kembali pada kejadian itu.

Hari berganti, Lala masih terus memikirkan, tentang sosok Nikita. Hati kecilnya mengatakan, gadis itu mengetahui jati dirinya. Itu membuat ketenangan hidupnya terusik.

Sayangnya Lala tak tahu. Seperti apa wajah gadis itu. Semakin penasaran dibuatnya. Semakin mencoba untuk melupakan. Makin terngiang dalam ingatan.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Erick terpampang di sana. Cepat-cepat menjawab panggilan teleponnya. "Wei, Erick!" sapanya.

"Terima kasih, untuk kedua kalinya. Kau membuat hatiku sakit. Pertama mengkhianatiku, di saat, aku benar-benar mencintaimu. Bersusah payah mengobati luka hati ini. Sekarang, kembali, kau lukai. Karenamu orang yang kucintai, tak mau menerima cintaku. Kamu, memang luar biasa. Ingat satu hal! Sekali lagi, kau mengganggu hidupku. Akan tahu akibatnya. Kau memang perempuan murahan tak tahu malu. Nggak ingat umurmu makin tua? Sebentar lagi keriput, dan tak menarik lagi." Selesai bicara, Erick langsung memutuskan sambungan telepon.

Tinggallah Lala yang tertegun. Ia tak menyangka, Erick bisa berkata seperti yang baru saja di dengarnya. Antara marah, sedih dan terhina, berkecamuk dalam dada. Namun tak bisa dipungkiri ada sebersit rasa malu hinggap dalam sanubarinya, Laras pun menangis entah menangisi apa.

Tak ingin cari masalah. Lala pun menghapus nomor kontak Erick. Tiba-tiba saja ia merasa tak berharga. Rasa takut menjalari ruang hatinya, yang kini terasa hampa.

Kata-kata Nikita yang terus terngiang. Seperti mengejek. Membuatnya teringat akan jati dirinya. Seketika penyesalan pun mendera. Sakitnya tak terkatakan. Ia menangis dalam kamarnya menumpahkan sesak yang menyerang dadanya.

***

Dalam waktu yang bersamaan. Sisil sahabat Lala. Juga sedang merenungi dirinya. Yang telah lama terperosok dalam lumpur kenistaan, sejak bertemu Nikita yang santun cara bicaranya. Sejak itulah Sisil menjadi sahabat Lala. Ia jadi teringat anak satu-satunya. Dan yakin anaknya sudah sebesar Nikita.

Sisil merasa hampa, hatinya kacau, pikiran tak karuan. Ia keluar berjalan-jalan membuang kegalauannya, di sekitar time squares, awalnya berniat hendak ke bar, namun hatinya menjadi gamang. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang saja.

Betapa kagetnya Sisil, mendapati Lala sedang duduk di depan pintu kamar kostnya. "Sejak kapan lu di mari?" tanyanya pada Lala.

Lala hanya menarik napas berat. Matanya yang nampak sembab, membuat Sisil tak bertanya lagi. Bergegas membuka pintu, tanpa bersuara Lala pun masuk.

Sisil menyeduh kopi dua cangkir, diberikannya secangkir pada sahabatnya, yang terlihat kusut masai. Sisil sengaja tak bertanya, membiarkan Lala bicara dengan sendirinya.

Lama kedua sahabat itu terdiam. Tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka menyesap kopi, dengan pikiran melayang, entah ke mana. Hingga kopi pun tandas menyisakan warna dalam cangkir putih tulang itu.

"Tadi, Erick nelpon," Lala membuka percakapan.

"Terus kenapa?"

"Sepertinya, dia marah banget, gara-gara, aku, gadis itu menolaknya. Bahkan, Erick, mengancamku kalau berani mengganggunya lagi."

"Ya udahlah, masih banyak cowok yang lain."

"Entahlah, saat ini aku merasa diriku sangat hina." Lala terdiam sejenak, menyeka air matanya yang tiba-tiba mengalir. "Begitu bejatnya moralku, belasan tahun lamanya, lupa diri, lupa kalau aku punya suami dan anak."

Lala membenamkan wajahnya di bawah bantal. Menumpahkan penyesalannya. Hingga sedu sedannya, membuat Sisil yang sedari tadi galau pun ikut menangis.

Sisil memeluk sahabatnya. Ia sangat bahagia, niatnya untuk berhenti, menjadi kupu-kupu malam kian membuncah. Setelah puas menumpahkan beban yang membuat sesak di dada. Sisil berkata.

"La, kita bertaubat yuuk! Mumpung masih diberi umur. Tidak tahu kapan ajal menjemput, bisa jadi esok, lusa atau bahkan satu jam kemudian."

Lala mengangguk, kembali keduanya berpelukan. Masing-masing berdoa dalam hati. Mohon ampunan dari sang pencipta. Sejak itu, Lala yang sekarang lebih suka dipanggil Laras sesuai namanya. Bersama Sisil sahabatnya. Memulai hidup baru.

Kini penampilan keduanya, lebih tertutup, tak lagi memakai pakaian minim bahan, seperti sebelumnya.

"Gimana pantes nggak, aku pake baju ini?" tanya Laras.

"Panteslah, tambah cantik." Sisil tersenyum memandangi sahabatnya agak lama.

"Hey, kok senyum-senyum sendiri kenapa?" tegur Laras. Yang merasa aneh, melihat Sisil tersenyum lama

"Aku kan lagi seneng sahabatku, tambah cantik."

"Jangan-jangan, kamu, naksir aku yah," canda Laras.

"Ih amit-amit, deh yah, masak jeruk makan jeruk."

Laras tertawa, Sisil hanya menggelengkan kepala. Namun tak urung ikut tertawa juga.

"Sil, kenapa sih, kamu sekarang agak pendiam, ada apa?" tanya Laras.

"Inget dosa, apa ada ampunan yah buat pendosa seperti gue?"

"Ngomong apa sih, kamu? Sendiri bilang Allah maha pengampun."

"Iya sih." Sesaat Sisil terdiam, lalu. "Gue pengin pake hijab." sambungnya.

"Ya udah, kita cari hijab yuk, beli beberapa aja dulu."

Sisil tersenyum, karena sahabatnya mendukung, mereka pun berjalan menuju toko yang menjual hijab. Namun tiba-tiba, Seseorang memanggil mereka.

"Hai Lala, Sisil, apa kabar kalian? Lama nggak ketemu yah?" Laki-laki setengah baya, berwajah oriental, kini berada di hadapan mereka.

"Hai, Sam," jawab Laras ramah.

"Mau ke mana, kalian? Ayolah pergi denganku, salah satu dari kalian boleh, siapa aja. Lebih senang lagi kalau kalian berdua sekaligus. Tenang saja aku bayar sesuai tarif kalian." Lelaki bernama Sam itu, berkata, membuat Laras dan Sisil merasa malu, walau suaranya tak terlalu keras. Tetap saja mereka malu, takut ada yang mendengar.

Karena banyaknya orang, yang memerhatikan mereka. Laras dan Sisil pun berniat pergi meninggalkan Sam yang mulutnya beraroma alkohol.

Namun tak di sangka Sam mengikuti, di belakang mereka. Lelaki itu menarik tangan Laras sambil mengoceh. "Ayolah kita bersenang-senang."

Sisil mencoba membantu Laras melepaskan genggaman lelaki itu. Namun naas, Sam yang sedang mabuk mendorong tubuh Sisil, hingga terpental ke jalan, bertepatan sebuah mobil lewat. Seketika semua orang berteriak.

Laras berlari sambil berteriak memanggil sahabatnya. Sisil tergeletak bersimbah darah tak sadarkan diri, Laras memeluknya sambil menangis histeris.

Beberapa orang yang menyaksikan, ada yang merekam, mau pun mengambil gambar kejadian itu. Polisi datang, tak lama kemudian, mobil ambulance pun membawa Sisil, Laras ikut serta di dampingi polisi.

Laras tak henti-hentinya menangis, selama di dalam ambulance. Ia sangat takut sesuatu terjadi pada sahabatnya.

Bersambung.