Chereads / FINDING MOM / Chapter 19 - Kupu-kupu Malam

Chapter 19 - Kupu-kupu Malam

PART 18 Kupu-kupu Malam

Sisil menggandeng tangan sahabatnya. Tiba-tiba Lala berhenti di tengah jalan. Entah mengapa ada keraguan di hatinya. Jika menginggat kata-kata gadis itu. Ia merasa malu. Apa lagi saat ini, gadis itu terlihat bersama teman-temannya.

"Kenapa berhenti?" Sisil menjadi heran dengan sahabatnya.

"Nggak usah deh, ayo pergi aja!"

"Tapi kenapa?"

"A … aku." Lala terdiam, meremas jari-jari tangannya sendiri. Rasa di hatinya benar-benar tak karuan. Ia sendiri merasa heran.

"Hey! what's wrong with you? Ini bukan, lu, banget, La!"

"Entahlah, Sil, aku juga bingung."

Sisil menggelengkan kepala. Ia heran dengan sikap karibnya. Padahal selama mengenalnya, Lala adalah sosok yang tak peduli. Siapa pun yang berani berurusan dengannya, pasti dilabraknya. Tanpa tedeng aling-aling. Bisa-bisanya sekarang malah jadi seperti kerupuk tersiram air.

"Terus, sekarang gimana? Katanya penasaran, dengan itu cewek?" Sisil yang masih heran pun kembali bertanya.

Lala masih terdiam, membuat Sisil semakin kesal. "Ya udah, lu, tunggu aja di sini! Gue mo nyamperin tuh cewek." Tanpa memberi kesempatan pada Lala untuk mencegahnya, Sisil sudah berlari meninggalkannya.

Sontak Lala berteriak memanggil Sisil. Namun perempuan yang berpenampilan bak selebgram itu, tak menghiraukan dirinya, membuat hatinya semakin tak menentu.

Kini Sisil telah sampai, di hadapan Manika dan Teman-temannya. "Maaf, Mbak, boleh bicara sebentar?" ucapnya pada Manika, ketika sudah berada tepat di depannya.

"Dengan, saya? Tapi maaf, Mbak, siapa?" jawab Manika dan balik bertanya.

"Saya, Sisil, teman Erick." ucapnya santun.

Mendengar itu, Manika pun berpikir. Ia yakin Sisil adalah teman ibunya. Ayuni dan Tyas saling pandang. Namun, mereka tak mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya mau tak mau, Manika yang selalu menghargai orang, apa lagi orang tersebut memintanya dengan sopan, pun berkata.

"Mbak, mau bicara apa? Ngomong saja!" Manika berkata datar.

"Boleh minta waktunya sebentar? Saya, pengin bicara empat mata."

Manika berpikir sesaat sebelum mengiyakan ajakan Sisil. Akhirnya gadis itu pun berkata. "Oke, ayo!"

Mereka berdua pun agak menjauh beberapa meter. Karena tak ingin pembicaraannya terdengar semua orang. Sisil pun mulai bicara.

"Maaf, kalau boleh tahu, Mbak, namanya siapa yah?"

"Nikita, panggil saja, Nik" jawab Manika.

"Baiklah, Nik, maaf banget sebelumnya, kalau saya mengganggu. Kalau boleh tahu, sudah berapa lama kenal Erick?"

"Belum lama, baru beberapa bulan, memangnya, ada apa ya, Mbak?"

"Nggak papa, cuma pengin tau aja, sebelumnya sama Mbak, Erick, punya pacar orang Indonesia juga, apakah, Mbak mengenalnya?"

Manika semakin yakin, Sisil sedang mengorek keterangan darinya. Mungkin ibunya merasa sesuatu, dengan kata-kata yang ia lontarkan tadi. Gadis itu yakin, kalau ibunya ada di sekitarnya saat ini. Betapa sempitnya. Entah kebetulan atau apa, hingga berada di tempat yang sama.

"Aku, nggak kenal, Mbak, tapi aku tahu. Karena tadi saat Erick hendak melamarku, perempuan itu tiba-tiba datang. Dan dari percakapan merekalah saat bertengkar, aku jadi mengetahuinya." Manika berhenti sesaat untuk menarik napas. "Aku, menganggap Erick teman, walau dia, mengungkapkan perasaannya padaku. Mikir tujuh kalilah Mbak. Untuk menerima laki-laki non muslim bagiku. Apa lagi perempuan itu bertanya, yang merendahkan harga diriku. Aku, ini masih punya harga diri, belum pernah di jamah laki-laki," sambung Manika panjang lebar.

Sisil menatap dalam mata Manika, dari cerita gadis itu, juga Lala. Hati kecilnya berkata. Kalau manika gadis yang baik, dan semua yang ucapannya jujur adanya, Sisil bisa merasakan itu.

"Tapi, sepertinya, Erick, sangat mencintaimu."

"Mungkin saja, tapi, aku, punya prinsip yang akan kupegang selalu, hanya mau sama pria yang seiman."

"Oh, gitu yah, ya udah deh, terima kasih untuk waktunya. Boleh buka maskernya sebentar? Biar bisa tahu wajahmu, siapa tahu lain waktu ketemu, bisa saling menyapa." Sisil membuka maskernya dan tersenyum. Manika pun melakukan hal yang sama.

Setelah itu, Sisil pun pamit pergi. Diam-diam Manika memerhatikan. Benar saja, gadis itu melihat dari jauh, Sisil bersama ibunya. Ia masih ingat baju yang dikenakan Lala.

Manika melihat sampai Sisil dan ibunya semakin menjauh. "Siapa sih orang itu, Nik?" tanya Tyas penasaran.

'Sepertinya teman ibuku."

"Terus ngomong apa dia?"

"Nggak penting, kayanya sengaja cuma ingin cari tahu siapa, aku."

"Terus, apa yang, kamu, katakan padanya?"

"Aku bilang aja namaku, Nikita."

"Oh gitu, baguslah."

"Udahlah, nggak usah bahas lagi, ayo kita jalan-jalan lagi," ajak Manika.

Mereka pun menyusul sahabatnya, Ayuni yang sedang bersama Syahdan, di sebuah toko pakaian.

***

Lala yang penasaran, tak sabar ingin tahu Sisil bicara apa dengan gadis itu." Gimana? Ngomong apa aja sama dia?"

"Dia, bilang nggak kenal ama lu."

"Kalau, memang dia, nggak kenal sama, aku, kenapa dia bisa tahu aku punya anak dan suami?"

"Mungkin kebetulan aja asal ngomong. Lagian, elu, pake nanya udah ditiduri berapa kali ama Erick, jelaslah dia marah. Karena dia nggak merasa."

"Kamu, percaya sama gadis itu?"

"La, biar kata kelakuan, gue, begini, tapi masih bisa menilai, baik buruknya orang."

"Bisa aja kan, gadis itu bohong. Mana ada orang sini, pacaran tanpa tidur bareng."

"Tapi, gue percaya, La, sama gadis itu. Coba, lu, pikir, Erick sampai melamar dia, di depan umum loh. Itu tandanya Erick serius. Kalau memang Nikita, bukan gadis baik. Tidak mungkin, dia, pergi begitu aja ninggalin Erick. Setelah tahu siapa, lu. Apa lagi Erick lebih memilih, dia, dari pada, elu. Nikita, masih muda, juga cantik meski tanpa make up. Secara umur serasi sama Erick."

"Jadi, kamu, lebih membela gadis itu dari pada sahabatmu ini?" Lala nampak jengkel, pada Sisil.

"Bukan begitu, La. Gue, cuma ngomong berdasarkan logika."

Lala terdiam. Jauh di lubuk hatinya. Ia sependapat dengan Sisil. Mengenai gadis yang bernama Nikita, Dan itu yang membuatnya tiba-tiba merasa malu, padahal belum pernah ia merasa seperti yang sedang ia rasakan saat ini.

"La, jujur nih, setelah tadi bicara sama, Nikita, kok jadi inget anak gue sendiri." Sisil menarik napas, wajahnya berubah murung.

Seburuk apa pun kelakuannya. Sisil tetaplah seorang ibu. Sama seperti Lala. Bedanya Sisil bercerai, karena suaminya ada perempuan lain, dan menghabiskan uang hasil keringatnya.

Sejak itu, Sisil berubah, apa lagi setelah bertemu dan kenal dengan Lala. Yang kala itu, jauh sebelum pandemi, mereka sedang menikmati liburan selama tiga hari di Macau surganya para penjudi di Asia.

Sisil merangkap, menjadi kupu-kupu malam. Majikannya yang warga Negara Amerika. Membebaskan dia tinggal di luar. Walau tetap sewa kost menjadi tanggungan, sang majikan.

Jadilah Sisil tiap malam bebas tanpa batas. Yang penting jam delapan pagi, sudah sampai di rumah majikan. Kehidupan seperti itu dijalaninya bertahun-tahun. Rasa kecewa pada mantan suami, ditambah anak satu-satunya lebih memilih ikut bapaknya. Yang membuat Sisil merasa tak berharga.

"Apa, elu nggak inget, sama anak, La?" tanya Sisil lirih.

Sontak pertanyaan itu, bagai sengatan listrik yang menyentuh kulit Lala. Ia terdiam tanpa bisa menjawab. Tiba-tiba saja merasa lemas, seluruh badan bagaikan tak bertulang.

***

Sementara itu, Manika yang masih bersama kedua sahabatnya. Berusaha menutupi kegalauan hatinya.

"Perempuan tadi ngomong apa, Nik?" tanya Ayuni.

"Kayaknya, dia teman, Ibuku, mencari informasi tentang aku. Tentang hubunganku dengan Erick."

"Tapi, nggak ada masalah kan? Maksudku, dia nggak ngomong aneh-aneh?"

"Nggak sih, ngomongnya baik-baik."

"Syukurlah, pokoknya apa pun yang terjadi, jangan pendam sendiri. Aku sama Tyas, pasti akan bantu."

"Iya, aku sangat bersyukur, memiliki sahabat sebaik kalian."

Ketiganya berpelukan, Syahdan yang melihat pun berkomentar."

"Ada apa nih, pakai acara berpelukan, aku kan jadi iri, nggak bisa ikut berpelukan," candanya.

Ketiga gadis itu tersenyum sambil menggelengkan kepala, mendengar candaan Syahdan. Mereka kembali berjalan-jalan. Manika dan Tyas berjalan di depan mendahului Ayuni dan Syahdan.

Tyas dan Manika, memerhatikan Ayuni yang sedang bersama Syahdan. Mereka terlihat berada di dalam, sebuah toko pernak pernik cindera mata khas Hongkong.

Tak terasa sore pun tiba. Setelah berjalan-jalan mengitari pasar turis, dan membeli beberapa barang. Tiba saatnya mereka pun berpisah di stasiun. Tyas bersama Syahdan, yang kebetulan satu jurusan.

"Yas, calon suamimu, orang mana?" tanya Syahdan, ketika mereka sudah di dalam kereta.

"Orang Maroko."

"Ketemu di Hongkong sini?"

"Iya."

"Oh, sudah lama?"

"Belum setahun, beberapa bulanlah."

"Oh, tapi serius kan? Maksudku, ada rencana nikah?"

"Adalah, cuma nunggu, aku, habis kontrak."

"Syukurlah, semoga, di mudahkan semuanya."

"Aamiin."

***

Sementara Ayuni dan Manika, seperti biasa, bersama naik kereta, dan akan berpisah di stasiun Kowloon Tong.

"Gimana, Ay, itu si Syahdan, udah jadian yah kalian?" tanya Manika.

"Kita komitmen, untuk saling mengenal dulu."

"Baguslah, memang seharusnya seperti itu, jangan langsung, ayo aja, apa lagi baru saja ketemu."

"Iya, aku, juga mikirnya begitu."

"Tapi jujur, kamu suka, dia kan?"

Ayuni tersenyum nampak merona, menahan malu. "Yeh ketahuan malu, berarti jawabannya, iya nih!" tebak Manika.

"Aku juga heran, merasa aneh, baru ketemu kok, bisa suka."

"Mungkin itu, yang dinamakan jodoh. Jatuh cinta pada pandangan pertama, ah so sweet." ucap Manika. "Ceritanya, bisa sama dengan, Tyas dan Thoriq, sih. Satu kali ketemu langsung jadian." sambungnya.

"Entahlah, terserah sama yang mahakuasa, ke depannya seperti apa."

"Yang penting berusaha dan berdoa, semoga dapat yang terbaik."

"Iya, semoga, kamu, juga ya, Nik?"

"Aamiin."

"Eh udah sampai Kowloon Tong nih, hati-hati yah, sampe ketemu."

"Kamu, juga hati-hati, jalan yang bener, jangan senyum-senyum sendiri, takut salah naik bis!" ledek Manika.

Ayuni hanya tersenyum, tak lama kemudian, ia turun dari kereta.

Manika melanjutkan perjalanannya. Hingga gadis itu pun sampai di stasiun Sha Tin. Betapa terkejutnya Manika, mendapati Erick berada di depan sana. Ketika ia baru saja keluar dari stasiun. Dengan tergesa, berusaha jangan sampai, berpapasan dengannya.

Manika berpikir keras. Dari mana Erick tahu dirinya ada disitu. Atau hanya kebetulan saja, lelaki itu berada di tempat yang sama saat ini. Manika bingung sendiri, memutuskan untuk tidak peduli, pura-pura tak melihatnya. Dan berharap Erick bukan sengaja menunggu dirinya.

Manika berusaha tetap berjalan, sengaja berbaur dengan orang banyak. Agar tak ada kesempatan buat Erick mendekatinya. Ia pun merasa lega, karena tak lagi melihat lelaki itu. Segera melangkah cepat, menuju tempat pemberhentian bis.

Bis yang menuju ke tempatnya masih tertutup, sementara antrean sudah cukup panjang. Manika mengucap syukur. Karena tak perlu menunggu lama. Sopir menyalahkan mesin dan membuka pintu bus.

Satu persatu penumpang yang sudah antre pun masuk. Tiba giliran Manika, setelah menempelkan kartu pembayaran. Untuk kedua kalinya Manika dibuat terkejut. Karena Erick sudah ada, di dalam bus yang sama.

Bersambung.