Chereads / FINDING MOM / Chapter 18 - Dari Maladewa Mencari Cinta

Chapter 18 - Dari Maladewa Mencari Cinta

Part 17 Dari Maladewa Mencari Cinta

Manika terkesiap, merasa heran dengan pertanyaan Syahdan. Bagaimana lelaki itu tahu, jika dirinya sedang teringat seseorang. Andai saja ada yang tahu, siapa sosok yang sedang ia pikirkan, pasti dirinya sangat malu. Karena ia sempat menyebutnya meski hanya sebatas andai.

Entah siapa sosok lelaki itu, yang membuat Manika, tidak hanya merasa tertampar, namun juga malu sekali. Ia pun memutuskan belajar untuk berhijab, pelan-pelan.

"Kenapa, Nik? Inget sama lelaki yang ketemu di masjid, ngasih kerudung itu?" tanya Tyas.

Manika hanya melihat Tyas sekilas. Tanpa menjawabnya. Kembali dibuat heran karena sahabatnya, pun tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Manika tersenyum lalu berkata. "Kenapa, kalian berpikir, kalau aku sedang mengingat seseorang?"

"Kamu, lebih banyak diam sih," jelas Syahdan.

"Iya, betul." Tyas dan Ayuni kompak mengangguk.

"Maaf boleh tanya, apakah, kalian, sudah menikah?" Syahdan bertanya pada ketiga gadis itu.

"Belum," jawab Tyas.

"Kalian, bertiga?"

"Iya, tapi dia sudah laku!" Manika menunjuk Tyas sambil tersenyum.

"Lalu, kalian berdua?" kembali Syahdan bertanya, pada Manika dan Ayuni.

Keduanya tak bisa menjawab. Lalu Tyas mewakili kedua sahabatnya. "Niki, sudah ada yang suka, tapi belum jadian sih, kalau Ayuni, masih sendiri."

Ayuni yang bahasa inggrisnya sudah lumayan, semenjak mengikuti kursus. Menyambung kata-kata Tyas.

"Karena belum ada laki-laki yang mau sama, aku. Mungkin karena kurang cantik." Ayuni berkelakar sambil tertawa.

Syahdan yang mendengar Ayuni berkata seperti itu langsung membantah. "Siapa bilang, kamu, tak cantik? Kamu cantik kok, kalian semua cantik."

"Kamu, bicara seperti itu. Just want to make me happy right?" Ayuni berkata sambil tersenyum.

"You really beautiful. Percayalah, aku nggak bohong." Syahdan berhenti sesaat. "All women is beautiful. Jangan pernah merasa tidak cantik. Itu namanya tidak bersyukur, paham!" sambungnya.

"Dengar, apa yang barusan Syahdan bilang!" ucap Tyas pada Ayuni. Manika pun mengangguk tanda setuju.

"Kamu, cantik, apa lagi kalau pakai hijab, seperti Niki," tutur Syahdan.

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Setelah mendengar penuturan lelaki yang baru dikenalnya itu.

"Sebenarnya, aku meminta gabung duduk di sini, karena ingin mengenalmu." Syahdan menatap Ayuni. Gadis itu pun kaget, namun tak berkata apa pun.

"Boleh kan, mengenalmu lebih dekat? Aku, dan kamu, masih sendiri, siapa tahu kita berjodoh." Syahdan mengutarakan maksudnya, sambil menatap Ayuni.

"Apakah, kau benar-benar, menyukainya?" tanya Manika.

"Yah, makanya aku di sini, apa kalian keberatan, kalau, aku menyukainya?"

"Tentu tidak, justru kami berdua senang, jika ada lelaki baik, shaleh yang dan tulus mencintainya, bukan untuk main-main," tutur Manika.

"Tidak ada niat di hatiku, main-main sama perempuan. Asal kalian tahu, beberapa temanku dari beberapa Negara, memilih wanita Indonesia, sebagai istrinya, dan kehidupan mereka semua bahagia, jadi aku juga ingin menikah dengan orang indonesia,' tutur Syahdan.

"Kalau benar niat nyari istriorang Indonesia, kenapa ke Hongkong, bukan ke indonesia langsung, kan tinggal pilih?" tanya Ayuni.

"Teman-temanku, ketemu jodohnya di Hongkong sini, jadi aku pun mengikuti jejak mereka, siapa tahu kan dapat. Alhamdulillah sudah ada, yang masuk di hati." Syahdan tersenyum memandang Ayuni.

"Hmm kayaknya tanda-tanda nih!" Tyas menggoda, sambil tersenyum pada Ayuni.

Ayuni tertunduk, apa lagi dilihatnya, Syahdan juga sedang memerhatikan dirinya. Sepertinya lelaki itu memang, benar-benar tertarik padanya. Manika yang menyadari situasi, diam-diam tangannya memberi kode pada Tyas.

"Eh, aku, mau ke toilet dulu yah," pamit Manika.

"Aku, ikut dong. Ay, titip tas yah males bawa-bawa." Tyas langsung beranjak mengikuti Manika. Kedua gadis itu memberikan kesempatan untuk keduanya mengobrol. Toh di tempat ramai, sehingga mereka tak takut membiarkan Ayuni berduaan dengan Syahdan.

Ayuni tahu pasti, kedua sahabatnya sengaja. Ia jadi serba salah, tak tahu harus berbuat apa. Hanya diam yang bisa dilakukannya.

"Sis, aku, harus memanggilmu apa yah? Biar lebih enak?" Syahdan bertanya pada Ayuni, sambil memandanginya.

"Kan sudah tahu namaku, Ayuni. Atau panggil saja Fulanah." Ucapnya sambil tersenyum lalu menutupi mulut dengan tangannya.

Syahdan tertawa sambil geleng-geleng. "Kau, ini lucu, masak panggil Fulanah, itu kan sebutan untuk orang tak di kenal. Dan kita tidak tahu namanya."

Ayuni pun tertawa mendengarnya. Begitu pun dengan Syahdan. Lelaki itu nampak senang, karena Ayuni bisa bercanda. Sesaat kemudian tawa mereka berhenti. Tatkala mendengar ponsel Syahdan berdering.

Lelaki itu minta izin untuk menjawab panggilan masuk. Tak sampai tiga menit, Ia pun menyudahi pembicaraannya.

"Kau, tahu siapa yang menelponku?" tanyanya.

"Calon istrimu," jawab Ayuni asal.

"Calon istriku, baru saja sedang kucoba dekati, Semoga saja Allah ridho."

"Oh yah? Terus tadi yang nelpon siapa?" Ayuni penasaran.

"Ummi, beliau sudah pengin banget anak lelakinya ini cepet nikah."

"Terus kenapa belum nikah?"

"Belum ketemu yang tepat."

"Emang, yang tepat seperti apa?"

"Yang pasti seorang muslimah. And can be, my partner in whole of my life."

"Semoga cepat menemukan. The right women as your wanted."

"Amiiin, sepertinya saat ini Allah sudah mengirimkan. That pretty women for me."

"Alhamdulillah, good luck for you. Tinggal mewujudkan keinginan, Ibumu. Just do, as soon as possible, that's better." Ayuni mencoba tersenyum. Walau hatinya tak menentu. Ia sendiri bingung, dengan apa yang dirasa.

"Benar katamu, lebih cepat lebih baik. Baiklah, maukah, kamu, jadi Umminya anak-anakku?"

Sontak Ayuni menatap lelaki itu. Mencoba mencari kejujuran di sana. "Jangan bercanda," ucapnya lirih.

"Aku, sedang tidak bercanda, Tapi serius!" Syahdan membantah, apa yang diucapkan Ayuni.

"Aku, tak percaya," bantah Ayuni.

"Apa yang harus, aku, lakukan agar, kamu, percaya padaku?"

Ayuni terdiam, tentu saja ia tak percaya. Bagaimana mungkin ketemu saja belum ada satu jam. Begitu yang ada dalam benaknya.

"Bukankah, tidak baik menunda- nunda niat baik? Kamu, sendiri bilang kan, lebih cepat lebih baik?"

"Iya benar, tapi … kita baru saja kenal. Belum saling mengenal dengan baik. Dan belum tahu baik buruknya, juga kekurangan kita."

"Makanya beri kesempatan. Aku, ingin mengenalmu lebih dekat. Bukan untuk main-main, tapi serius, bagaimana?"

"Kamu, benar kan belum punya istri atau kekasih?" Ayuni bertanya ingin memastikan.

"Aku, telpon orang tuaku, biar kamu tanya mereka? Atau kuajak, kau ke kantor perwakilan Negaraku, bagaimana?" tanya Syahdan serius.

Ayuni terdiam, sesaat mereka saling menatap. Gadis itu pun buru-buru mengalihkan, pandangannya. Kembali terdiam dengan pikiran masing-masing. Sampai tak menyadari kehadiran, Tyas dan Manika.

"Ehem!" Tyas berdehem sebelum duduk. Seketika dua insan yang sedang terdiam pun menoleh.

"Lama banget di toilet, ngapain sih?" Ayuni menggerutu.

"Dikira nggak antre apa! Bilang aja seneng, pasti habis di tembak nih, iya kan? Jujur aja, dosa loh, bohong." Tyas membalas, sambil membrondongnya dengan pertanyaan.

"Apaan sih," gerutu Ayuni.

"Halah, ketara begitu, masih nggak mau ngaku hm," sindir Manika.

"Sudahlah, Nik, kasihan temen, kita, nanti wajahnya bisa gosong," ledek Tyas.

"Gosong gimana?" tanya Ayuni, pura-pura tidak tahu.

"Lah, orang kalau lagi malu-malu meong, mukanya kan merah tuh, kalau terus-terusan merah karena panas, bisa gosonglah."

"Betul betul betul, betul seratus pokoknya," imbuh Manika menirukan suara tokoh film anak-anak dari Negeri jiran.

Mereka pun tertawa, sementara Syahdan, yang tak tahu apa yang mereka tertawakan pun bertanya.

"Kalian ngomongin apa sih? sampai tertawa, jangan bilang menertawakan, aku yah!"

"Nothing," jawab ketiga gadis itu kompak.

"Jangan bohong, dosa!" ucap Syahdan.

"Nggak bohong, ini rahasia wanita," balas Tyas.

"Oh, rahasia wanita?"

"Iya!" jawab ketiga gadis itu kompak.

Kembali mereka tertawa, karena bisa kompak tanpa dikomando. Syahdan pun ikut tertawa. Mendengar kekompakan para gadis. Suasana menjadi ceria dengan tawa mereka.

"Pengunjung banyak, keluar yuk! Gantian sama yang lain," ajak Ayuni.

"Iya ih rame, ayolah keluar!" Tyas menyahut.

"Biar pandemi, tetap saja rame yah?" Gumam Manika.

"Bosenlah di dalam rumah terus," sahut Syahdan.

"Iya, juga sih." Ayuni berkata sambil bangun dari duduknya.

Mereka pun keluar dari cafe. Tak terkecuali dengan Syahdan. "Boleh kan, aku ikut kalian?" Lelaki itu memohon dengan menangkupkan tangannya.

"Ya bolehlah," jawab Tyas.

"Jalan sendiri ya, jangan minta gendong," canda Manika.

Syahdan pun tertawa, sambil geleng-geleng kepala. Mengikuti ketiganya. Berjalan sambil bercanda. Ada saja bahan candaan. Membuat Syahdan terhibur dan senang, mengenal ketiga gadis itu.

***

Waktu terus beranjak, lalu lalang orang, banyak ada di mana-mana. Pandemi masih menjadi momok bagi sebagian orang. Tapi sebagian lain tak menjadikan mereka tenggelam dalam ketakutan.

Bepergian kemana saja. Yang terpenting bisa jaga diri dan kesehatan. Tak heran di Hongkong, selalu penuh dengan orang lalu lalang. Di tempat-tempat umum.

***

Lala yang hatinya sedang galau, akibat kejadian di Tsuen Wan. Mengajak sahabatnya jalan-jalan, untuk menghilangkan kegundahannya. Namun tetap saja tak mampu mengusir ingatannya. Tentang Erick dan di gadis berkerudung.

"La, kamu, tuh nggak asyik banget hari ini. Masih kepikiran Erick?" Sisil sahabatnya bertanya, karena merasa heran.

"Nggak tahulah, Sil," jawabnya tak semangat.

"Heleh udah lupain aja! Biar semangat, bagaimana kalau ke Wan Chai saja."

"Ngapain?"

"Lu, yah apa udah geser otak, lu La?" Sisil memegang kening Lala.

"Kamu pikir aku gila apa? Pakai jidatku di pegang segala!" Lala geram dengan apa yang dilakukan Sisil.

"Lagian pake nanya mau ngapain, kayak nggak biasanya. Gimana, mau nggak, cari hiburan, plus gebetan baru, siapa tahu kan nemu, sayang yah, Laguna dah tutup."

"Aku, lagi nggak mood Sil, lagian semua bar juga tutup kan saat ini?"

"Iya sih tapi siapa tahu kan, sudah ada yang buka. Kalau nggak, bisa jalan-jalan lah ke tempat lain.

Barang kali nemu sesuatu."

"Entahlah, saat ini nggak pengin kemana-mana. Kalau, kamu, mau pergi ke sana, pergi saja! nggak apa aku sendiri."

"Lu, gimana sih! Hanya gara-gara Erick jadi begini? Padahal, Lu sendiri yang ninggalin dia, demi, Pak Lam."

Lala terdiam, mendengar kata-kata dari sahabatnya. Pikirannya masih kacau. Ia pun mengedarkan pandangan, kearah orang-orang yang berlalu lalang terlihat menyemut.

Tiba-tiba saja, netranya menangkap sosok gadis berkerudung. Yang tadi dilamar Erick. Lala yakin tak salah lihat. Meskipun gadis itu kini tak sendiri.

"Sil, itu cewek yang tadi dilamar Erick!" seru Lala.

"Mana?"

"Itu yang bareng dua orang cewek, dan satu cowok.

"Yakin, dia? Nggak salah orang?"

"Nggak, bener itu, dia! Baju Dan kerudung yang dipakai masih sama."

"Kok, sama cowok yah?"

"Mungkin cowok itu, pacar temannya."

"Bisa jadi sih, ya udah gimana nih, mau nyamperin?"

"Menurutmu?"

"Terserah, lu."

Lala masih memandang ke arah gadis itu. Ia nampak sedang berpikir. Sisil yang tahu sahabatnya sedang galau. Menarik tangannya sambil berkata. "Ayo, La, samperin cewek itu! Aku, penasaran, secantik apa dia. Sampai, Erick, jatuh cinta padanya.

Bersambung.